Tuesday, July 09, 2013

Wawancara Khusus Dengan Dirut Pindad


 PT Pindad (Persero) sejak awal berdiri selalu dipimpin oleh militer. Karyawannya berstatus PNS. Baru pada tahun 1983, atas inisiatif B.J. Habibie, Pindad dipimpin oleh kalangan sipil. Adik Avianto Soedarsono menjabat sebagai Dirut Pindad pada 2007, sebelumnya ia menjabat Direktur Operasional. 
Tantangan yang dihadapi Adik adalah kultur kerja Pindad yang tidak kondusif untuk pengembangan bisnis. Ia menyebut kultur Pindad seperti kelurahan, bukan kultur institusi pemerintah atau institusi bisnis. Kewenangan dirut juga terbatas, karena terkendala oleh AD/ART Pindad, yang tidak memungkinan seorang dirut bertindak sebagai CEO.
Toh, di tengah kendala yang dihadapi, Adik mampu membawa Pindad sebagai produser alutista yang disegani di ASEAN. Angka penjualannya melonjak dari Rp 540 miliar ketika mulai duduk sebagai dirut, hingga menjadi Rp 2 triliun saat ini. Berikut petikan wawancaranya dengan Herning Banirestu.
Adik Avianto Soedarsono, Dirut Pindad

Bagaimana latar belakang Anda sebelum menjadi Dirut PT Pindad (Persero)?
Saya ini lama berkarier di BPPT, saya mendapatkan Ph.D ketika masih di sana. Lulus dari ITB Bandung saya langsung kerja di BPPT. Tahun 1988 saya ke Amerika, kuliah di sana, pulang tahun 1996 saya langsung ke Pindad. Saya masuk sebagai staf biasa waktu itu.
Saya sekolah di Amerika kan production management. Jadi istilahnya kalau di sini S2 saya Teknik Industri, S3 jadi Manajemen Industri. Waktu saya ke Pindad itu, Dirut Pindad baru berganti dari militer ke sipil, Pak Budi Santoso saat itu. Pak Budi masuk tahun 1995, sebelumnya Pak Samsu, Brigjen. Saya jadi staf Pak Budi setelah pulang dari Amerika, memang beliau pernah minta saya.
Sejarah karier saya di Pindad itu dari staf, lalu Wakadiv, Kadiv, Direktur Produksi lalu Dirut
Bagaimana perubahan yang Anda lakukan di Pindad?
Saya tidak mengalami masa saat perpindahan dari militer ke sipil, karena itu terjadi tahun 1983. Sejak diambil alih dari Belanda, selepas perang, ini memang dipegang militer hingga 1983. Pak Habibie yang mengonversikan pimpinannya oleh sipil. 
Intinya di sini lebih institusi daripada industri, itu perjuangan perubahan dari dulu hingga sekarang. Dari dulu hingga sekarang masih sama. Ini masih saya perjuangkan. Jadi, dari segi mentalitas masih seperti kelurahan. Bukan sebagai institusi pemerintahan bukan institusi bisnis.
Sebenarnya awal perubahan itu dilakukan oleh Pak Habibie, tombaknya beliau. Sebelumnya, semua karyawan adalah PNS, lalu diubah menjadi PT, namun semua karyawan masih dalam posisi PNS. Baru habis PNS-nya pada 2012. Dari 5.000 orang PNS waktu itu. 
Lalu bagaimana sebenarnya langkah perubahan yang Anda lakukan?
Waktu saya baru kembali dari Amerika lalu menjadi staf di sini, sempat saya berpikir lho ini perusahaan kok dijalankan bukan sebagai usaha. Kalau perusahaan itu optimalisasi itu penting. Everything matter to the cost of the product, jika tidak ada non value added activities itu harus dieliminasi. Itu pelajaran dari sekolah saya. Nah, itu banyak yang terjadi. Bisnis itu semua itu terukur, tapi secara administrasi juga masih kurang baik, semuanya manual. Di Amerika semua pakai internet, di sini tidak ada. Itulah gap yang saya hadapi. 
