Sunday, September 08, 2013

Menhan: Akan Dibentuk Skadron Sukhoi Di Sumatra


(WOL Photo/Hendro Koto)
BANDA ACEH - Menteri Pertahanan RI Purnomo Yusgiantoro mengatakan, kekuatan pertahanan RI baik matra laut, udara, dan darat terus ditingkatkan hingga 2014. Peningkatan sistem alusista TNI akan membuat sistem pertahanan RI lebih tangguh kedepan.

"Sejak 2010 dan hingga 2014 ini, sistem alusista TNI akan terus diperbaharui dan ditambah," katanya kepada Waspada Online, hari ini.

Ia menjelaskan, saat ini TNI AD sudah memiliki 100 unit tank dengan kapasitas 60 ton, atau dalam kategori tank kelas berat. Sementara itu untuk tank kelas menengah, TNI sudah memiliki lebih dari 100 unit, dengan kapasitas dibawah 60 ton. "Jumlah itu belum termasuk tank jenis scorpion yang dimiliki TNI AD," ujarnya.

Thomson TRS-2215/TRS-2230: Radar Andalan Pertahanan Udara RI Era 80-an


F-5E tiger dan Radar Thomson TRS-2215
F-5E tiger dan Radar Thomson TRS-2215
Pasca pecah kongsi antara Indonesia dan Uni Soviet di tahun 1966, membawa implikasi pelik bagi konfigurasi alutsista di Tanah Air. Khususnya di lingkungan TNI AU, hampir semua alutsista asal Uni Soviet dan Eropa Timur harus di grounded lantaran ketiadaan pasokan suku cadang. Kalaupun ada yang masih bertahan hingga tahun 70-an, seperti jet tempur MiG-21 dan pembom Tu-16, tak lain hanya mengandalkan pola kanibalisasi suku cadang.
Di periode transisi haluan alutsista tersebut, tantangan dalam aspek militer nyatanya juga tak surut, bahkan di sekitar tahun 1975 dan 1976, TNI punya kesibukan yang sangat besar dalam operasi Seroja. Sebagai aktualisasi dari strategi perubahan, mulai berdatanganlah pesawat tempur dari AS dan sekutunya, sebut saja seperti pengadaan A-4E Skyhawk, F-5E/F Tiger, hibah F-86 Sabre dari Australia, pembelian jet latih Hawk MK-53, dan pesawat tempur anti gerilya OV-10F Bronco yang dibeli dari AS pada tahun 1976. Boleh dibilang dalam waktu singkat, TNI berusaha memenuhi MEF (minimum essential force) dalam waktu singkat. Maklum, sejak pergantian haluan sistem senjata, kekuatan sista TNI AU sempat tertinggal dari Malaysia dan Singapura.
Yang disebutkan diatas baru sebatas urusan pesawat tempur, dalam konsep Kohanudnas (Komando Pertahanan Udara Nasional), elemen yang terlibat bukan hanya jet tempur, untuk mengamankan kedaulatan Nasional di udara juga diperlukan hadirnya kekuatan sistem radar pertahanan udara dan Arhanud. Tapi sistem radar-lah yang justru memegang peran utama, karena dapat melakukan deteksi dini yang selanjutnya menyalurkan informasi penting tersebut pada komando atas.
Berangkat dari kondisi wilayah udara nasional yang begitu luas, TNI pun sejak awal sudah mempersiapkan elemen radar sebagai bagian dari hanudnas. Meski dari kuantitas sangat terbatas, secara kualitas dan jenis radar TNI AU sudah memiliki roadmap yang bisa diperhitungkan.
Pada dasawarsa 60-an dan 70-an, wilayah udara RI dipantau menggunakan radar-radar generasi pertama yang menggunakan teknologi tabung, antara lain radar Nysa (Polandia), Decca, dan Plessey (AWS II-Inggris). Meskipun teknologi yang dimiliki masih sangat sederhana dan hanya menyuguhkan bearing dan range pada console, namun dengan kemampuan deteksi rata-rata 120 NM sampai dengan 180 NM, keberadaan radar-radar tersebut cukup mampu memberikan informasi seluruh pesawat yang memasuki wilayah udara Indonesia, khususnya pulau Jawa.

TNI AL Siapkan Flagship


TNI AL, sebagai kekuatan laut terbesar di Asia Tenggara dengan sejarah panjang dalam pengabdiannya.

AL Siapkan Flagship Kekuatan Militer
Kapal Flagship Indonesia dahulu
Menjaga keutuhan bangsa dari gangguan dan ancaman baik dari dalam maupun di luar wilayah kesatuan Indonesia. untuk mengantisipasi serangan laut, TNI telah mempersiapakn kelengkapan sebuah kapal perang.

Sebuah Negara bangsa yang memiliki kekuatan militer adalah sebuah keharusan. Khususnya Angkatan Laut yang bila memiliki flagship. Bila dicerna lebih dalam, flagship adalah kapal utama yang punya spesifikasi persenjataan paling mumpuni di suatu armada.

Pesawat Rusia dan Amerika, Indonesia Pilih Mana?


F-16

AS menjual delapan helikopter serang Apache AH-64 beserta semua kelengkapannya (pelatihan, suku cadang, dan pemeliharaan) dengan total biaya AS$ 500 juta. Ini menjadi penjualan senjata terbesar AS kepada Indonesia.

Sudah belasan tahun AS menolak menjual senjata ke Indonesia karena tuduhan pelanggaran HAM, hingga pembelian Apache ini. Sebenarnya saat ini AS masih menilai Indonesia memiliki beberapa masalah terkait HAM (terutama di Papua), tetapi tampaknya "masalah" ini tidak menghentikan penjualan Apache kepada Indonesia.
Bertolak ke Rusia, produsen-produsen senjata Rusia memiliki masa-masa yang sulit pada 1990-an, karena setelah Perang Dingin berakhir pada tahun 1991 (sebelumnya masih Uni Soviet), ada banyak calon pembeli senjata Rusia yang batal. Salah satu alasannya adalah karena selama Perang Dingin alutsista-alutsista Rusia mereka nilai kurang bisa menunjukkan giginya.

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...