Tuesday, March 12, 2013

Kejahatan Perang Jepang di Indonesia 1942-1945 Dibuka Kembali di Solo


Penulis : Ferdiansyah Ali dan Hendrajit, Global Future Institute

Sepertinya jembatan yang menghubungkan antara Taipei-Taiwan dan Solo-Jawa Tengah, sudah terbangun, dalam perjuangan dan solidaritas internasional membongkar kejahatan perang Jepang Dalam mendukung Rekrutmen Sistem Perbudakan Seksual Militer Jepang “ianfu” di Indonesia 1942-1945.

8 sampai 11 Desember 2012, di Taipei-Taiwan digelar sebuah konferensi perjuangan hak-hak asasi Ianfu sebagai korban kejahatan perang Jepang The 11th Asian Solidarity Conference for the issue of Military Sexual Slavery by Japan.  
Di Indonesia, tepatnya di Solo-Jawa Tengah pada 8 sampai 12 Maret 2013, Jejer Wadon sebagai komunitas yang peduli pada isu perempuan akan menyelenggarakan Diskusi, Pameran Foto, Pemutaran film dengan tema “Ianfu,” dalam kerangka tema besar Nona Jawa Di Balik  Rekrutmen Sistem Perbudakan Seksual Militer Jepang “ianfu” di Indonesia 1942-1945. 
Sebagaimana dijelaskan dalam proposal yang diajukan Jejer Wadon, acara yang akan diselenggarakan di Balai Soedjatmoko, Solo-Jawa Tengah tersebut, dalam rangka memperingati hari perempuan sedunia yang jatuh pada 8 Maret 2013.  
 
Jejer Wadon menyelenggarakan acara yang sedemikian penting ini didasari pertimbangan bahwa pada masa pendudukan Jepang sekitar 200.000-400.000 perempuan Asia berusia13 hingga 25 tahun dipaksa menjadi budak seks tentara Jepang. Para perempuan itu direkrut dengan cara halus dengan dijanjikan sekolah gratis, pekerjaan sebagai pemain sandiwara, pekerja rumah tangga, pelayan rumah makan hingga dengan cara kasar dengan meneror disertai tindak kekerasan, menculik bahkan memperkosa di depan keluarga. 
 
Diskusi, Pameran Foto dan Pemutaran film digelar pertama kalinya di kota Solo sebagai penghargaan terhadap Tuminah, penyintas (Survivor) pertama yang berani bersaksi ke publik dengan menyatakan dirinya sebagai korban perbudakan seksual militer Jepang pada 1992. Dr. Koichi Kimura seorang teolog dari Jepang yang pertama kali mendengar kesaksian Tuminah sebelum Koran Suara Merdeka memuatnya dalam artikel bersambung pada tahun yang sama.
 
Tema Nona Djawa, merupakan tulisan yang diangkat Jo Cowtree, seorang penulis dan seniman yang bermukim di New York City melalui pengalaman penelitian EkaHindra, seorang peneliti independen yang telah melakukan penelitian mengenai “Ianfu” sekitar 14 tahun (1999-sekarang) yang menyatakan bahwa sebagian besar perempuan-perempuan muda yang direkrut paksa sebagai “Ianfu” serta ditempatkan di ianjo-ianjo (rumah bordil yang dibangun oleh militer Jepang) yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia berasal dari pulau Jawa.
 
Karena itu Global Future Institute sangat mendukung dan member apresiasi yang setinggi-tingginya  seruan dari para peserta The 11th Asian Solidarity Conference for the issue of Military Sexual Slavery by Japan di Taipei Taiwan 8-11 Desember 2012, yang juga disetujui oleh Eka Hindra sebagai perwakilan Indonesia yang hadir pada konferensi tersebut,  agar kepada setiap negara korban Ianfu (Indonesia, Timor Leste, Filipina, Cina, Korea Utara, Korea Selatan, Taiwan dan Belanda), membuat tulisan soal Perbudakan seksual militer Jepang di negara bersangkutan untuk dicetak menjadi buku. Untuk mengabadikan sejarah Hitam Bangsa Jepang saat Perang Dunia II di negara-negara eks jajahannya di Asia Pasifik, khususnya Indonesia. 
 
