Thursday, August 14, 2014

Reputasi Buruk Drone UAV Sebagai Mesin Pembunuh









Di tangan Amerika Serikat dan Israel, Drone UAV sebagai pesawat tak berawak, telah berobah fungsi. Yang semula sekadar berfungsi intelijen sebagai pesawat pengintai dan pengawasan, tiba-tiba berkembang menjadi mesin pembunuh Warga Sipil di Afghanistan, Irak, Somalia,  Palestina dan Lebanon. 

Ketika sedang hangat-hangatnya debat calon presiden tempo hari, khususnya ketika membahas topik pertahanan nasional, tiba-tiba pesawat Drone mencuat sebagai obyek perbincangan yang cukup hangat dalam masyarakat. Terutama pemerhati dan pengkaji perkembangan teknologi kemiliteran. 
 
Drone merupakan jenis pesawat udara tak berawak atau Unmanned Aerial Vehicle (UAV).  Pesawat Drone ini merupakan mesin terbang yang berfungsi dengan kendali jarak jauh oleh pilot, atau mampu mengendalikan dirinya sendiri melalui hukum aerodinamika. Pesawat Drone ini sebagian besar didayagunakan di bidang kemiliteran. 
 
Fungsi utama pesawat tanpa awak Drone digunakan untuk misi pengintaian dan penyerangan. Walaupun banyak laporan mengatakan bahwa banyak serangan pesawat tanpa awak yang berhasil tetapi pesawat tanpa awak mempunyai reputasi untuk menyerang secara berlebihan atau menyerang target yang salah, seperti warga masyarakat sipil. 
 
Salah satu kasus yang paling hangat adalah serangan membabi-buta tentara Israel ke Gaza, yang telah menewaskan ribuan warga masyarakat sipil yang tak bersenjata. Seperti terungkap melalui beberapa sumber pustaka, Angkatan Bersenjata Israel sudah sejak lama menggunakan UAV untuk operasi intelijen dalam perang melawan pejuang Palestina dan Hizbullah yang mendapat dukungan penuh dari Iran. Israel juga memelopori penggunaan drone bersenjata rudal untuk membunuh para pemimpin kunci dari pejuang-pejuang itu. Yang tentunya kemudian berakibat  juga tewasnya ribuan warga sipil Palestina dan Lebanon. 
 
Cerita tentang sepak-terjang Israel dalam membunuh warga sipil Palestina dan Lebanon, nampaknya tak bisa dilepaskan dari penggunaan pesawat Drone UAV. Pada November 2002 misalnya, Israel membunuh warga sipil di Yaman dengan menggunakan Drone UAV buatan Amerika Serikat seperti MQ-1 yang dikenal sebagai Drone predator pembunuh yang pernah digunakan Amerika untuk menumpas Al Qaeda di Afghanistan, karena dianggap sebagai pelaku utama serangan aksi teror 11 September 2001 di Gedung WTC, Washington.
 
Israel mulai merintis UAV pada 1970, dan negara Zionis inilah yang kali pertama memfungsikan Drone UAV sebagai pesawat tempur. Sehingga pada perkembangannya Drone UAV punya reputasi buruk sebagai pesawat pembantai warga masyarakat sipil yang tak ada sangkut-pautnya dengan angkatan bersenjata yang terlibat dalam pertempuran. Misalnya pada 1982, Drone UAV digunakan Israel untuk menggempur warga sipil Lebanon dengan dalih untuk menumpas pasukan perjuangan PLO. 
 
Bahkan Israel menggunakan Skuadron 200, unit UAV pertama, menggunakan scout sebagai umpan untuk mengetahui lokasi rudal permukaan ke udara Suriah di Lebanon. Kedigdayaan Drone UAV Israel ini memang terbukti, dengan keberhasilannya menembak jatuh 85 pesawat tempur Suriah. Sementara dengan menggunakan Drone UAV tersebut, Israel tidak mengalami kerugian samasekali. 
Karena itu, ketika calon presiden Joko Widodo (Jokowi) mengusulkan pengadaan pesawat Drone UAV untuk meningkatkan pertahanan nasional kita, logis jika kita bertanya: Apakah Jokowi sadar berapa banyak wanita dan anak-anak yang telah tewas akibat serangan udara Israel maupun Amerika Serikat dengan menggunakan pesawat tak berawak Predator dan Reaper alias Drone di Palestina, Lebanon dan Afghanistan?
 
