Tuesday, July 24, 2012

SATGAS INDO FPC TNI KONGA XXVI-D2 DIPERKUAT 7 RANPUR ANOA


LEBANON-(lantangq4683) :Suatu kehormatan bagi Satgas Indo FPC TNI Konga XXVI-D2/UNIFIL untuk menggunakan kendaraan tempur (ranpur) Anoa yang merupakan sebuah kendaraan tempur militer lapis baja dan merupakan salah satu hasil karya terbaik anak bangsa yang diproduksi secara langsung oleh PT Pindad-Indonesia.

Salah satu kelebihan yang ada pada Anoa adalah sistem perlindungan yang diberikan oleh lapisan baja dan rangka, yaitu memiliki tingkat STANAG 3 level 3. Ini berarti, ranpur tersebut bisa menahan peluru kinetis hingga 7,62 x 51 mm Armor Piercing standar NATO dari jarak 30 meter dengan kecepatan 930 m/s, serta bisa menahan ledakan ranjau hingga massa 8 kg di bagian roda gardan dan di tengah-tengah badan.

Selain itu, Anoa dibekali sistem navigasi terbaru dan alat komunikasi anti-jamming. Kendaraan tempur tersebut bisa digunakan untuk bermacam fungsi, mulai dari sebagai pembawa pasukan, kendaraan komando, hingga rumah sakit berjalan, di medan tempur. 
Persenjataan yang terpasang adalah senapan mesin 7,62 mm dan 12,7 mm untuk varian infanteri dan Automatic Grenade Launcher (AGL) 40 mm untuk varian kavaleri. Untuk pertahanan diri, Anoa dilengkapi dengan pelontar tabir asap 2 x 3 66 mm.

Saat melakukan test drive Anoa beberapa waktu lalu, ranpur ini mampu dipacu hingga 100 km/jam. Anoa juga mampu melompati parit selebar 1 meter dan melahap tanjakan dengan kemiringan 45 derajat. Seluruh bodi Anoa dilapisi baja tahan peluru. Apabila diberondong senapan AK-47 atau M-16 dijamin tidak bakal tembus.

Pengiriman 7 unit ranpur Anoa ke Satgas Indo FPC TNI Konga XXVI-D2/UNIFIL ini merupakan program Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Mabes TNI, dalam rangka menggantikan APC VAB - NG buatan Perancis yang sudah sejak 2006 menjadi bagian yang sangat penting dalam pelaksanaan misi PBB di UNIFIL. 
Kedatangan 7 unit Anoa pada Sabtu (21/7/2012) di Markas UNIFIL-Naqoura, yang juga merupakan tempat Satgas Indo FPC, disambut langsung oleh Dansatgas Indo FPC TNI Konga XXVI-D2/UNIFIL Mayor Inf Wimoko dan didampingi oleh Kapten Kav I Nyoman Artawan selaku Perwira Kavaleri merangkap Pasilog Satgas.

Penggunaan ranpur Anoa oleh Satgas Indo FPC adalah untuk menunjang tugas pokok Satgas, antara lain dalam pelaksanaan patroli keamanan wilayah Markas UNIFIL (Green Hill) dan sekitarnya, pengawalan UNIFIL HoM dan Force Commander dalam rangka Tripartite Meeting antara LAF (Lebanes Armed Force), IDF (Israel Defence Force) dan UNIFIL, serta latihan-latihan gabungan dengan pasukan dari negara asing yang tergabung dalam UNIFIL.


v

Pengamat: Saatnya Kemampuan Militer Ditingkatkan




FOTO: Connie Rahakundini Bakrie (http://rahakundini.multiply.com)

