Saturday, September 01, 2012

Iran Air Force Akan Meluncurkan New Generation Unnamed 4+ Gen Light Jet Fighter 2013

Iran to Unveil New Generation of Home-Made Fighter Jets Soon
TEHRAN (FNA)- Iran has developed a new generation of the indigenous Saeqeh (Thunderbolt) fighter jets with enhanced capabilities, an Iranian defense official announced on Sunday, adding that the new warplanes will replace the present Saeqeh fleet in the next few months.


Speaking to FNA, Deputy Defense Minister for Industrial and Research Mohammad Eslami pointed to country's plan to expand the fleet of its Saeqeh aircraft, and stated, "Along with this project, a new generation of fighter jets will be developed to replace them (the existing fleet)."

"God-willing they will be delivered to the Air Force under a new name by the end of the current (Iranian) year (ending March 20, 2013)," he said about the new generation of Saeqeh fighter jets.

"They will be an upgraded version of Saeqeh fighter jets," he noted.

Eslami further announced that a number of aircraft missile projects are underway in Iran, and said these new missiles are fully unknown to enemies.

"These are new weapons and are only known to us," the deputy defense minister said, and added, "In this project, our fighter jets will be equipped with new missiles and missile equipment."

In September 2011, the Iranian Air Force's first squadron of home-made Saeqeh fighter jets started operations during the large offensive air drills codenamed "Fadaeeyan-e Harim-e Vellayat III" in Northwestern Iran.

In September 2010, Iran displayed the first squadron of Saeqeh in an air show staged during the military parades at the beginning of the Week of Sacred Defense, marking Iranians' sacrifices during the 8 years of Iraqi imposed war on Iran in 1980s.

In recent years, Iran has made great achievements in the defense sector and gained self-sufficiency in essential military hardware and defense systems.

The country has repeatedly made it clear that its military might is merely based on the state's defense doctrine of deterrence and that it poses no threat to other countries. 


teknologi riset helikopter militer yang tidak di gunakan (RAH-66 Comanche)

Boeing/Sikorsky RAH-66 Comanche adalah helikopter bersenjata militer canggih yang dibuat untuk kebutuhan militer Angkatan Darat Amerika Serikat. Program RAH-66 dibatalkan pada tahun 2004 setelah hampir 7 miliar Dollar Amerika dihabiskan untuk program ini sebelum produksi sempat dimulai.

Selama awal tahun 1980an, Angkatan Darat AS memulai perhitungan kebutuhan untuk mengganti helikopter helikopter yang sudah lama, kemudian menghasilkan program eksperimen helikopter ringan. Pada tahun 1991, tim Boeing-Sikorsky dipilih untuk membuat purwarupa. Helikopter Comanche akan menggunakan teknologi pesawat siluman, menampilkan sejumlah desain yang sebelumnya belum pernah dicoba. Menggunakan sensor canggih dalam peran mengintai dan ditujukan untuk menunjuk sasaran untuk AH-64 Apache. Helikopter ini juga dipersenjatai misil dan roket untuk menghancurkan kendaraan berpelindung. Dua unit RAH-66 kini dijadikan pameran museum.

Desain dan Pengembangan RAH-66 Comanche

Pada tahun 1982, Angkatan Darat AS memulai program uji coba helikopter ringan untuk mengganti helikopter UH-1, AH-1, OH-6 dan OH-58. Program ini menghabiskan waktu 6 tahun, hingga tahun 1988, sebelum permintaan usulan dikeluarkan, dimana kebutuhan diubah menjadi helikopter pengintai. Pada Oktober tahun itu, tim dari Boeing-Sikorsky dan Bell-McDonell Douglas menerima kontrak untuk desain mereka. Nama program diubah menjadi "Helikopter Ringan" pada tahun 1990. Pada April 1991, tim Boeing-Sikorsky terpilih sebagai kontestan pemenang dan menerima kontrak untuk membangun empat purwarupa untuk sebuah fase demonstrasi dan evaluasi (Dem/Val).

Uji Purwarupa RAH-66 Comanche

Uji penerbangan dilakukan dengan dua purwarupa. Purwarupa Comanche pertama, seri 94-0327, menyelesaikan 318 penerganban lebih dari 387 hours sebelum mengakhiri karirnya pada Januari 2002. Setelah menemui kriteria kunci, RAH-66 memasuki fase perkembangan perancangan dan pembuatan pada 1 Juni 2000 yang menghabiskan 3,1 miliar Dolar Amerika Serikat.
Usaha untuk mengurangi berat kosong dengan kira-kira 200 lb (90.7 kg) atau 2% untuk menemui berat sasaran dimulai kemudian Tahun itu. Purwarupa kedua, seri 95-0001, telah menyelesaikan 93 jam terbang dan 103.5 penyerbuan pada Mei 2001.

RAH-66 kedua menerima peralatan misi dan mesin T800-LHT-801 yang lebih kuat dan melanjutkan uji terbang dari 23 Mei 2002, termasuk uji penglihatan malam dan sistem senjata, hingga 2003. Selama uji coba, Comanche menjelajah pada kecepatan 162 knot, dengan kecepatan maksimal 172 knot (198 mph; 319 km/jam), serta menunjukkan sebuah kemampuan untuk membuat belokan 180° (derajat) kurang dari 5 detik.

Pembatalan Program RAH-66 Comanche

Pada 23 Februari 2004, Angkatan Darat Amerika Serikat mengumumkan keputusan mereka untuk membatalkan program helikopter Comanche mengingat kebutuhan untuk menyediakan dana untuk merenovasi armada helikopter yang mengalami serangan penuaan, utilitas, dan pesawat pengintai. Angkatan Darat AS juga merencanakan untuk menggunakan dana program Comanche untuk mempercepat perkembangan kendaraan udara tak berawak (UAV). UAV telah menyediakan pengintai selama operasi militer di Afganistan dan Irak. Kira-kira 6.9 milliar Dolar AS diinvestasikan dalam program Comanche pada saat pembatalannya. Tambahan 450–680 juta Dolar AS dibayarkan untuk biaya pembatalan kontrak untuk mitra program utama, yaitu Sikorsky dan Boeing.