Dari sekelumit kisah sepak-terjang Amerika di Afghanistan, maupun Israel di Palestina dan Lebanon, jelaslah sudah  bahwa Drone UAV lebih banyak digunakan sebagai pesawat tempur untuk membunuh warga sipil yang tak berdosa, ketimbang sebagai pesawat pengintai atau patroli seperti yang dibayangkan oleh calon presiden Jokowi. 
 
Lebih buruk daripada itu, pihak militer Amerika beberapa kali terbukti menggunakan Drone UAV sebagai pesawat tempur dengan menembak sasaran yang salah,  sehingga menewaskan puluhan ribu warga sipil tak berdosa di Irak, Afghanistan, dan Somalia. 
Maka tak heran ketika Oxford Analytica, sebuah perusahaan strategis-konsultan independen yang menarik pada jaringan lebih dari 1,000 sarjana-ahli di Oxford dan lembaga-lembaga pendidikan terkemuka, mengatakan pasar untuk sistem pesawat tak berawak "telah melonjak selama dekade terakhir, didorong oleh keberhasilan operasional terbukti di Irak dan Afghanistan dan penggunaan yang luas Israel.
 
Selain itu, para pemangku kepentingan pertahanan Amerika beranggapan, pesawat jenis ini sangat efektif karena dikendalikan dengan remote control pesawat, dan cukup dipandu oleh komputer yang terletak di Markas CIA, di Langley. Bahkan secara berlebihan mereka mengatakan Drone UAV sebagai persenjataan “masa depan.” 
 
Siemon Wezeman, seorang peneliti di Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), mengatakan Drone UAV telah menjadi pasar dengan pertumbuhan yang signifikan dalam satu dekade terakhir dan pertumbuhan yang secara luas diperkirakan akan tetap berlangsung terus pada tahun-tahun mendatang.
 
Ini merupakan tren yang cukup mengkhawatirkan. Karena menurut Laporan PBB yang dirilis pada 2010 lalu, daya tarik utama penggunaan UAV karena dipandang cukup efektif  sebagai mesin pembunuh yang ditujukan  ke  wilayah yang dipersepsikan sebagai wilayah musuh.  Selain dari itu, pesawat jenis ini kecil risikonya, sehingga tidak perlu ada pasukan militer yang tewas terbunuh atau tertangkap oleh musuh. Namun bisa membawa kehancuran maksimal terhadap wilayah musuh yang jadi sasaran serangan. 
 
Pesan utama dari artikel ini adalah, penggunaan Drone UAV yang semula hanya dimaksdkan untuk fungsi-fungsi intelijen seperti pengawasan dan pengintaian, pada perkembangannya secara sadar digunakan sebagai “Mesin Pembunuh” yang terbukti telah memakan ribuan korban jiwa dari warga masyarakat sipil yang tak berdosa di pelbagai belahan dunia. 
 
Alih-alih mengusulkan penggunaan Drone UAV seperti yang dilontarkan calon presiden Jokowi, kiranya jauh lebih tepat untuk mempertimbangkan melarang penggunaan Drone sebagai mesin perang di bawah payung hukum kemanusiaan internasional. Mengingat semakin meningkatnya warga masyarakat sipil sebagai korban jiwa menyusul serangan udara Amerika dan Israel di beberapa negara seperti Afghanistan, Irak, Lebanon, Yaman, Palestina dan Somalia.


Artikel Terkait

» Membaca “Strategi Sarang Lebah” ala CIA, MI-6 dan Mossad

» China Jelaskan Posisinya Terkait Laut China Selatan

» Peran Indonesia dalam Menangani Konflik Laut Cina Selatan

» 2020 Perang Beralih di Asia Pasifik

» Inilah Negara-Negara Eksportir-Importir Senjata Terbesar Sejagat



No comments:

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...