                                Pengamat Militer : Connie Rahakundini Bakrie





Senin, 23 Juli 2012
YOGYAKARTA (Suara Karya): Pengamat militer Connie Rahakundini Bakrie menilai saatnya kemampuan militer Indonesia ditingkatkan. Jangan seperti sekarang, dimana alat pertahanan yang dimiliki sangat minim.
Apalagi soal anggaran militer dinilai masih kecil, bahkan sangat kecil bila dibanding negara-negara tetangga ASEAN, sehingga perlu ditingkatkan.
"Ke depan, TNI Angkatan Laut harus mulai mengubah orientasi komandonya. Jika selama ini membagi dengan Komando Armada Barat dan Timur, maka ke depan harus dikembangkan dengan Komando Armada Samudera Hindia dan Komando Armada Samudera Pasifik," kata Connie Rahakundini Bakrie dalam perbincangan 'Dari Yogya Membangun Kultur Indonesia' di Yogyakarta, Sabtu (21/7) petang.
Menurut dia, sebagai negara kelautan, mustinya militer Indonesia bisa menguasai kawasan Samudera Pasifik. Selama ini peranan militer Indonesia di kawasan Samudera Pasifik masih sangat kecil, sehingga kawasan itu sekarang dikuasai Australia.
Indonesia, disebutnya sudah seharusnya berperan di Pasifik, termasuk di bidang militernya. Apalagi, kalau mau melihat lebih jauh, mengingat Indonesia tengah menghadapi posisi seperti halnya Irak menjelang Perang Teluk. Mendekati Perang Teluk, Irak dikelilingi oleh US Military Base. Secara tidak disadari, kondisi sama juga sudah dialami Indonesia. "Kalau kita cermati, ini juga terjadi di Indonesia saat ini," katanya seraya memperlihatkan posisii pangkalan militer AS yang mengitari Indonesia, mulai dari Guam hingga di barat Indonesia.
Isteri mantan Pangkostrad Letjen TNI (Purn) Djadja Suparman ini menyebutkan, TNI Angkatan Udara juga harus terus dikembangkan dan ditingkatkan kemampuannya. Sehingga waktu jangkau dari satu pangkalan ke titik-titik wilayah semakin pendek.
Sementara terhadap minimnya anggaran pertahanan RI tersebut, Hasim Djokohadikusumo mengatakan, partai politik harus bertanggungjawab. Karena minimnya anggaran pertahanan tidak hanya berbuntut pada rendahnya kesejahteraan prajurit. Minimnya anggaran juga telah mengakibatkan merosotnya kemampuan tempur. "Wajar kalau kemudian peralatan militer pun minim dan di bawah persyaratan standar," katanya. (B Sugiharto) 
sumber : SUARA KARYA

TNI dan Pembangunan Ekuilibrium Regional.




FOTO: Connie Rahakundini Bakrie (http://rahakundini.multiply.com)
Oleh: Connie Rahakundini Bakri.

