Wednesday, September 04, 2013

Selamat Datang T-50i Golden Eagle Indonesia


Kembali ke Korean Aerospace Industries (KAI) di Sacheon, 250 kilometer (km) tenggara ibukota Korea Selatan, Seoul setelah melaksanakan keseluruhan program di Republic of Korean Air Force (ROKAF) selama hampir lima bulan, serasa seperti kembali ke 'rumah'. Di sini keenam penerbang TNI AU melanjutkan program Initial Cadre Training dengan menerbangkan pesawat milik Indonesia, T-50i Golden Eagle.

Selamat Datang T-50i Golden Eagle Indonesia

Masing-masing penerbang akan mendapatkan enam sorti, dibagi menjadi tiga sorti Front Seat dan tiga sorti Rear Seat. Latihan yang dilakukan adalah Advanced Handling Characteristics, Instrument Flight, Formation Day dan Night Flight. Selain itu, untuk Letkol Pnb Wastum dan Mayor Pnb Marda Sarjono akan mendapatkan tambahan tiga sorti untuk bisa memiliki kualifikasi Function Check Flight Pilot (FCF Pilot).

What Indonesia’s rise means for Australia


Large and close but poor and weak, Indonesia holds a shadowy place in Australia’s world view. We have never known quite what to make of it, or how seriously to take it. Soon there will be no option but to take it very seriously indeed, because Indonesia is changing fast. In the Asian century, it may matter to Australia as much as China and the US. It may even become our most important ally.

Indonesia was barely a blip on Australia’s strategic radar until the Pacific War, when Japan seized it from the Dutch and attacked Australia from bases there. Indonesia won independence after the war and, for the first time, Australia had a neighbour big enough and close enough to threaten it directly.

This raised new and unsettling questions about our security. Australia’s distant allies might see a clash with Indonesia as just a little local conflict irrelevant to their interests, so we could not assume they would offer much help. During the 1950s, the possibility that we might need to defend ourselves from our new neighbour unaided became a central issue in Australia’s defence and foreign policy. Fortunately, the threat never materialised. Australia’s relationship with Indonesia was uncomfortable under President Sukarno’s rule, but the country remained poor and militarily weak, especially at sea. Then, after Suharto took over in 1967, he replaced Sukarno’s nationalist adventurism with a more cautious and constructive foreign policy. He fostered regional links through the Association of South East Asian Nations (ASEAN), and encouraged coolly cordial relations with Australia.

Tantangan PT DI


Tantangan PT DISENYUM semringah tengah menaungi PT Dirgantara Indonesia (DI). Perusahaan kebanggaan bangsa ini kini memasuki masa tinggal landas untuk menjemput kejayaan yang pernah mereka rasakan di era sebelumnya.

Tidak ada lagi wajah masam dan demonstrasi menuntut pembayaran gaji seperti mewarnai hari-hari pascaperusahaan plat merah tersebut tersungkur karena menjadi korban politik International Monetary Fund (IMF). Intervensi IMF yang merupakan bagian dari paket restrukturisasi krisis ekonomi 1997 bukan hanya mengandaskan program N250 yang tinggal selangkah lagi akan menjadi penguasa dirgantara di kelasnya serta membenamkan ambisi BJ Habibie untuk membangun N-2130, melainkan juga memaksa ratusan tenaga ahli pergi ke luar negeri untuk menyambung hidup dan sebagian memilih bertahan dengan risiko hidup pas-pasan.

Analisis : Membangun Percaya Diri

Sebagai pencinta republik banyak diantara kita merasa under estimate terhadap potensi kekuatan bangsa ini.  Sebagai contoh ketika situs militer terkenal dari luar sana mengabarkan ranking kekuatan militer Indonesia yang menduduki 15 besar dunia, banyak yang tidak meyakininya.  Padahal seluruh indikator yang membangun rangka kekuatan militer dalam penyusunan ranking itu memang merupakan elemen yang memajukan potensi kekuatan militer.  Misalnya potensi sumber daya manusia, sumber daya alam yang besar, kekuatan daya beli yang lebih dikenal dengan APBN dan produk domestik bruto.



Kemudian jika ada jiran yang mau beli alutsista, muncul perasaan minder seakan kita tidak punya daya dan gaya dalam menampilkan militer kita.  Yang lebih aneh lagi ketika daftar belanja alutsista kita selama 4 tahun terakhir yang merupakan belanja terbesar setelah era Dwikora digelar dan barangnya sudah mulai datang satu persatu, masih ada saja yang mengatakan dengan nada pesimis bahwa barang yang diadakan dan yang didatangkan itu sesungguhnya “tidak nendang”.

Satgas Bansos TNI AL saat ini sedang menjelajah pulau terpencil di NTT

TNI AL Berencana Bangun Pangkalan Di Balikpapan

TNI Angkatan Laut berencana membangun pangkalan berupa pelabuhan khusus di Balikpapan, Kalimantan Timur, yang akan digunakan untuk mendukung pelaksanaan operasi di wilayah timur Indonesia.

"Sudah kami paparkan rencana pembangunannya di depan Asisten II Sekretaris Kota Balikpapan," kata Mayor Kusnanto, Kepala Seksi Pembinaan Potensi Maritim (Paskotmar) Pangkalan TNI AL Balikpapan, Selasa (13/9).

Selama ini pelabuhan bagi kapal-kapal TNI-AL adalah Pelabuhan Semayang, yang juga berfungsi sebagai pelabuhan penumpang dan pelabuhan bongkar muat barang dan peti kemas.
Menurut Mayor Kusnanto, TNI-AL juga kerap meminjam Pelabuhan Pertamina.

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...