Saya ditempatkan bukan di sini (Bandung), saya ditaruh di Turen (Malang) itu pabrik yang satu lagi. Saya di situ ditugaskan melaporkan apa yang terjadi di sana ke dirut, saya melaporkan yang terjadi dari sisi teknis produksi. Tidak lama kemudian saya diangkat, jadi saya punya jabatan tidak hanya melapor saja. Saya sebelumnya hanya staf ahli atau staf khusus, tidak punya kantor waktu itu. Dengan keliling itu, saya bisa paham proses produksi Pindad. Karena latar belakang saya, saya waktu itu tidak bisa diam hanya melaporkan saja ke Dirut, tapi menyampaikan problem dan bagaimana menyelesaikannya. 
Saya waktu itu tiap hari membuat kajian ke dirut, sampai akhirnya beliau bilang sudah deh kamu coba lakukan perubahan tidak hanya melapor saja. Saya waktu itu diberi jabatan Wakil Kepala Divisi Bidang Pengembangan. Jadi nothing to do di bidang operation, only to develop the better system. Nah kurang dari dua tahun saya bisa mengatasi problem-problem pekerjaan, tanpa tambahan mesin dan tambahan orang. Dengan sumber daya yang ada saya bisa lakukaa banyak masalah produksi di sana. 
Kehendak Allah, setahun menjabat itu, Kadiv-nya meninggal. Saya lalu diangkat sebagai VP, itu orang sipil pertama yang menjabat jabatan tersebut. Saya pegang amunisi dan explosif. Saya memang banyak melakukan perubahan sejak Wakil Divisi Pengembangan itu, membawa kultur baru di sana. Saya jadi VP pengembangan itu tahun 1997. 
Setelah menjadi dirut apa saja perubahan yang Anda lakukan?
Setelah 10 tahun dari jabatan VP Pengembangan, sekitar 2007. Sebelumnya saya menjadi Direktur Operasional. Kondisi sebelumnya ya begitu-begitu saja. Pindad tidak mati, namun biasa saja. Pindad berkembang itu tahun 1983, karena Pak Habibie memimpin ini (dengan pemimpin bayangannya Pak Budi) hingga tahun 1993. Mulai tahun 1995 mulai oke, lalu turun karena krismon, kita kena embargo juga, itu bisnis Pindad jadi flat. Tahun 1998 pabrik tidak ada loading, saya sudah di pengembangan, tidak ada produksi, bahkan karyawan saya suruh membuat pagar, supaya karyawan ada aktivitas. Dalam setahun saya harus lakukan PHK dari sebelumnya 1.300 menjadi 1.000 karyawan. 
Saya waktu itu memang lakukan restrukturisasi SDM terutama dalam kultur bekerja. Saya mulai menerapkan transparansi, dulu apa yang dikatakan komandan itu semua orang bilang yes. Saya mulai menularkan bagaimana mengajak mereka memberikan masukan. Terbuka dalam segala hal. Saya waktu itu di kampong, di Turen, yang produksi amunisinya, tiap menit 250 amunisi keluar. Persoalan kita masih pada efektivitas proses produksi dengan pemasarannya. Hingga saat ini itu masih kita rasakan. Masih saja ada periode menunggu yang tidak perlu. Itu masih ada hingga saat ini. 
Pabrik kami ada enam unit, yang menjadi cashcow itu yang di Turen. Pabrik amunisi atau peluru yang menguasai 60% pendapatan Pindad. Memang empat tahun terakhir ada Anoa (kendaraan lapis baja), tapi itukan siklusnya 30 tahun lagi baru beli lagi. Beli tank kan tidak bisa tiap tahun. Beda dengan peluru yang digunakan menembak. Order TNI itu paling besar. 80% order Pindad itu dari TNI. Ekspor itu hanya sebagai knowledge saja, bahwa produk kita itu bagus, orang apresiasi pada produk Pindad, tapi bukan yang membuat hidup Pindad. Hampir tiap tahun kami ekspor. Hampir semua negara ASEAN beli di Pindad, lebih dari 10 negara menjadi tujuan ekspor produksi Pindad.
TNI saja kami masih kewalahan memenuhi permintaannya. Apalagi sejak Perpres 42 (dua tahun sebelum UU no 16 diturunkan) sejak itu saja langsung melonjak penjulanan Pindad. Ini membuat order dari pemerintah (TNI) besar. Dan ditambah lagi UU no 16 orang yang mau bermitra dengan Pindad makin besar. Kala tahun 1997 baru 7-10 tipe peluru, sekarang ada 35 lebih tipe. Setelah 20 tahun kami bisa memproduksi SS2, senjata baru Pindad. Dalam bisnis jika tidka melakukan pengembangan ya mati. 