First flight: Jan. 4, 1996
Classification: Armed reconnaissance helicopter
Length: 42 feet 10 inches
Weight: 10,597 pounds
Dash speed: 201 mph
Cruising speed: 190 mph
Maximum range: 1,449 miles
Power: Two 1,432-shaft-horsepower T800-LHTEC-801 turboshaft engines
Rotor system: Five-bladed bearingless main rotor and FANTAIL anti-torque system
Armament: Stowable three-barrel 20 mm Gatling gun
Accommodation: 2 crew


sumber
http://www.army-technology.com/proje...comanche8.html
http://www.boeing.com/history/boeing/comanche.html
http://www.airliners.net/aviation-fo...ad.main/66299/

berdasarkan beberapa forum di nyatakan bahwa helikopter ini tidak digunakan dikarnakan msalah :
1.masalah dana
2. amerika lebih suka mengunakan stealt drone dibandingkan dengan stealt helicopter
3. lebih mengedapankan apache, dikranakan pasar di dunia internasional lebih terbuka karna lebih familiar

mungkin teman ada pendapat lain tentang tidak di gunakannya comanche.

jika tread ini tidak berkenan bisa di delete, karna ane hanya fresh newbie yang hanya ingin berbagi. salam militer


Former US Diplomat: The Next Battlefield Will Be The South China Sea

Tensions are rising again in Southeast Asia as competing claims over the resource rich South China Sea push closer to boiling point.
In the latest series of provocations, China launched "combat-ready" patrols, offered disputed ocean blocs for sale and set up a garrison and new administration on Sansha. Vietnam countered with continued military overflights of the contested Spratly Islands despite warnings from Chinese officials.
With Philippine President Aquino announcing a $1.8 billion upgrade in defense forces the inevitable regional arms build-up has begun.
One would hope that countries in the region would take concerted action. That hope would be misplaced.
While the region shudders at the thought of open conflict affecting a major artery of Asian trade, no collective action has been able to resolve the situation. ASEAN couldn’t even reach agreement on a routine joint public statement at the end of their annual gathering this year. Not that another non-binding piece of paper would have had any real influence. A 2002 Code of Conduct signed by ASEAN members and China to resolve the disputes peacefully continues to be ignored as countries vie for potentially lucrative natural resources.
An increasingly militarized land and sea grab continues despite calls for peaceful resolution. With the U.S. in full Asian tilt, the South China Sea dispute is shaping up to be the first major test of its Pacific re-engagement. What the U.S. Can or should do remains woefully undefined.
There is no longer any question that as the power vacuum expands, force, not the power of the pen defines boundaries. Beijing increasingly asserts its claims within a map of its own making while a troubling and influential undercurrent gathers momentum. 
China now claims the entire South China Sea, brushing the shores of its neighbors and flying in the face of international norms. Call it the conventional "first-strike" option supported by influential Chinese think tanks and the popular state-controlled press—quick and decisive military engagement to convince Vietnam and the Philippines to back down. It worked in China’s favor during a 1974 stand-off over the Paracel Islands.
Enter the U.S., seen by many as a natural hedge against excessive Chinese influence. The State Department issued a lukewarm statement on the South China Sea urging all parties to find a peaceful solution to the impasse. Senator McCain called China's moves "provocative.”
Beyond routine drills and port calls with the Philippines, Vietnam and India the U.S. has taken a decidedly cautious approach. Peaceful resolution of territorial claims and a unified Southeast Asian response, not a military confrontation with China, remains a core U.S. foreign policy objective. That may be increasingly difficult to achieve as China presses its claims, recently “escorting” an Indian naval flotilla from its port call with Vietnam and hailing it with “welcome to Chinese waters.”
In June Philippine President Aquino sought reassurance that U.S. defense obligations would kick-in should they be attacked. The U.S. refused to take sides in the territorial dispute, a long standing policy, but reaffirmed its commitment to the bilateral Mutual Defense Treaty. At a minimum this entails immediate consultations should hostilities break out. It does not, however mean automatic military action.
Even interest from the rest of Southeast Asia for greater U.S. engagement remains tentative. Vietnam continues joint exercises with China, keen to maintain balance with its main trading partner to the north. Non-claimant states including Thailand, Singapore, Cambodia, Indonesia and Laos have shown no interest in “taking sides”, though U.S. engagement is certainly welcome. For its part China has been quick to use trade retaliation including a sudden technical hold on Philippine fruit imports.
If history is any guide the unintended consequences of even a limited military skirmish may prove hard to control. The situation remains even more volatile with a leadership transition underway in Beijing as nationalistic and even jingoistic tendencies rise throughout the country. Appeasement also has its discontents. This is the fine line the U.S. must tread.
There are no signs that the cycle of provocation and push-back will end any time soon. It should be no surprise if boat ramming incidents between fishing vessels and cutters eventually turn more confrontational. Perhaps the greatest U.S. influence will be containing any escalation by its presence alone, helping to thwart the notion that China can launch a limited attack on its neighbors without consequences.
Despite China’s preference the U.S. can and will remain a Pacific power, guarantor of the common interest, strengthening cooperation among parties, and routinely testing free access to international waters.
Southeast Asia should not overestimate this involvement and under-prepare itself thinking that their fishing fleets or contested boundaries will fall under U.S. protection. All countries in the region need to develop their own capabilities while engaging in greater regional military cooperation. The U.S. should be seen as the military of last resort, not first. At the same time China should not underestimate U.S. resolve to maintain the peace.


Read more: http://www.businessinsider.com/the-south-china-sea-sparks-arms-race-2012-8#ixzz252X6S2J7

Roket dan Panser Indonesia Disukai Dunia



Indonesia juga sudah mengembangkan industri pertahanan nasional. Panser Anoa buatan PT Pindad ini salah satu contohnya.
KOMPAS.com - Teknologi militer untuk pertahanan dan keamanan tidak lagi didominasi Amerika dan Eropa. Kini Indonesia pun sudah memproduksi sendiri persenjataan militer.

Penghujung Maret lalu, sebanyak 50 roket R-Han 122 diluncurkan di Pusat Latihan Tempur TNI Angkatan Darat Baturaja, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatra Selatan. Wakil Menteri Pertahanan dan Keamanan Sjafrie Sjamsoeddin, Deputi Bidang Relevansi dan Produktivitas Riset Kementerian Ristek Iptek Teguh Rahardjo, Wakil Gubernur Sumatra Selatan Eddy Yusuf, Pangdam II/Sriwijaya Mayor Jenderal Nugroho Widyotomo, dan Komandan Kodiklat TNI-AD Letnan Jenderal Gatot Numantyo ikut hadir dalam peristiwa bersejarah itu karena untuk pertama kalinya diluncurkan roket militer buatan Indonesia.

Peluncuran roket berlangsung mulus. Roket R-Han 122 ini merupakan pengembangan roket sebelumnya D-230 tipe RX 1210 yang dikembangkan Kementerian Riset dan Teknologi, yang memiliki kecepatan maksimum 1,8 mach.