Kami pun mendukung dan mengapresiasi yang setinggi-tingginya pertimbangan Jejer Wadon sebagai sebagai komunitas yang peduli pada isu perempuan yang berpandangan bahwa pengetahuan dan wawasan masyarakat tentang “Ianfu” sebagai korban perbudakan seksual tentara Jepang masihlah minim. “Ianfu” masih banyak dipahami sebagai wanita penghibur, padahal kenyataannya “Ianfu”merupakan praktek perbudakan seksual yang brutal, terencana, serta dianggap masyarakat internasional sebagai kejahatan perang. 
 
Sejalan dengan prakarsa Jejer Wadon, dalam sebuah workshop yang diselenggarakan oleh Global Future Institute pada 9 November 2011, dengan tema : Strategi Membangun Kesadaran Sejarah bagi Generasi Masa Depan Sejarah Ianfu Indonesia: Kasus Ianfu Indoensia dan Rawa Gede, bersepakat bahwa Perjuangan terhadap para Korban Ianfu Indonesia harus diletakkan dalam perspektif Mengembalikan Harkat dan Martabat mereka sebagai Korban.
 
Para peserta workshop waktu itu bersepakat mengajukan beberapa usulan langkah kongkrit yang kiranya perlu disampaikan sebagai bahan masukan baik kepada pemerintah Indonesia maupun Dewan Perwakilan Rakyat:
  1. Perlu Pelurusan Sejarah Ianfu Indonesia bahwa mereka adalah korban akibat Kejahatan Perang Tentara Jepang di Indonesia pada periode 1942-1945. 
  2. Mengusulkan kepada pemerintah Indonesia, agar segera memasukkan Jugun Ianfu ke dalam buku sejarah sebagai korban dari masa Penjajahan Jepang di Indonesia. 
  3. Perlu segera dibuat monument, prasasti atau bahkan museum, sebagai simbol yang bisa berbicara mengenai apa yang terjadi pada waktu penjajahan Jepang di Indonesia, dan apa yang pernah dialami oleh para Korban Ianfu Indonesia, khususnya Kaum Perempuan Indonesia. 
  4. Mengingat pentingnya peran Pemerintah dalam mendukung dan membantu perjuangan elemen-elemen masyarakat terhadap para korban Ianfu Indonesia dalam konteks mengembalikan harkat dan martabat mereka sebagai korban, maka perlu adanya keterlibatan lintas-kementerian yang ada di pemerintahan. 
  5. Meminta Pemerintah Indonesia agar Jepang harus bertanggungjawab dalam keikutsertaannya dalam pelurusan sejarah Jugun Ianfu Indonesia. Sehingga tidak cukup hanya dengan permintaan maaf saja. 
  6. Meminta Pemeritan Indonesia agar Jepang ikut membantu pengungkapan sejarah Ianfu Indonesia. 
  7. Meminta perhatian dari seluruh lembaga-lembaga pendidikan terkait dengan pengajaran sejarah di semua tingkatan pendidikan, dalam menyajikan Sejarah Ianfu Indonesia menurut sudut pandangn sejarah yang benar dan faktual.
  8. Menggarisbawahi pentingnya Penyelesaian Soal Ianfu Indonesia diletakkan dalam perspektif hubungan Indonesia-Jepang yang lebih setara dan bermartabat. 
  9. Untuk program jangka pendek, mengingat kehidupan para korban saat ini yang berada dalam kesulitan ekonomi, maka perlu segera digagas Program Jaminan Sosial bagi para korban Ianfu yang berada di luar konteks program Lanjut Usia.
Workshop yang diselenggarakan atas prakarsa dari Global Future Institute tersebut dihadiri oleh: 
  1. Hendrajit (Global Future Institute)
  2. Eka Hindra (Peneliti Independen Ianfu Indonesia)
  3. Irwan Lubis (Advokator Kasus Rawa Gede)
  4. Peter Rohi (Peneliti Kasus Rawa Gede)
  5. Indri H. Mustika (Peneliti Ianfu Indonesia)
  6. Irwan Lubis (Yayasan KUKB Perwakilan Indonesia / Advokator Kasus Rawa Gede)
  7. Hesti Armiwulan (KOMNAS HAM)6. Dra. Ngemat Ernita Kaban, M. Si (Kasubdit Pelayanan Lansia Dalam & Luar Panti) KEMENSOS RI
  8. Ahmad Subarkah (Kasubdit Pelayanan Lansia Dalam & Luar Panti) KEMENSOS RI
  9. Amurwani D. Lestariningsih, M. Hum (Direktorat Nilai Sejarah KEMENDIKBUD RI)
  10. Kurniawati, S.Pd., M. Si (Fak. Ilmu Sosial Jurusan Sejarah Univ. Negeri Jakarta)
  11. Syafrizal Rambe (Staf Ahli Komisi VIII DPR RI)
  12. Kusairi (Pelaku Media). 
Maka itu, kami dari Global Future Institute sangat mendukung prakarsa Jejer Wadon untuk membuka kembali Sejarah Kelam Jepang di Indonesia 1942-1945, khususnya untuk menyegarkan kembali sejarah perbudakan seksual militer Jepang pada periode tersebut. Seraya memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa Ianfu adalah korban perang. Dan karenanya mengajak masyarakat untuk menolak segala bentuk peperangan. 
 