Sekarang kami punya minning, yang untuk mendukung sektor alat berat (tank dan kendaraan lapis baja). Order saya untuk lima tahun itu sudah 300 unit. Jadi dibutuhkan banyak bahan baku. Produk Anoa itu itu dibuatnya tidak cepat. Beda dengan produksi peluru. Maka itu proses produksinya harus lancar, perjalanan bahan yang untuk membuat pelurunya tidak bisa terhambat. Urutannya sudah pasti. Tidak bisa salah satu proses itu berubah. Bagaimana mengendalikan supply chain planning dengan materialnya. Materialnya itu bisa ribuan.
Kerap planning-nya baik, terjadi barang atau bahan baku tidak bisa masuk. Atau tidak sesuai dengan yang dibutuhkan akhirnya retur. Ini membuat planning terganggu. Kita memang tidak punya customer relationship management, bagaimana vendor A, B record-nya seperti apa, sering terjadi apa. Akhirnya unrealible source sehingga supply chain-nya tidak realibel. Ini masalah SDM. Kembali lagi soal itu. 
Jadi apa yang Anda lakukan dengan kondisi seperti itu?
Marah-marah melulu tiap hari. Itu kenyataan. Kalau tidak bisa, saya kerjakan sendiri. Waktu saya Wakadiv dan Kadiv saya kerjakan sendiri. Setelah saya jadi Direktur Operasi, saya tidak bisa turun sendiri. Apa yang sudah saya benahi selama tiga tahun waktu menjadi Kadiv itu hilang, pada 2007 seperti dari nol lagi hingga hari ini. Itu kondisi terberat melakukan perubahan di SDM.
Ada enam pabrik, tiap pabrik berdiri sendiri-sendiri. Saya set up policy, masalahnya pada bagaimana para pemimpin tiap pabrik menerjemahkannya ke orang dibawahnya. Itu warna saya sebagai dirut, warnanya ya warna VP (pemimpin pabrik). Untuk mengubahnya, kalau saya cukup berani, ya saya rotasi VP-nya. Tapi itu banyak menyedot energi. Saya tidak mau menyampaikan lebih jauh, takut ada yang tersinggung.
Dengan itu saya harus kendalikan secara ketat. Akhirnya saya meluangkan banyak waktu untuk memonitor apa yang mereka lakukan, melakukan koreksi, memberikan petunjuk dan kecepatan bekerja. Jika punya lebih tenaga, saya rotasi people, tapi masalahnya itu tidak mudah. Karena produk yang dihasilkan Pindad adalah control items, memang tidak mudah VP diambil dari luar. Hanya terjadi satu-dua orang. Maka itu saya harus melatihnya dari sumber SDM di dalam. Di sini jika ada posisi lowong, ada lima orang kandidat, tiga orangnya pasti dari dalam. Meski kualitasnya tidak seperti yang dibutuhkan. 
Bagaimana dengan kondisi seperti itu Anda lakukan pembenahan?
Dalam tiga tahun terakhir saya coba melakukan pembenahan di gaji. Saya di tahun 2011 menaikan gaji 33%, agar minat lulusan terbaik itu mau ke sini. Karena kondisi gaji dulu yang kurang baik, orang terbaik enggan ke Pindad. Lulusan terbaik selalu lihat berapa gaji awal mereka. Tiga tahun terakhir saya mendapat good people, saya coba mereka untuk cepat kariernya, promosinya. Karena yang sudah direkrut dari tahun 2000-an. 
Dulu pembelian material terpusat, sekarang lima pabrik itu beli bahan sendiri. Dulu dengan kondisi di satu pos, banyak material yang tidak sesuai dengan yang dibutuhkan tiap pabrik. Karena tidak terlalu paham yang di pusat di bagian umum itu. Maksudnya supaya ekonomis saja, supaya satu orang saja yang urus. Saya buat satu pabrik mengadakan materialnya sendiri. Itu sudah saya lakukan perubahan sejak 1998. Enam pabrik itu baru pada 2001, tadinya hanya lima pabrik. 