Perjalanan lahirnya roket militer R-Han 122 cukup panjang. Berawal pada 2007 saat Kementerian Riset dan Teknologi membentuk Tim D230 untuk mengembangkan roket berdiameter 122 mm dengan jarak jangkau 20 kilometer. Prototipe roket D-230 ini dibeli Kementerian Pertahanan dan Keamanan untuk memperkuat program seribu roket. Pemerintah membentuk Konsorsium Roket Nasional dengan ketua konsorsium PT Dirgantara Indonesia (DI), sebagai wadah memasuki bisnis massal. Ketua Program Roket Nasional Sonny R Ibrahim menjelaskan rencana pembuatan roket secara massal sudah ada sejak 2005. Namun, baru dikembangkan roket D-230 pada 2007 hingga terbentuk konsorsium tersebut.

Konsorsium itu beranggotakan sejumlah industri strategis yang mengerjakan bermacam komponen roket. Sony menyebutkan, di dalam konsorsium terdapat PT Pindad yang mengembangkan launcher dan firing system dengan menggunakan platform GAZ, Nissan, dan Perkasa yang sudah dimodifikasi dengan laras 16/warhead dan mobil launcher (hulu ledak). Kemudian juga PT Dahana menyediakan propellant, PT Krakatau Steel mengembangkan material tabung dan struktur roket. PT Dirgantara Indonesia membuat desain dan menguji jarak terbang.

Pendukung lain dalam konsorsium adalah Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) turut menyediakan alat penentu posisi jatuh roket. ITB menyediakan sistem kamera nirkabel untuk menangkap dan mengirim gambar saat roket tiba di sasaran. Sejumlah perguruan tinggi lainnya, yakni UGM, ITS, Universitas Ahmad Dahlan, dan Universitas Suryadharma, ikut terlibat di dalam pengembangan roket tersebut. Nama D-230 kemudian diganti menjadi R-Han 122 karena sudah dibeli Kementerian Pertahanan.

Sistem isolasi termal untuk membuat roket militer tidaklah mudah. Para periset beberapa kali melakukan uji coba hingga menemukan kesempurnaan pada roket R-Han 122 itu.

Sonny menjelaskan, pada 2003 para periset menggunakan material kritis dengan ketebalan baja 1,2 mm, tetapi produk justru cepat jebol.
Kemudian para peneliti mulai memperbaiki sistem isolasi termal. Saat roket meluncur sempurna dibutuhkan suhu 3.000 derajat Celcius. Pembakaran dengan menghasilkan suhu tinggi bisa berakibat fatal apabila sistem isolasi termal tidak bekerja dengan baik. Karena itu, di ruang isolasi termal diberi karet atau polimer yang bisa menghambat panas. Untuk material roket, dipilih bahan yang ringan, yakni aluminium, karena bisa menghambat panas. Perubahan-perubahan itu ternyata menghasilkan roket yang tidak pernah rusak saat diujicobakan.

"Karena termalnya bekerja cukup baik, roket itu bisa terbang tepat sasaran dan tidak pernah rusak selama uji roket," imbuh Sonny yang mengatakan bahwa R-Han 122 berfungsi sebagai senjata berdaya ledak optimal dengan sasaran darat dan jarak tembak sampai 15 km.

Tidak hanya roket yang sudah dibuat di dalam negeri. Sebelumnya, PT Pindad telah memproduksi panser yang merupakan hasil pengembangan riset dari BPPT sejak 2003. PT Pindad meneruskan hasil riset BPPT khususnya untuk panser Angkut Personel Sedang (APS). PT Pindad dan BPPT akhirnya mengembangkan riset APS-1 sampai ke APS-3 yang punya kemampuan bermanuver di darat, perairan dangkal dan danau. Pengembangan riset tersebut akhirnya menghasilkan varian 4X4 dan disempurnakan untuk diaplikasikan kemampuan amfibinya pada varian 6x6.

Ujicoba panser APS-3 ini dilakukan awal 2007 dan pada 10 Agustus 2008 bertepatan dengan Hari Kebangkitan Teknologi Nasional. Kementerian Pertahanan memberi nama APS3-ANOA. Sejak itu Pindad memproduksi 10 panser pertama APS-3 ANOA. Dalam perkembangannya, Pindad terus mengeluarkan seri-seri terbaru APS-3 ANOA ini. Selain varian kombatan, ANOA juga memiliki varian lain seperti untuk angkut medis, logistik, armored recovery vehicle (penderek ranpur yang sedang mogok) dan varian mortir.

Saat ini Kementerian Pertahanan telah memesan 100 panser ANOA yang ternyata disukai negara-negara tetangga. Salah satunya Malaysia yang sudah berminat membeli sejumlah panser ANOA dari PT Pindad. Dan tak kalah penting, panser buatan Indonesia ini juga dipakai untuk kelengkapan persenjataan Pasukan Perdamaian PBB di Lebanon.

India akan akuisisi 214 T-50 Pakfa dengan nilai kontrak 30 milyar US$



The initial version of a new Fifth Generation Fighter Aircraft (FGFA) is to be unveiled in India in 2014.
The jet, costing $11 billion in research and development alone, is being dubbed one of the most advanced in the world. It is being jointly created by India and Russia, and is hope to be inducted in the Indian Air Force by 2022.
IAF Chief Air Chief Marshal NAK Browne said. "The first prototype of the FGFA is scheduled to arrive in India by 2014 after which it will undergo extensive trials at the Ojhar air base (Maharashtra)... we are hopeful that the aircraft would be ready for induction by 2022."
Two prototypes will follow the initial version in 2017 and 2019. According to the success of test flights, a final jet will be developed for operational service.

Fifth Generation Fighter Aircraft

By the end of 2030, the IAF hopes to acquire 214 of these models at an estimated cost of $30 billion. India and Russia are set to sign a key contract; the biggest ever defense deal, by the year's end, or early 2013.
"Russia has already given the draft R&D contract to us. It will include the cost of designing, infrastructure build-up at Ozar, prototype development and flight-testing. So, India will have scientists and test pilots based both in Russia and Ozar during the R&D phase up to 2019. HAL will subsequently begin manufacturing the fighters," said a source.
The FGFA will be smaller than the current frontline Su-30 MKI, and will feature stealth capabilities. The design was agreed on the jet on September 11, 2010 and will be finalized later this year.
Changes have already been made to requirements, including seating arrangements. Originally, India specified for a minimum of 166 single-seat and 48 twin-seat of the FGFAs, but has now decided on only single cock-pit jets.
The T-50 and F-35 are single-seater aircraft. India have noted that a second cockpit would compromise the aircraft's stealth ability by 15%, in addition to adding extra weight and reducing fuel capacity. Further, R&D costs could increase by an additional $2 billion for the twin-seater version.
India is also planning to add 126 Medium-Multirole Combat Aircraft (M-MRCA) and about 140 Light Combat Aircraft (LCA) to its fleet, after their fighter squadron numbers were declining.