Strategi dan keinginan atas pembangunan kekuatan militer di Indonesia pada awalnya ditujukan untuk mendukung kemerdekaan. Langkah itu diambil dengan menyadari bahwa perjuangan tidak cukup hanya dilakukan melalui cara-cara diplomasi, tetapi dibutuhkan juga intervensi militer yang melibatkan kontak senjata dengan para penjajah dan pemertahanan kemerdekaan.
Indonesia pernah mengecap era saat anggaran pertahanan mencapai 29% dari GDP. Hasil yang dirasakan langsung adalah pada pembangunan kekuatan dan kapabilitas militer yang menjadikan Indonesia sebagai negara yang paling advanced dalam kekuatan militer di kawasan. Selain itu mendorong terciptanya hubungan Washington dengan Jakarta yang penuh sikap respect di mana kemudian kita mendapatkan kembali Irian Jaya dengan hanya sebuah serangan one way ticket.
Pada era pemerintahan Orde Baru, pembangunan kekuatan negara diarahkan pada upayaupaya penciptaan stabilitas nasional sebagai syarat utama tercapainya pembangunan nasional. Pada dekade kepemimpinan ini, militer dituntut untuk masuk ke ranah politik pembangunan bangsa dengan lahirnya dwifungsi ABRI.
Di Orde Reformasi, pembangunan kekuatan kita berubah dengan adanya tuntutan untuk menciptakan militer yang profesional. Muncul keinginan untuk melahirkan militer yang bersifat outward looking. Kondisi ini akhirnya berdampak pada strategi nasional atas pembangunan kekuatan negara dengan kesalahan utama terletak pada tekad tersebut yang tidak diimbangi dengan perumusan strategi pertahanan nasional. Ada defisit pada penyusunan landasan serta kerangka hukum yang mengatur peran dan posisi TNI, termasuk visi dan misi dari transformasi militer yang dimiliki kalangan sipil sendiri mengenai pembentukan militer yang tangguh dan profesional.
Hal ini ditandai dengan banyaknya ketidaksepakatan mengenai konsep keamanan pertahanan negara dan inkonsistensi regulasi yang dilahirkannya. Misalnya persoalan pembangunan doktrin pertahanan melalui doktrin-doktrin strategis, tidak pernah terwujudnya Lembaga Pertahanan Keamanan Nasional (NSC), bersikerasnya Polri untuk tidak berada di bawah pengendalian sebuah departemen hingga persoalan anggaran pertahanan. Maka menjadi suatu momentum penting pada HUT kemerdekaan RI beberapa hari lalu, Presiden SBY untuk pertama kalinya mengumumkan bahwa Indonesia akan kembali memasuki sejarah penting militernya.
Pemerintah menetapkan anggaran pertahanan menempati urutan pertama belanja negara dengan anggaran yang mencapai jumlah Rp64,4 triliun pada 2012. Mengapa langkah itu menjadi penting? Menurut Cline dan Liddle, kekuatan militer dapat digunakan sebagai alat penekan (bargaining position) dalam memperjuangkan pembangunan perekonomian suatu negara.
Ekonomi dan militer pada dasarnya merupakan perhubungan dua variabel yang bersifat timbal-balik.Artinya, jika militer kuat, ekonominya juga akan kuat. Pertahanan Laut Indonesia berdasarkan tinjuan sejarah sebenarnya adalah negara yang berwatak maritim. Fakta bahwa visi maritim merupakan visi pertahanan politik, ekonomi, dan militer yang terbaik bagi negeri ini telah ditunjukkan secara nyata pada era Sriwijaya dan Majapahit. Namun watak kemaritiman tersebut menghilang bersama waktu. Dengan perkembangan abad ke-21 ini sudah selayaknya kita menengok konsepsi “1.000 Navy” dari Admiral Mullen. Konsepsi itu mendorong secara tidak langsung seluruh dunia untuk melirik kembali pembangunan kekuatan maritim bagi terciptanya regional equilibrium (ekuilibrium regional).
Indonesia dapat belajar banyak dari negeri kecil Israel dengan luasnya yang hanya sekitar 1% Indonesia memiliki peringkat ke-14, sementara Indonesia berada di urutan ke- 18 dunia versi Global Fire Power 2011. Salah satu kunci penting tercapainya urutan Israel di daftar tersebut dikarenakan di Israel sistem organisasi militer merupakan ruang eksklusif yang hanya dimiliki militer dan posisinya tetap di luar sistem sipil. Hal sebaliknya terjadi di Indonesia.
Kekuasaan dan intervensi sipil terhadap masalah jabatan militer strategis,‘menguji’ dan ikut menetapkan Panglima TNI, menetapkan alokasi anggaran pertahanan hingga ke pembelian alutsista. Elite sipil sering kali menentukan dengan berpedoman teguh pada konsep ‘civilian supremacy over military’. Hal ini akhirnya berimbas pada pembangunan kekuatan dan kapabilitas TNI. Terbukti, hingga 12 tahun reformasi berjalan, sulit bagi kita mencari solusi atas persoalan pembangunan kekuatan pertahanan. Padahal Indonesia harus menghadapi tantangan dan bentuk “perang baru”yang bertumpu pada kekuatan maritim baik di tataran kawasan maupun global.
Kekuatan angkatan laut (AL) secara prinsip berbasis pada alutsista bukan kekuatan personel seperti angkatan darat (AD). Perumusan postur TNI AL ideal harus diawali dengan penghitungan alutsista yang diperlukan dengan beberapa pertimbangan strategis sesuai dengan karakteristik geografis dan ultrastrategis berbagai alur laut kepulauan Indonesia (ALKI) yang dimilikinya. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa rata-rata biaya operasional alutsista TNI AL yang berbasis kekuatan senjata yang diawaki (berbeda dengan TNI AD) untuk memenuhi hitungan keseimbangan maritim kawasan membutuhkan anggaran tambahan sebesar 70% per unit. Jika dihitung jumlah anggaran sebesar ini, termasuk biaya pengadaan alutsista baru yang harus disediakan, maka total anggaran rata-rata seyogianya mencapai sekitar USD11,78 miliar per tahun.
Pembangunan kejayaan Indonesia dan pencapaian mimpi bangsa-bangsa dunia untuk terwujudnya ekuilibrium regional yang nyata bagi seluruh umat manusia harus menjadi visi dalam mengembangkan sistem pertahanan. Kerangka itu juga digunakan untuk kembali mengangkat Indonesia sebagai negara yang disegani dan berwibawa berlandaskan pada visi maritim dengan fokus pembangunan TNI berdasarkan kekuatan AL. Langkah itu akan mengubah secara fundamental sistem pertahanan dan politik negara yang sudah ada.
Pertanyaan mendasar yang harus diajukan adalah mau dan siapkah kita semua dan para elite politik untuk sungguh-sungguh berkonsentrasi melaksanakannya? Kita harus membenahi dan membangun kembali kekuatan ekonomi dan kesejahteraan bangsa dengan mengembalikan kejayaan dan kekuatan Indonesia sebagai negara yang berdaulat, terhormat, dan berwawasan maritim. Dengan begitu kita mampu memanfaatkan dengan tepat dan benar centre of gravity pertahanan bangsa serta posisi ultrastrategis geopolitik kita.Karenanya tekad kita harus mampu membuat kita berkata, “Aut viam inveniam aut vaciam, I will eith.

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...