Saya memang lakukan reorganisasi pada 1998. Memang Dirut saat itu juga lakukan restrukturisasi, yang semula ada direktur teknis, lalu dihapus, saya jadi Direktur Produksi. Jadi waktu itu ada dua direktur produksi, saya bagian alutsista, Pak Pentadi yang jual airbreak, refastening dan sebagainya. Hingga sekarang masih dua direktur produksi di Pindad. Jadi hingga sekarang secara organisasi tidak ada perubahan.
Secara hati kecil saya ingin masukan Litbang itu masuk ke Pengembangan. Tapi itu belum terjadi. Ini masalah organisasi lagi. Di Pindad ini padaAnggaran Dasarnya, semua pemimpin sama posisinya, masih kolagial.Itu susah menjalankannya. Direksi yang lain merasa punya hak yang sama. Jadi saya sebagai dirut tidak bisa seperti CEO pada umumnya organisasi bisnis, istilahnya tidak punya hak veto.
Kalau saya punya proposal itu harus punya banyak energi untuk menggolkan. Tidak harus disahkan oleh DPR untuk mengubah kondisi itu. Cukup dengan green light dari Pak Meneg BUMN, waktu itu pernah disampaikan Pak Dahlan, tapi diributkan oleh DPR, jadi dicabut deh. Sebenarnya secara lisan beliau setuju, tapi secara legal belum ada. 
Susah itu mau mengubahnya. Gaji mau malas mau rajin, sama saja. Tidak ada penilaian berdasarkan KPI. Masih sama kondisinya hingga sekarang. Jadi semua sama saja yang kerja keras, sama yang tidak.
Jadi dalam lima tahun pertama kepemimpinan saya bagaimana membuat perusahaan efisien produksinya, juga dalam organisasi, dalam hal cutting cost. Salah satunya penerapan SAP agar proses bisnis lebih efisien, tidak lagi dicatat manual. Tahun ini penerapan SAP dua tahun dan sudah rampung. 
Berapa karyawan Pindad sekarang?
Sekitar ada 3.000 orang, sekitar lebih dari 75% adalah lulusan SMA, karena hanya operasi mesin produksi saja. Memang agak sulit mengubah pola kerja mereka, adaptasinya. Saya tekankan ke mereka mengeleminiasi limbah dan proses bekerja. Itu yang saya lakukan. Bagaimana dengan dukungan teknologi baru agar proses produksi lebih cepat dan efisien. Juga membenahi flow kerja. Mulai dari hal-hal kecil. Tidak bisa dengan policy saja, harus didukung dengan teknologi. Itu sebenarnya sudah saya kerjakan sejak jadi VP Pengembangan sebenarnya. Banyak pembenahan dan efisiensi. Itu masih saya lakukan hingga sekarang. 
Bagaimana kondisi keuangan Pindad?
Waktu saya baru jadi Dirut utangnya masih Rp 150 miliaran. Sekarang sudah plus, profit saya sudah Rp 12 miliar (di return earning). Saking efisien, saya tidak mau punya mobil (mobil Dirut). Mobil untuk direksi lain (sambil tersenyum). Rasanya tidak enak belum positif catatan keuangannya kok minta mobil. Dulu kita pernah bayar bunga Rp 60 miliar, tahun kemarin kita bayar bunga tinggal Rp 30 miliar. Itu berkat perubahan supply chain, lebih efisien, bagaimana membeli bahan baku sekarang, bisa dijual sore harinya (misalnya).
Tentang penjualan Pindad bagaimana kan fokusnya ke TNI?
Memang mayoritas penjualan kami untuk TNI. Pencapaian peningkatan penjualan yang melonjak akhir-akhir ini, sebenarnya bukanlah pencapaian penambahan customer Pindad, pelanggan kami masih itu-itu lagi yang utama ya TNI. Hanya saja kami sudah mengenalkan banyak produk baru. Waktu saya awal jadi Dirut, Anoa sudah ada, tapi belum bisa dijual. Saya yang mulai menjual Anoa secara mass production. Juga dengan SS2, waktu saya awal jadi Dirut, sudah ada sebagai produk litbang untuk pertandingan saja, setelah jadi dirut sudah mulai dijual sebagai mass production. Begitu juga dengan pistol G2, mortir juga, serta berbagai peluru. Penjualan memang melonjak sejak 2010. Penjualan waktu awal jadi Dirut sekitar Rp 540 miliar, tahun ini penjualannya Rp 2 Triliun. 