Super Tucano Dijadwalkan Tiba di Indonesia 2 September




31 Agustus 2012, Jakarta: Pangkalan Udara Abdulrachman Saleh, Malang, menyiapkan hangar untuk menampung enam pesawat Super Tucano baru. Pada tahap awal, TNI Angkatan Udara akan menerima sebanyak empat unit pesawat tempur taktis dari pabrikan Embraer Brazil.

Dijadwalkan pesawat tiba 2 September setelah diterbangkan dari Brazil. "Tahap kedua, yakni Maret 2013, empat pesawat lagi dikirim," kata Komandan Skuadron 21 Lanud Abdulrachman Saleh, Mayor (PNB) James Yanes Singal, Jumat, 31 Agustus 2012.

Kementerian Pertahanan meneken kontrak pemesanan pesawat Super Tucano sebanyak 16 unit hingga 2014. Pesawat itu akan menggantikan OV-10 Bronco yang di-grouded karena dianggap sudah tak laik terbang.

Pesanan pesawat tersebut sudah diberangkatkan dari Brazil dengan menempuh rute penerbangan Brazil-Maroko-Spanyol-Italia-Doha-Qatar-India-Thailand-Indonesia. Pesawat transit dan beristirahat di sejumlah negara sehingga total perjalanan mencapai 12 hari. "Istirahat demi keamanan dan konsentrasi penerbang," katanya.

Pesawat dikirim langsung produsen Super Tucano Embraer bersama delapan penerbang dan teknisi. Mereka bertugas mengirimkan pesawat hingga serah terima pada 17 September. Adapun para teknisi terus mengawasi pesawat hingga masa garansi setahun. Kini pesawat telah tiba di Pengkalan Udara Halim Perdana Kusuma.

Setelah melakukan perjalanan jauh, pesawat akan menjalani pemeriksaan fisik dan konfigurasi, lalu diikuti pengecekan terbang yang bakal diikuti bersama Komandan Wing 2 Lanud Abdulrachman Saleh, Letnan Kolonel Andi Wijaya dan James Yanes Singal. Keduanya telah menjajal pesawat yang berfungsi untuk serangan udara taktis.

Usai menjalani pemeriksaan, uji terbang, dan diserahterimakan dari Embraer, pesawat segera digunakan untuk operasi pengamanan. Namun, James tak bersedia mengungkapkan misi pertama yang bakal dilakukan Super Tucano (burung maskot Brazil). Pesawat berfungsi membantu tembakan udara ke darat membantu pasukan infanteri, patroli udara, dan serangan udara terbatas.

Total sebanyak 12 penerbang telah mengikuti pelatihan khusus untuk mengenal karakteristik pesawat asal Brazil. Para pilot sebelumnya berpengalaman menerbangkan OV-10, Hawk, Sukhoi dan F-5. Mereka dilatih selama sebulan di Brazil.

Selain itu, ada juga dukungan pelatihan dengan simulator atau computer based training dan simulator untuk menerbangkan pesawat di kawasan Skadron 21. Sebanyak 36 teknisi juga dilatih merawat pesawat.

Pesawat tempur ringan dengan call sign EMB 314 ini dicat kepala hiu berwarna merah di bagian moncongnya. Keempat Super Tucano TT-3101, TT-3102, TT-3103, dan TT-3104 ini mampu mengangkut peralatan tempur seperti persenjataan dan bom hingga 1.500 kilogram. Maksimal bisa mengangkut sekitar empat bom.

Sumber: TEMPO

Kapal Perang Siluman Diluncurkan



Kapal Cepat Rudal (KCR) KRI Klewang bernomor lambung 625, meluncur di Selat Bali, Kalipuro, Banyuwangi, Jawa Timur, Jumat (31/8). KRI Klewang tersebut mempunyai panjang 63 meter, berbahan dasar vinylester carbon fiber (infused), menggunakan teknologi maju di bidang pembuatan kapal perang antara lain kemampuan tidak terdeteksi oleh radar, tidak mengandung unsur magnet, serta tingkat deteksi panas dan suara yang rendah. (Foto: ANTARA/Seno S./ss/mes/12)

1 September 2012, Banyuwangi: TNI Angkatan Laut kini kian kuat. Kemarin satu kapal cepat rudal (KCR) yang diyakini mampu menjadi kekuatan pemukul di matra laut,KCR Trimaran, resmi diluncurkan dari galangan kapal milik PT Lundin Industry Invest di Pantai Cacalan,Kecamatan Kalipuro,Banyuwangi.

Kapal perang pertama berlunas banyak di Asia Tenggara, bahkan diklaim sebagai salah satu tercanggih di dunia,secara resmi dinamakan KRI Klewang– pedang bermata tunggal tradisional Indonesia berasal dari Pulau Madura– dengan nomor lambung 625. Selain kecanggihan teknologinya,desain kapal juga terbilang radikal karena sisi depannya sangat lancip dan berlunas tiga (trimaran) dengan keseluruhan elemen berbahan dasar infus vinylester karbon fiber.Dengan penggunaan material seperti ini bodi KRI Klewang mampu menginduksi panas sehingga sulit terdeteksi radar (stealth).

Peluncuran kapal perang yang dengan panjang keseluruhan 63 meter itu dilakukan Wakil Asisten Logistik Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana Pertama Sayyid Anwar, Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas, dan PT Lundin. “Kapal ini pengembangan lanjutan dari riset agar TNI AL tetap diperhitungkan di dunia internasional. Kapal ini sangat canggih dan baru ada di Amerika SerikatdanIndonesia,”kata Laksamana Sayyid Anwar.

Dia menjelaskan, KRI Klewang ini dianggarkan dari pengadaan dana sisa devisa anggaran tahun 2009 yang kemudian pengerjaan kapal dilakukan oleh PT Lundin Industry Invest di Banyuwangi. KRI Klewang akan dipersenjatai peluru kendali asal China C-705 yang akan diproduksi di Indonesia dengan jarak tembak hingga 120 kilometer. “Kapal cepat siluman ini yang pertama dengan menggunakan rudal dan berlunas trimaran. Kapal ini tidak bisa terdeteksi oleh radar karena menggunakan bahan khusus salah satunya dari komposit,”ujarnya.

