Kapal
perang Perancis jenis Fregat, FNS Vendemiaire F743 di sambut tarian
tradisional saat bersandar di Pelabuhan Soekarno Hatta Makassar, Kamis
(26/4). .TEMPO/iqbal Lubis20120426
TEMPO.CO , Surabaya- Teknologi
siluman, yang memungkinkan kapal perang tak terdeteksi radar musuh,
menjadi salah satu keunggulan penting bagi sistem pertahanan di negara
maju. Hanya saja, untuk menciptakan teknologi canggih seperti ini
membutuhkan anggaran besar. Tak mengherankan jika teknologi semacam ini
seperti menjadi monopoli negara maju.
Benarkah teknologi seperti itu tak bisa dimiliki oleh Indonesia?
Jawaban atas pertanyaan inilah yang ingin dipecahkan oleh Mochammad
Zainuri, dosen Fisika Fakultas Matematika Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA),
Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, melalui risetnya
sejak 2009 lalu.
Menurut dia, teknologi siluman sebenarnya bisa dikembangkan dengan
dua cara. Pertama, membuat kapal dengan struktur dan desain yang tidak
bisa dilacak dengan radar. Artinya, saat terkena radar, bagian dari
kapal tersebut akan memantulkannya ke arah lain sehingga membuatnya tak
terdeteksi. "Untuk membuat kapal sendiri dengan desain dan struktur
canggih, butuh biaya sangat besar. Ini tidak mungkin saya lakukan," kata
dia saat ditemui Tempo di rumahnya di Waru, Sidoarjo, Jawa Timur,
Minggu 29 Juli 2012. Ia menyadari anggaran untuk alat utama sistem
persenjataan Indonesia sangat terbatas.
Kedua, mengembangkan teknologi "kapal siluman" dengan menyulap
kapal-kapal bekas yang dilapisi material nano komposit sehingga bisa
menyerap gelombang radar. Konsep inilah yang sedang ditelitinya sejak
tiga tahun lalu hingga kini. Pria 48 tahun ini terus mengembangkan
teknologi siluman dengan mengembangkan material nano komposit, pelapis
yang mampu menyerap gelombang radar.
Material untuk nano komposit itu diambil dari bahan-bahan alam
pasir besi di Pantai Bambang Lumajang, Jawa Timur. Pertimbangannya,
pasir di wilayah ternyata mempunyai sifat veromagnetik (pasir besi).
Untuk bisa menjadi bahan nano komposit, pasir besi ini terlebih dahulu
dipisahkan, diekstraksi, dan direkayasa. Hasilnya lantas digabung dengan
partikel listrik yang berbahan dasar PANi (ponianeline) dalam orde nano
dan diikat sehingga bisa dilapiskan dalam bahan logam.
Kenapa dalam ukuran orde nano? Kata Zainuri, semakin kecil ukuran
partikel maka akan memperluas permukaan spesifik, sehingga kemampuan
menyerap radar semakin besar.
Setelah diuji coba, kata Zainuri, logam yang telah dilapisi dengan
material ini tidak bisa dilacak radar jarak jauh microwafe dengan
gelombang 8-12 GHz. Radar jarak jauh jenis ini biasanya digunakan untuk
mendeteksi keberadaan kapal. Hasilnya, gelombang radar yang dikirim oleh
alat deteksi tidak bisa terpantul kembali alias terserap atau
(terabsorsi) oleh material tersebut hingga 99 persen.
Zainuri menambahkan, prinsip kerja radar adalah mengirim gelombang
ke kapal tersebut. Biasanya kapal selalu memantulkan kembali gelombang
yang dikirim tersebut, sehingga membuat keberadaannya terbaca di alat
pemantau radar. "Jika diberi pelapis logam ini, maka kapal-kapal perang
kita tidak akan terdeteksi oleh gelombang radar meski sebelumnya adalah
kapal-kapal bekas yang selalu bisa terdeteksi oleh gelombang radar,"
ujarnya.
Ia mengungkapkan, ketertarikannya untuk menggunakan pasir besi
pesisir pantai Lumajang menjadi bahan dasar pelapis logam anti radar
berawal dari karena keterlibatannya dalam survey yang dilakukan Badan
Penelitian dan Pengembangan Departemen Pekerjaan Umum Jawa Timur. Ia
diminta untuk meneliti bahan-bahan alternatif yang terkandung pada pasir
pantai tersebut.
Saat itu kata dia, banyak kontraktor perumahan yang langsung datang
dan membeli pasir di wilayah setempat. Harga pasirnya juga lebih lebih
mahal dari yang lain. "Saya diminta meneliti apa kelebihannya.Dan
setelah saya teliti ternyata pasir setempat mempunyai sifat veromagnetik
(pasir yang mengandung besi)," kata pria kelahiran Surabaya, 30 Januari
1964 ini.
Usai melakukan survey itulah muncul ide untuk berkontribusi
terhadap ketahanan alutsista Indonesia. Ide semacam ini juga terpicu
oleh tantangan Profesor Sirait, promotor Strata III-nya di Universitas
Indonesia. "Lue bisa apa untuk bantu pertahanan keamanan Indonesia ?"
kata Zainuri, menirukan ucapan promotornya. Zainuri adalah lulusan
Strata 3 Metalurgi dan Material Universitas Indonesia tahun 2008. Strata
2-nya juga dari kampus yang sama. Sedangkan Strata 1-nya dari ITS.
Setelah itu, ia terus berfikir untuk meneliti sesuatu dan
memanfaatkan ilmunya. "Awalnya ingin melakukan riset menciptakan peluru
ramah lingkungan sehingga selongsongnya tidak terbuang sia-sia. Namun
akhirnya menawarkan untuk mengembangkan teknologi anti radar," ujar dia.
Dengan bantuan dana dari Departemen Riset dan Teknologi, ia kemudian
mengembangkan riset teknologi siluman ini.
No comments:
Post a Comment