Bagaimana Anda menyiasati hambatan?
You have to live with it. They are not good in planning, you should planning. Banyak policy saya tidak diselesaikan dengan baik. Jadi masalah SDM memang masih saya hadapi. Kesannya kita tidak bisa memenuhi kebutuhan TNI. Itulah yang dihadapi tiga tahun terakhir. Kita selalu terlambat, tidak bisa mengelola. Saya sudah memperkirakan kondisi itu, tapi saya tidak didukung tim yang bagus. Contohnya, saya suruh selesaikan project A, mereka memilih yang lain dulu. Karena lebih memilih intuisi mereka sendiri. Tidak mendengarkan saya. Itu harus diubah AD/ART Pindadnya, saya tidak ada hak veto. Di luar sayalah yang bertanggung jawab. Mereka tidak peduli kondisi tim yang tidak mendukung.
Bagaimana bisa mereka tidak terlalu mendukung masukan saya, hanya mengikuti insting mereka. Oh, disana butuhnya itu, mereka malah butuh lebih banyak yang itu, ditambahin saja produksinya, misalnya. Padahal saya dapat info dari pucuk pimpinan TNI yang dibutuhkan yang lain. Karena mereka (anak buahnya, red) lebih banyak bergaul dengan yang di bawah. Sedang suara di atas tidak seperti itu. 
Saya tidak bisa seperti CEO. Tidak ada dasar hukum saya pecat, saya hanya bisa ganti satu direktur saja dengan lobi-lobi panjang lebih dahulu dengan kondisi serpti itu. Pak Dahlan sempat umumkan di depan umum jika tidak mampu mengundurkan diri saja, tapi siapa yang mau mundur.
Saya memang menghadapi SDM yang tidak mendukung. SDM yang tidak menurut. Itulah banyak sekali policy tidak mengikuti saya. 
Analoginya, saya mau ke Jakarta, tanpa instruksi saya, mereka lewat Puncak. Mereka menggunakan intuisi sendiri, karena mereka bergaulnya di bawah. Padahal program itu tidak inline dengan kebijakan di atas (TNI). Misal, saya sedang mengembangkan tank medium dengan kaliber 105, tapi anak buah saya menyangkal, tidak pak, kaveleri mintanya yang kaliber 90, karena dia sudah beli hanya dikasih 22 unit, padahal satu batalion kebutuhannya sekian puluh. Padahal tidak begitu, tidak ada saya lihat program yang anak buah bilang itu tidak ada. 
Padahal TNI kan kebijakannya top down. Nah di atas kebijakannya kaliber besar itu. Anak buah saya itu tidak aware, di dalam dokumen itu ditulisnya kendaraan tempur, bagaimana menerjemahkan kendaraan tempur itu yang mana? 
Memang tim saya sering tidak sejalan dengan strategi saya. Itu kerap terjadi. Sebenarnya saya membuka aib saya sendiri. Penjualan itu bisa melonjak karena ada Anoa itu. Bisnis yang lain itu hampir flat, jadi tidak hebat-hebat amat. Saya sendiri belum puas. Mestinya bisa 10, baru naik 8 saat ini. 
Saya marah-marah tidak emosional tapi karena tidak puas dengan tim saya. Sekali saya beli teknologi untuk mendukung mereka. Minimum 1-2 tahun untuk bisa dijalankan dengan baik dan benar di tempatnya, itupun sempat terjadi kesalahan-kesalahan penerapan. Ada gap di VP, jika visi VP- nya tidak sama dengan saya, setiap kebijakan saya menerjemahkannya sering salah. Tapi dia tidak bisa ke saya langsung, ada direktur produksinya, mereka bicara ke direktur produksi, direktur produksinya juga tidak satu visi. Itu terjadi hingga hari ini.
Saya sedang bicara dengan mentri dan pengacara saya, sedang mengupayakan bagaimana mengubah AD/ART-nya. Saya sebenarnya mungkin lebih baik resign, tapi saya pikir ini amanah. I do my best. Ini lima tahun kedua saya di sini. Ini yang dirugikan bangsa jika terus dibiarkan. 