Spesifikasi kapal itu memiliki panjang 63 meter,kecepatan maksimal 35 knot, bobot 53,1 GT, serta mesin utama 4x marine engines MAN nominal 1.800 PK. Saat diluncurkan ke perairan Selat Bali, kondisi pengerjaan KRI Klewang baru selesai 90%. Adapun finalisasinya, termasuk pemasangan peralatan persenjataannya, akan dilakukan di Pangkalan TNI AL Banyuwangi.

Pengamat militer dari Universitas Indonesia (UI) Andi Widjajanto menilai peluncuran KRI Klewang yang berjenis kapal cepat rudal merupakan awal yang baik bagi pengembangan kapal modern pada masa mendatang.

Sekarang ini hanya ada beberapa negara yang mampu membuat kapal dengan tiga lambung seperti Amerika Serikat dan Jerman. Karena itu, jumlah kapal berlambung tiga ini juga masih sedikit di dunia, apalagi yang digunakan untuk kapal militer. “Kapal dengan tiga lambung ini menjadi arah pengembangan industri ke depan, dan kita sudah mampu membuatnya,” katanya. Andi menilai, Indonesia perlu mengembangkan kapal seperti ini karena selain mengikuti arah pengembangan kapal modern,kapal jenis ini juga cocok dengan kondisi perairan Indonesia. Kapal ini memiliki stabilitas yang lebih baik dibandingkan kapal-kapal lain yang berlambung satu.

“Ini sangat cocok untuk kondisi perairan dengan gelombang dan angin keras seperti yang ada di Indonesia,” ungkap dia. Meskipun merupakan salah satu kapal modern, kehadiran kapal ini bagi jajaran TNI Angkatan Laut dinilai belum cukup memberi perubahan berarti bagi perimbangan kekuatan dengan negara tetangga.“ Trimaran belum memberi perubahan apa-apa karena kapasitas minim, teknologi, dan tonase kecil,”bebernya. Karena itu, kapal ini perlu dikembangkan lagi pada masa mendatang. Andi menyebut ada beberapa hal yang patut menjadi perhatian dalam pengembangan antara lain dari segi kapasitas tonase.

KRI Klewang memiliki tonase yang kecil sehingga menjadi masalah tersendiri karena tak bisa mengangkut amunisi banyak untuk senjata rudal yang dimilikinya. KRI Klewang dilengkapi peluru kendali (rudal) yang standarnya sama dengan kapal perang jenis fregate.“Hanya tonase kecil, masalah utama ada di daya angkut amunisi.Ke depan perlu dikembangkan kapal sejenis dengan kapasitas lebih besar,minimal menyerupai frigate,”tuturnya. Selain itu, pengembangan juga diharapkan menyangkut masalah teknologi yakni membuat kapal menjadi antiradar (stealth).

“Amerika Serikat sekarang sudah merancang prototipe yang stealth. Kalau yang KRI Klewang ini belum stealth, baru andalkan teknologi permukaan saja dan memiliki lambung tiga,”sebut Andi. Untuk bisa membuat kapal antiradar (stealth),dibutuhkan bahan dan teknologi khusus dalam membuatnya. Kapal antiradar berbahan titanium ringan yang proses pembuatannya didesain sedemikian rupa sehingga mampu meminimalisasi irisan radar hingga mendekati nol.

Cocok untuk Karakteristik Indonesia

Kapal patroli siluman 32m rancangan LOMOCean Design, Selandia Baru. (Image: LOMOCean)

Direktur PT Lundin Industry Invest Lizza Lundin dan John Lundin memaparkan,kapal ini hasil kolaborasi riset, desain, dan pengembangan antara North Sea Boats Pte Ltd/PT Lundin dan arsitek kapal LOMOCean dari Selandia Baru yang dilakukan secara intensif selama 24 bulan. “Hasil kolaborasi tersebut merepresentasikan suatu langkah maju dalam penggunaan teknologi maju di bidang pembuatan kapal perang,” kata Lizza.

Penggunaan bahan baku karbon foam sandwich untuk aplikasi kapal dalam skala yang luas seperti itu suatu hal yang belum pernah dilakukan di luar Skandinavia dan suatu representasi kemutakhiran teknologi di bidang rekayasa struktural dan produksi.Dengan kemampuan stabilitas yang sangat baik dan rancangan lambung yang dangkal, kapal ini didesain untuk berpatroli di pesisir yang panjang. Bentuk lambung dirancang agar kapal dapat melaju dengan kecepatan yang tinggi,namun dengan tetap memperhatikan kemampuan kru atau kapal untuk beroperasi di laut curam dan pendek yang merupakan karakteristik garis pantai di kepulauan di Indonesia.

Sedangkan bagian bawah garis air telah dioptimalkan untuk dapat mencapai kecepatan jelajah yang cukup jauh. Pajang, posisi melintang dan membujur, serta kemampuan peredaman dari masing-masing lunas telah dirancang secara khusus guna daya tahan terbaik dengan menggunakan analisis slender body dan towing tank. Desain struktural, meskipun masih memerlukan persetujuan dari Germanischer Lloyd di Hamburg Jerman, menggunakan metodologi desain yang dirancang khusus untuk geometri dari sebuah kapal berlunas tiga yang dapat memecah ombak.

Konstruksi kapal ini menawarkan beberapa keunggulan antara lain lebih ringan (karbon fiber yang telah dilaminasi memimiki tingkat kepadatan separuh lebih rendah daripada alumunium) dan efisien dalam biaya perawatan (karbon komposit tidak dapat berkarat dan memiliki batas kelelahan yang tinggi).

Kapal tersebut juga mempunyai kemampuan tidak terdeteksi oleh radar karena bentuk panel yang benar-benar datar yang didapat sebab tidak ada distorsi selama proses perakitan, tingkat keakuratan geometris yang sangat tinggi, tidak mengandung unsur magnet, tingkat deteksi panas,dan suara yang rendah. Untuk tenaga dan sistem propulsi,kapal ini menggunakan beberapa mesin diesel MAN V 12 dan waterjet MJP 550, yang mana terletak di lunas tengah dan juga di masing-masing lunas kiri dan kanan,guna menghasilkan tenaga pendorong yang maksimum dan kemampuan bermanuver yang baik.

“Ruang akomodasi disediakan untuk 29 orang kru kapal pada tiga lantai dek termasuk anjungan kapal dan ruang kendali, juga disediakan fasilitas dan peralatan termasuk kapal rigid inflatable boat sepanjang 11 meter yang dapat dipergunakan untuk penerjunan pasukan khusus,”katanya.