Dan di atas itu semua, Global Future Institute mendukung sepenuhnya upaya Jejer Wadon dalam mendorong masyarakat dan pemerintah Indonesia untuk mulai memberikan dukungan terhadap perjuangan para Survivor ianfu Indonesia yang belum sepenuhnya memperoleh hak-hak asasinya. 
 
Dosa dan kejahatan perang tentara fasisme Jepang di Indonesia dan negara-negara kawasan Asia Pasifik, memang bisa dimaafkan. Namun pelajaran pahit dan sejarah kelam kebiadaban dan kejahatan perang yang dilakukan Jepang secara terorganisir pada saat menjelang dan saat berlangsungnya Perang Dunia II, rasa-rasanya tak mungkin akan kita lupakan sepanjang massa. 
 
Indonesia boleh saja memperoleh keuntungan-keuntungan ekonomis melalui kerjasama erat dengan pemerintah Jepang. Namun Indonesia tidak boleh memperjualbelikan kesengsaraan dan penderitaan dari para leluhur dan nenek moyang bangsa Indonesia sendiri, yaitu kesengsaraan dan penderitaan para perempuan Indonesia yang telah dipaksa oleh pemerintah fasisme Jepang untuk menjadi “Budak Seksual” para serdadu Jepang di Indonesia. 
 
Pada kesadaran ini, kita sebagai anak bangsa, kadang sampai pada sebuah pikiran, bahwa kemajuan dan keberhasilan bangsa Jepang saat ini, sejatinya bertumpu pada derita dan kesengsaraan para leluhur dan nenek moyang bangsa kita. Khususnya para perempuan Indonesia korban Jugun Ianfu. 
 
Sekali lagi, Bravo untuk Jejer Wadon, disertai harapan semoga acara bisa terselenggara dengan lancer dan sukses. 
 
Agenda Acara yang direncanakan antara 8 sampai 12 Maret 2013 tersebut : 
 
8 Maret 2013
Pembukaan pameran “Nona Djawa” oleh Kamala Chandrakirana
Pameran dan diskusi foto “Ianfu” karya Meicy Sitorus dimoderatori Doris Pandjaitan
Presentasi multimedia karya Jo Cowtree
 
9 Maret 2013
Pemutaran dan diskusi film dokumenter “Ianfu” berjudul “Nyah Kran Tawanan di Gedung
Papak” karya Becky Karina dan Ivan Meirizio dimoderatori Doris Pandjaitan
Diskusi tulisan Nona Djawa dengan pembicara EkaHindra dan pembahas Anugrah
Saputra (peneliti Romusha, Antropolog, penulis kata pengantar tulisan Nona Djawa)
 
08 - 10 Maret 2013
Pameran “Nona Djawa”

No comments:

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...