Beruntung beberapa produk dipercaya asing, sehingga memberi angin positif. Malaysia dan Mozambik sudah membeli Anoa Pindad. Untuk permintaan Mozambik saja bisa sampai 2 bulan sejak inquiry, mereka (timnya) menganggap buat apa melayani sana, karena dijual murah, lebih baik ke TNI saja. Mereka masih anggap TNI itu sumber yang tidak ada batasnya. Mereka tidak memikirkan mengembangkan pasar. Terninabobokan oleh masa lalu. Tidak memikirkan kompetisi.
Anoa sudah dibeli 230 unit, sedang yang diekspor yang sudah sampai conditional letter of intent sekitar 32 unit, dengan option10 unit, untuk 16 unit ke Mozambik. Sekarang sepi lagi. Problemnya pada mental people di sini. AD/ART hanya sebagian kecil masalah, untuk mendukung kerja dan power saya atau CEO saja. Saya yakin 20% bisa lebih tinggi dari sekarang kalau itu terwujud. 
Akhirnya saya selalu membuat banyak sesuatu langkah dan policy yang langsung ditetapkan. Tidak bisa ini mau berapa? Tidak bisa membuat cek kosong. Kondisi sering mengkambinghitamkan itu sering terjadi. Menyalahkan kondisi. Ini memang kondisi karena kualitas SDM yang bukan terbaik. Karena memang dahulunya gaji di sini rendah.
Butuh waktu untuk dapat orang-orang terbaik. Mereka saat ini masih di bawah, sedang saya kader. Bahkan kasub saja belum sampai. Di sini harus sekian tahun baru bisa jadi VP. Sulit untuk lompat-lompat jabatan naik cepat di sini. Saya pertama jadi direktur usia 38 tahun. Tapi yang lainnya baru jadi direktur rata-rata usia di atas 40 tahun. Direktur keuangan saat ini usianya 35 tahun tapi bukan dari Pindad tapi dari PPA.
Bagaimana perkembangan bisnis PINDAD dewasa ini?
Bisnis PINDAD, Alhamdulillah, kita maju terus. Setiap tahun ada kenaikan sekitar 30 persen dalam hal penjualan, khususnya alutsista. Tujuan kita memang memenuhi kebutuhan Tentara Nasional Indonesia. Kita fokus untuk memenuhi tuntutan Minimum Essenstial Force (MEF atau kekuatan pokok minimum-red). Kalau dulu belinya sepuluh, sekarang tiga puluh, dalam volume besar. Pabrik kita awalnya tidak siap. Jadi mengantisipasi itu saja sudah berat bagi kami. Tapi, Alhamdulillah, itu bisa kita atasi. Malah akhir tahun ini kita memutuskan untuk mengembangkan pabrik dengan menambah dua lini produksi. Sekarang sudah ada sepuluh lini, jadi kalau ini beroperasi pada 2012, PINDAD punya 12 lini. Itu untuk produk yang sudah eksis.
Dari produk baru, kita berusaha mengadakan kerjasama dengan pemilik teknologi luar negeri seperti Italia atau Belgia. Sehingga dari yang tadinya kita tidak bisa produksi, kita mulai kembangkan. Senapan mesin, misalnya. Dulu kita belum pernah produksi itu, sekarang mulai.
Bicara sejarah, dari zaman Belanda PINDAD itu idustri alutsista. Sejak kemerdekaan diambil alih oleh Angkatan Darat. Lalu pada 1983 di-PT-kan. Jadi kalau dulu instansi militer, sekarang menjadi institusi bisnis. Kita memproduksi untuk kepentingan Angkatan Darat, yaitu infanteri, mulai dari bayonet, pisau, mortir, senapan serbu, snipper, amunisi. Itu buatan kami.
Hanya untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri?
Ya, kalau sudah punya barang unggul, orang akan melirik, menawar ke kita, kalau harga cocok kita jual. Tapi orientasi kita bukan untuk ekspor. Orientasi kita, apa yang dibutuhkan TNI, kita penuhi. Ini supaya kita bebas embargo. Jadi kalau kita pernah diembargo sepuluh tahun, kita mau beli alutsista gak bisa, ya gak masalah. Kita bikin sendiri. Tapi, ternyata senjata kita sering dianggap terbaik, ya kita jual kalau memang ada yang mau dan harganya pas.