KRI Klewang Ditempatkan di Armatim



Wakil Asisten Logistik Kepala Staf Angkatan Laut, Laksamana Pertama Sayyid Anwar, mengatakan Kapal Cepat Rudal Trimaran KRI Klewang 625 akan ditempatkan di Armada Timur, Surabaya.

Meskipun begitu, kata dia, kapal bisa dioperasikan di seluruh kawasan di Indonesia sesuai kebutuhan. "Operasinya bisa di kawasan barat atau timur sesuai dengan kebutuhan," kata dia usai meluncurkan KCR Trimaran di galangan kapal PT Lundin Industry Invest, Banyuwangi, Jumat, 31 Agustus 2012.

Menurut Sayyid Anwar, KCR Trimaran ini berfungsi sebagai kapal perang. Kapal ini dilengkapi empat peluru kendali dengan daya jelajah hingga radius 120 kilometer. KRI Klewang juga diklaim memiliki teknologi khusus sehingga tidak dapat dideteksi radar musuh.

Sumber: SINDO/TEMPO

LAPAN TAHUN DEPAN MELUNCURKAN SATELLITE LAPAN A2


:Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) tahun depan siap meluncurkan Lapan A2, satelit kedua buatan Lapan, namun menjadi yang pertama yang dibuat di Indonesia.

"Satelit Lapan A2 telah selesai dibangun dan siap diluncurkan tahun depan," kata Kepala Bagian Humas Lapan Elly Kuntjahyowati di Bogor, Jumat (31/8).
 

Satelit ini akan diluncurkan dengan menggunakan roket milik India dari Sriharikota, India. Satelit Lapan A2 dirancang untuk tiga misi, yaitu pengamatan bumi, pemantauan kapal, dan komunikasi radio amatir.
 

Satelit ini memiliki sensor "Automatic Identification System" (AIS) untuk identifikasi kapal layar yang melintas di wilayah yang dilewati satelit tersebut. Dengan demikian, Lapan A2 akan memiliki kemampuan untuk memantau lalu lintas wilayah laut Indonesia.
 

Satelit dengan berat 78 kilogram ini akan mengorbit pada ketinggian 650 km. Pada orbit tersebut Lapan A2 akan melintasi wilayah Indonesia secara diagonal sebanyak 14 kali sehari dengan lama waktu melintas sekitar 20 menit.
 

"Pada orbit tersebut AIS Lapan A2 akan mempunyai radius deteksi lebih dari 100 km dan mempunyai kemampuan untuk menerima sinyal dari maksimum 2.000 kapal dalam satu daerah cakupan," ujarnya.
 

"Lapan A2 akan mengorbit secara ekuatorial. Nantinya Lapan A2 akan menjadi satelit pemantauan bumi pertama di dunia yang memiliki orbit ekuatorial," katanya.
 

Menurut dia, pembangunan Lapan A2 merupakan keberhasilan bangsa Indonesia dalam mengembangkan teknologi antariksa. Awal keberhasilan ini, ditandai dengan dibangunnya satelit pertama buatan Indonesia sebelumnya, Lapan-Tubsat.
 

Satelit yang diluncurkan pada 2007 dari India tersebut, lanjut dia, hingga kini masih beroperasi dengan baik, padahal awalnya diperkirakan usianya hanya mencapai dua tahun.
 

"Lapan-Tubsat murni buatan para peneliti dan perekayasa Lapan meskipun pembangunannya bekerja sama dengan Technische Universitat Berlin di Jerman," katanya.
 

Keberhasilan pembangunan Lapan-Tubsat ini, menurut dia, kemudian memberikan semangat bagi Lapan untuk mengembangkan satelit berikutnya yaitu Lapan A2.
 

"Lapan A2 ini sepenuhnya dibangun di Pusat Teknologi Satelit Lapan di Rancabungur, Bogor, Jawa Barat," tambahnya.
 

Lapan A2 merupakan satelit yang sama dengan Lapan-Tubsat, namun, memiliki sensor yang lebih ditingkatkan dibandingkan satelit pendahulunya.


Sumber : Metrotvnews

ANALISIS : DIPLOMASI PRE EMPTIVE JANGAN PAKSAKAN KEHENDAK


Kunjungan Menlu AS Hillary Clinton awal September 2012 ini ke Jakarta sangat diyakini membawa upaya pre emptive diplomasi AS sehubungan dengan gerak langkah Cina dari sisi militer dan diplomasi yang sangat mengkhawatirkan posisi AS.  Hillary memulai kunjungannya tanggal 30 Agustus 2012 dari Cook Island, Timor Leste, Indonesia, Brunai, Cina dan Rusia selama 11 hari.  Di Vladivostok Rusia Clinton mewakili Presiden Obama dalam Konferensi Tingkat Tinggi APEC pekan pertama September 2012.  Entah ada kaitannya atau tidak sebelumnya tanggal 10 Agustus 2012 Menlu Cina  Yang Jiechi sudah lebih dulu berkunjung ke Jakarta, tentu juga melakukan diplomasi pre emptive dan menjanjikan kepada seorang gadis manis bernama Indonesia.

Posisi Indonesia sangat jelas, tidak memiliki konflik dengan kawasan Laut Cina Selatan (LCS) tetapi kawasan ini bersinggungan dengan halaman depan rumah kita dan sekaligus menjadi jalan raya transportasi strategis dari dan ke Asia Timur.  Klaim Cina atas seluruh pulau dan perairan LCS membenturkan dirinya pada sejumlah negara ASEAN yang sama-sama mengaku menjadi pemiliknya.  Lalu kenapa AS menjadi sibuk dan ikut masuk pada wilayah benturan itu, padahal tak ada kaitannya dengan teritori dia.

Sibuknya AS “mengurus” Cina di LCS tidak sekedar berkaitan dengan konflik teritori.  AS sejatinya haus dengan sumber daya energi tak terbarukan yang bernama minyak bumi dan gas walau testimoninya selalu mengaku hendak membendung pengaruh Cina.  Bersamaan dengan itu sifat jagoannya muncul manakala Cina menargetkan bahwa pada tahun 2020 nanti militernya mulai berada dalam kriteria kekuatan regional yang disegani. AS tentu tak ingin kehilangan hegemoninya sebagai pemimpin klasemen liga kekuatan militer di Asia Pasifik dan dunia yang mampu memayungi Jepang dan Korsel.
Armada Kapal Perang RI pulang dari Latgab
Perkembangan terkini situasi dan kondisi maju ekonomi regional di masing-masing negara tentu tidak bisa dihindarkan.  Kemajuan ekonomi Cina merupakan efek kejut dari pola sebuah negara raksasa non demokrasi yang diprediksi akan menjadi kekuatan ekonomi nomor satu di dunia beberapa tahun ke depan. Sejalan dengan itu Cina juga membangun kekuatan militernya secara terpadu menuju militer pre emptive di kawasan Asia Pasifik.  Prediksi kekuatan ekonomi dan militer Cina yang bakalan tak terbendung ini memberikan reaksi paranoid di mata AS sehingga ada kesan kepanikan psikologi militer.  Lalu memindahkan kekuatan armada Mediteranean dan marinir ke Asia Pasifik sembari berupaya memperbanyak sekutu.

