Thursday, October 17, 2013

Ekranoplane Indonesia (Kapal bersayap)


Indonesia mulai mengembangkan
teknologi kapal bersayap. Solusi
masalah transportasi pesisir.
Badan "pesawat" sepanjang 15
meter itu belum lagi rampung.
Kedua sayap dan ekor belum
terpasang. Belasan pekerja tampak
sibuk menghaluskan badan
pesawat yang terletak di gudang
seluas lapangan bola basket di
kawasan Serpong, Kabupaten
Tangerang, Banten.


Di sekitar pesawat, beberapa
perahu berjajar memenuhi
ruangan hingga ke luar gudang.
Sebagian siap dikirim, ada pula
yang masih dalam pembuatan.
Meski kelak dilengkapi sayap dan
ekor, tetap saja "pesawat" itu
bernama kapal laut.
"Ini prototipe kapal bersayap yang
pada kecepatan tertentu bisa
melayang di atas permukaan air,"
kata Direktur PT Carita Boat
Indonesia, Budi Suchaeri.


Carita adalah perusahaan
manufaktur yang menang tender
pembuatan kapal bersayap yang
didanai Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi (BPPT).
Budi mengatakan, kapal
berpenumpang delapan orang plus
empat awak itu siap diuji coba
akhir tahun 2007 ini. Sebelumnya,
dua bulan lalu, model RC (Remote
Control) kapal bersayap ini sukses
diuji coba di Waduk Jatiluhur, Jawa
Barat.


Jika berhasil, kapal bersayap ini
akan menjadi terobosan baru
wahana transportasi di Tanah Air,
terutama di kawasan pesisir pulau-
pulau kecil yang sulit terjangkau
sarana transportasi.
Kapal bersayap atau yang lebih
dikenal dengan sebutan
ekranoplane, adalah kapal laut
yang bisa terangkat ke udara
dengan memanfaatkan efek
permukaan yang rata, terutama
permukaan air atau es. Kendaraan
ini sudah digunakan di sejumlah
negara, misalnya Australia dan
Rusia.
Umumnya, kapal jenis ini
digunakan untuk kebutuhan
militer. Karena memanfaatkan efek
permukaan, maka kendaraan ini
lebih populer dengan sebutan
Wing in Ground/Surface Effect
(WiGE atau WiSE).
Agus MT, mechanical specialist
Carita, mengatakan bahwa
teknologi WiSE diilhami oleh
pesawat-pesawat tempur pada
perang dunia kedua. "Saat kembali
ke pangkalan, pesawat itu terbang
rendah untuk menghemat bahan
bakar," katanya.
Dengan terbang rendah, tak lebih
dari tiga meter di atas laut, sayap
mendapat efek permukaan berupa
tekanan angin yang besar dari
bawah sehingga hanya perlu
tenaga untuk mendorong pesawat
saja.


Prinsipnya, WiSE memanfaatkan
efek pemampatan udara permukaan
yang terjadi pada benda yang
terbang rendah. Efek ini
dipertahankan dengan menjaga
kecepatan yang disesuaikan
dengan bobot dan rancangan
pesawat.
Pemampatan itu terjadi karena ada
perbedaan tekanan pada bagian
atas dan bawah sayap. Ini
merupakan dampak gerak relatif
udara terhadap sayap. Namun,
pada pesawat yang terbang tinggi,
ada "kebocoran" pada bagian
ujung sayap sehingga perlu tenaga
besar untuk menjaga pesawat
tetap melayang.
Pada pesawat yang terbang sangat
rendah, kebocoran itu tertahan
oleh permukaan air atau es
sehingga daya angkat pada sayap
tetap terjaga.


Dibanding pesawat, WiSE lebih
ekonomis karena memakai bensin
premium. Tenaga yang digunakan
pun hanya separuh dari tenaga
pesawat saat terbang tinggi.
Sedang dibandingkan kapal laut,
WiSE melesat lebih cepat, hingga
300 kilometer per jam karena tak
terhalang oleh daya hambat air
laut.


"Dengan kecepatan tersebut, WiSE
cuma butuh 60 liter bensin per
jam," kata Agus. Padahal kapal laut
memerlukan 200 liter solar untuk
menempuh jarak yang sarna.
Sesungguhnya, efek permukaan ini
sudah dikenal sejak pesawat
ditemukan. Hanya, para pilot
menganggap efek ini cuma
membantu proses lepas landas
dan mendarat.
Baru pada 1965, perancang
pesawat asal Rusia, Rotislav
Alexeiev, membuat Kapal Motor
berpropeler “Ekranoplan” yang
dilengkapi 10 mesin turbo jet. Ini
adalah kapal WiSE terbesar dengan
berat 540 ton.


Kapal ini dirancang untuk
pendaratan cepat pasukan dan
kendaraan tempur layaknya LST
pada era Perang Dingin. Setelah
era Perang Dingin berlalu, Rusia
terus mengembangkan teknologi
WiSE untuk kepentingan sipil.
Sejumlah negara tak mau
ketinggalan, seperti Amerika
Serikat, Australia dan Jerman ikut
membuat kapal bersayap. Amerika,
melalui Boeing, bahkan telah
membuat kapal bersayap yang jauh
lebih besar dari Ekranoplan, yaitu
Pelican. Dengan rentang sayap 153
meter dan bobot 1.200 ton, kapal
bersayap ini dirancang Untuk alat
angkut militer.





Kepala Pusat Teknologi Industri
dan Sistem Transportasi BPPT,
Iskendar, mengatakan, teknologi ini
mulai dikembangkan di Indonesia
sejak tiga tahun lalu. "Ini menjadi
solusi masalah transportasi di
negeri kita," kata Iskendar,
Pimpinan Proyek WiSE.
Awalnya, uji model melalui
aerodinamika dan uji mikro
dilakukan di Surabaya. Lalu
pembuatan prototipe dilakukan
oleh Carita di Serpong dan di
galangan kapal Carita di
Bojonegara, Serang, Banten.
Selain hemat tenaga, WiSE unggul
dalam banyak hal. Tak perlu
dermaga khusus atau bandara
untuk merapat dan mendarat.
Perawatannya pun jauh lebih
murah dari kapal laut atau
pesawat.


"Kapal prototype ini cuma memakai
mesin mobil buatan Chevrolet,"
kata Budi. Kapal ini membuat
nyaman penumpang yang
mengalami mabuk laut jika naik
kapal laut, juga membuat nyaman
penumpang yang takut ketinggian
karena cuma terbang rendah.
Penggunaan kapal berteknologi
WiSE ini tentu saja menghemat
ongkos yang harus dikeluarkan
penumpang dan waktu tempuh
lebih cepat.



Dengan kecepatan melebihi 300
kilometer per jam, kapal bersayap
bisa menjadi penghubung pulau-
pulau terpencil atau kota-kota di
pesisir yang sulit dijangkau
transportasi darat. Menurut Budi,
kapal WiSE yang pembuatannya
juga melibatkan pakar
aerodinamika Institut Teknologi
Bandung ini memakai material
komposit sehingga lebih ringan.
Pembuatan prototipe ini menguras
dana sekitar Rp 10 miliar. Tapi,
jika sudah diproduksi massal,
harga jualnya bisa ditekan menjadi
Rp 4 miliar per unitnya. Jauh lebih
murah dari pesawat Cessna
Caravan 14 penumpang yang dijual
US$ 1,2 juta (Rp 11,2 miliar).

No comments:

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...