Merapatnya kekuatan militer besar di kawasan LCS dimana teritori Indonesia sebagai garis pantai terbesar dari arah selatan mengharuskan AS melakukan lobi intensif dan sedikit menekan kepada Indonesia.  Jika terjadi konflik militer skala besar garis pantai dan teritori udara RI akan menjadi akses militer AS untuk memukul Cina dari arah selatan.  Sementara dari arah timur diprediksi armada VII AS berkonsentrasi menjaga Taiwan, Korsel dan Jepang.   Artinya AS memang butuh sekutu tambahan sebagai pemilik teritori paling depan.  Indonesia adalah pilihan satu-satunya dalam upaya mengurung Cina di LCS sehingga ini akan menutup akses militer dan ekonomi Cina ke selat Malaka, selat Sunda dan selat Lombok. 

Vietnam, Malaysia, Brunai, Filipina jelas berkonflik dengan Cina dan jika Indonesia berhasil masuk “aliansi” bersama AS dan Australia tentu sistem keroyokan yang dikenal sebagai pakemnya AS dalam menghajar lawannya menjadi sempurna dari sisi strategi militer.  Dari sisi kekuatan militer dan cakupan wilayah tempur, gabungan militer AS, Australia, Singapura, Malaysia, Vietnam, Brunai dan Filipina diyakini mampu bersaing dengan Cina.  Masalahnya adalah kedekatan Indonesia dan Cina yang terus dipupuk lewat kerjasama ekonomi dan pertahanan akan menjadi goncangan tersendiri karena posisi teritori dan pengaruhnya yang kuat di ASEAN bisa mementahkan semua prediksi dan asumsi yang dibangun AS.
Pendaratan pasukan marinir di Natuna
Diplomat Indonesia di Kemenlu dan intelijen militer tentu sudah paham dengan lagu dan langgam yang diperdengarkan AS. Kecerdasan diplomasi RI sudah teruji untuk memberikan argumen berwajah perspektif dengan menawarkan logika bersahabat pada semua negara. Tidak ingin memiliki musuh dan selalu berupaya mendekatkan kedua posisi yang berseberangan itu setidaknya akan memberikan ruang untuk mendinginkan temperatur.  Di mata AS upaya mendekati RI dengan membawa hibah berbayar 24 F16 batch 1 dan 10 F16 batch 2, lampu hijau pembelian 8 heli Apache dan rudal serang darat jarak jauh Maverick serta latihan militer bersama merupakan pintu masuk yang bergizi. Namun pemaksaan terhadap sebuah keinginan berdasarkan logika pergaulan yang disandang sekalipun membawa “kado” tidaklah pantas dikedepankan secara tersurat.

RI ingin semua persoalan sengketa berbaju apa pun sangat terhormat dijalankan melalui jalur diplomasi dan perundingan. Dan RI sudah melakukan itu misalnya menjadi arsitek perdamaian di Kamboja dan Filipina Selatan. Nah kalau jalur ini yang dilalui pertanyaannya adalah atas dasar apa AS ikut-ikutan berunding karena dia tidak berkonflik dengan teritori Cina yang dipersengketakan.  Maka logika kita akan semakin jelas bahwa sejatinya AS ingin mendapat jatah sumber daya fosil di dasar LCS disamping agar hegemoni militernya di Asia Pasifik tetap bersinggasana. Dalam upaya menjaga hegemoni itu tentu dia tak ingin sendirian menanggung beban militer membendung pengaruh Cina. Dan salah satu upayanya tentu dengan merangkul RI agar ikut serta dalam pengaruhnya untuk kesetiakawanan.

Pesan untuk AS, bermain cantiklah terhadap republik ini karena atmosfer takdir tidak lagi mengharuskan pemaksaan kehendak dan merasa benar sendiri.  Asia Pasifik adalah masa depan dunia. Cina bersama Jepang, Korsel, Taiwan dan Singapura sudah memberikan panduannya. Indonesia pun sudah diperhitungkan dunia dengan kekuatan ekonomi terbesar ke 16 di dunia dan terbesar di ASEAN. Pergaulan kawasan yang dibangun dengan semangat saling menghormati dan tak merasa arogan adalah posisi strategis yang menjadikan ASEAN tetap bergema meski beberapa anggotanya berselisih dengan Cina. Indonesia berperan besar dalam menciptakan posisi ASEAN yang harmonis.  Kita meyakini dengan peran RI yang selalu mengedepankan diplomasi rendah hati namun ulet bisa membawa negara ASEAN yang bersengketa dengan Cina ke meja perundingan.
Batalyon Scorpion dalam sebuah Latgab TNI
Seandainya Cina mau berunding dengan ASEAN tentang masa depan LCS dan menemukan kata kuncinya, kondisi ini tentu akan memukul wajah AS sekaligus akan menjadikan Cina terhormat di mata ASEAN.  Bukankah kemajuan ekonomi Cina dan ASEAN yang sudah didapat selama ini akan menjadi kesia-siaan jika terjadi konflik militer berskala besar. Tentu pemikir strategis di masing-masing negara yang bersengketa tidak ingin masuk di wilayah itu. Jadi ingat ketika upaya RI merukunkan faksi-faksi yang bertikai di Kamboja dengan melakukan Jakarta Informal Meeting (JIM) November 1988.  Begitu alotnya mempersatukan ego keras masing-masing di Kamboja dan rasanya mustahil berdamai. Kubu Hun Sen didukung Vietnam dan Uni Sovyet sementara Heng Samrin didukung Cina. Namun dengan kepiawaian diplomasi Menlu RI Ali Alatas kekerasan kedua kubu mencair dan akhirnya berdamai di Paris setahun kemudian.

Dengan contoh itu dalam lingkup yang lebih luas RI bisa melakukan langkah inisiatif untuk merundingkan kawasan LCS. Cina juga diharap tak kaku dengan langkah perundingan karena Indonesia sejatinya ingin kawasan regional ini menjadi kawasan yang sejuk dan damai.  Tetapi kalau kekakuan Cina terus dipanggungkan maka  ketika militer RI mulai bertaring tahun 2020 tak salah jua jika negeri ini merapat ke AS demi solidaritas ASEAN dan penyeimbang kawasan.


Sumber : Analisis

UPDATE : PELUNCURAN PERDANA KRI KLEWANG 625 BERHASIL DENGAN MULUS


KRI Klewang 625 berhasil diluncurkan dari galangan kapal PT. Lundin Industry Invest. Kementerian Pertahanan memesan 4 kapal trimaran dengan harga per unit Rp 114 miliar

TNI AL Luncurkan Kapal Siluman Tercanggih
KBRN, Banyuwangi: Kapal Cepat Rudal (KCR) Trimaran / KRI Klewang 625 yang merupakan kapal siluman pertama didunia, Jum'at (31/8) secara resmi diluncurkan.

Kapal yang memiliki panjang 63 meter buatan Banyuwangi tersebut diklaim sebagai kapal perang tercanggih didunia karena sulit terdeteksi oleh radar.


Wakil Asisten Logistik Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana Pertama, Sayid Anwar, mengatakan peluncuran KRI Klewang merupakan prestasi yang membanggakan bagi Indonesia karena merupakan kapal jenis combatan yang sulit dideteksi oleh radar karena dibuat dari bahan komposit yang ringan sehingga memiliki kecepatan sampai 35 knot.

"KRI Klewang ini sangat ringan sehingga memiliki kecepatan yang cocok untuk misi rahasia dan tempur," ujarnya.


KCR Trimaran merupakan kapal perang tercanggih yang dikembangkan sejak tahun 2009 oleh TNI AL dan PT. Lundin, akan dilengkapi  rudal jarak tembak 120 km membuat kapal ini menjadi kapal perang kebanggaan Indonesia.


"Kapal ini akan dilengkapi 4 rudal jenis C 705 produksi cina dan perlengkapan canggih lainnya," tambah Laksamana Pertama Sayid Anwar.

KRI Klewang tersebut akan diawaki oleh 27 ABK tersebut rencanya akan memperkuat Armatim TNI AL di Surabaya.


Sumber  : RRI

KCR X3K TRIMARAN " KRI KLEWANG - 625 "


 :Selamat datang KRI Klewang. Ucapan ini disampaikan terkait peluncuran kapal berlunas tiga (trimaran) yang dilakukan Banyuwangi di Jawa Timur hari ini. Kapal yang diproyeksikan sebagai kapal cepat rudal dan mampu melaksanakan operasi keamanan laut serta tempur laut ini akan melengkapi jajaran Kapal Republik Indonesia (KRI) yang sudah ada.

Kehadiran kapal yang sudah resmi mendapat nama KRI Klewang ini memang sudah ditunggu-tunggu. Proyek yang merupakan hasil garapan bareng PT Lundin Industry Invest dengan TNI AL ini memancing penasaran bagi para pemerhati dunia militer: apakah Trimaran X3K yang rancang bangunnya melibatkan putra-putri terbaik bangsa benar-benar akan menjadi kekuatan pemukul di lautan seperti yang diharapkan. Sejak program riset dan pengembangan dimulai pada 2007 hingga kemarin, jeroan kapal perang yang digadang sebagai kapal siluman (stealth) paling canggih milik TNI AL, KRI Klewang menjadi misteri karena memang dirahasiakan.

Masyarakat hanya bisa melihat purwarupa dan atau desain luarnya. Juga sejumlah spesifikasi teknis seperti ukuran kapal, kecepatan, dan beberapa spesifikasi dasar lainnya. Dari gambarnya terlihat kapal ini mempunyai bentuk lunas yang radikal, dan diklaim sebagai kapal berlunas banyak terbesar di Asia Tenggara. Dengan bentuk demikian, kapal bisa melaju dengan kecepatan lebih dari 30 knots dan mampu menembus ombak setinggi 6 meter.

Sedangkan bodinya yang memiliki panjang 63 meter dibungkus komposit berbahan dasar karbon fiber. Material ini sangat istimewa karena tidak menginduksi panas dan lebih kuat daripada baja, tapi lebih ringan hingga kapal ini tidak bisa dideteksi radar. Dengan keistimewaan dan desain ergonomis yang membuat kapal mampu beroperasi sepuluh hari secara terus-menerus, plus rudal C-802 yang berdaya jelajah hingga 120 km.

Konon persenjataan disembunyikan di dalam bodi kapal, KRI Klewang akan mampu menguasai medan lautan di Tanah Air, mendukung operasi komando, serta menjadi kekuatan pemukul yang menakutkan.

“KRI Klewang layak menjadi kebanggaan rakyat Indonesia sebagai salah satu alutsista andalan yang diproduksi industri pertahanan nasional,” demikian kata President Director PT Lundin Industry Invest John Lundin.

Sejatinya, kebanggaan terhadap kehadiran KRI Klewang bukan sekadar kecanggihan dan kemampuan tempur kapal tersebut, melainkan keberanian Indonesia membangun sendiri alutsista canggih yang selama ini hanya dikuasai segelintir negara maju. Proses yang dilalui mulai dari pembuatan keputusan, desain, hingga produksi ibarat mewujudkan sebuah mimpi besar.

Mimpi besar itu hanya akan menjadi angan jika tidak ada niat dan kesungguhan untuk mewujudkannya. Ternyata, mimpi membangun sendiri kapal cepat rudal trimaran dengan kemampuan stealth bisa terwujud. Momentum peluncuran hari ini hendaknya akan melambungkan kepercayaan diri bangsa ini menjadi reinforcing force untuk membangun mimpi-mimpi besar lainnya: membangun rudal, pesawat tempur, kendaraan tempur, tank, kapal tempur, kapal selam, dan berbagai alutsista canggih secara mandiri.

Sejauh ini pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pertahanan, sudah on the right track, yakni memprioritasnya produksi dalam negeri untuk persenjataan ringan, melakukan kerja sama untuk persenjataan canggih. Tetapi ke depan hendaknya porsi belanja dalam negeri diperbesar untuk memberi kesempatan produsen lokal seperti PT DI, PT Pindad, PT Palindo, PT Lundin, Sari Bahari, dan lainnya tumbuh dan berkembang.

Mencontoh KRI Klewang, dengan dukungan dan yang besar untuk memenuhi target military essential force (MEF), pemerintah, TNI, dan produsen dalam negeri hendaknya terus dan berani membuat terobosan untuk mengembangkan alutsista sesuai karakteristik Nusantara dan perkembangan kemajuan zaman.


Sumber : Sindo

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...