Senjata ke luar negeri, Timor Leste. Tapi sedikit. Timor Leste kan tentaranya sedikit. Produk lain yang banyak ke luar negeri itu amunisi. Di ASEAN ada beberapa negara, di luar itu baru negara-negara di Afrika. Namanya tidak bisa disebutkan karena rahasia dan tercantum dalam perjanjian.
Ada promosi khusus ke luar negeri?
Memang kita marketing untuk ekspornya masih kurang karena sibuk untuk memenuhi permintaan TNI sendiri yang begitu banyak. Promosi kurang dilakukan. Kita enggak masuk di media. Sudah begitu banyak media terkaget-kaget waktu kita di TV, ada masalah ini, masalah itu, ternyata kita mampu bikin itu.
Irak sempat menyatakan tertarik. Bagaimana perkembangannya?
Mereka sudah datang ke kita, melihat-lihat. Hanya kalau orang mau beli lihat dulu barangnya, Memastkan harganya berapa, dites, dipelajari. Panjang prosedurnya karena ini masalah keamanan jiwa, tidak mungkin dalam waktu dekat. Tapi mereka memang prefer ke kita karena kesamaan latar belakang penduduk muslim. Kalau di negara Islam, yang maju industrinya itu kan kita.
Ada peran pemerintah untuk promosi?
Mendukung. Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin itu sejak lama saya sama-sama dengan beliau ke Filipina, Brunei, Kamboja. Beliau setiap kali ada pertemuan militer, selalu bawa kerjasama industri. Jadi bukan hanya kerjasama militer, tapi juga kerjasama industri militer. Jadi beliau seperti membuka jalan, selebihnya ya kami yang handle. Tapi beliau memang support.
Apa kendala selama ini berbisnis dengan tentara?
Sebetulnya, lebih dasarnya itu birokrasi. Kami sudah 30 tahun berbisnis dengan TNI, tapi tidak ada bedanya dengan mereka yang baru kemarin sore berbisnis dengan TNI. Nah, akibatnya proses administrasinya panjang dan makan biaya, memberatkan. Kedua, TNI itu buruk dalam planning. Jadi dia enggak bisa bilang, ‘saya besok perlu sepeda motor’. Dia enggak. Tiba-tiba mobilnya rusak, ‘wah, ternyata saya juga butuh sepeda motor, karena kalau mobil rusak saya enggak ada kendaraan lain’. Seperti itu. Padahal, pembuatannya tidak sebentar, bisa dua tahun. Komponen izinnya bisa delapan bulan.
Kemudian, seluruh komponen itu, walaupun semua orang bisa beli, tapi kalau yang beli PT Pindad, dianggap untuk membunuh, sehingga harus ada izin dari pemerintahnya. Misalnya Anda beli mata bor bisa bebas. Tapi Pindad, tunggu dulu, boleh enggak jual mata bor ke sana.
Tapi itu sudah kami laporkan ke Dirjen, ke Wamenhan. Dan Pekan lalu juga sudah saya laporkan lagi ke Sofyan Djalil, yang ditugaskan Presiden membenahi industri-industri strategis. Saya katakan ke beliau, untuk membenahi Pindad tidak perlu pakai uang, dengan kebijakan sudah cukup.
Selain soal panjangnya birokrasi?
Planning dari user. Mereka (TNI) kalau mau beli apa, menentukannya lama. Akhirnya kita sering tidak bisa mengatasi karena dia mendadak, dan akhirnya mereka membeli sesuatu yang siap di pasaran. Kalau kita diberikan perencanaan, kita bisa dengan baik membuat persiapan. Contohnya AMX (kendaraan tempur jenis tank-red). AMX itu kita belum siap. Tiba-tiba kita diberikan pekerjaan, akhirnya ya kita terlambat. Lalu yang muncul image seolah-olah Pindad tidak mampu.
Undang-undang Industri Pertahanan sudah disahkan. Apa sisi positifnya bagi Pindad, utamanya soal keberpihakan terhadap industri pertahanan dalam negeri?
Kalau kita sudah mampu produksi, mereka harus ambil di kita, by law. Itu sudah kita perjuangkan lama, akhirnya dibantu dengan Peraturan Presiden Nomor 42/2010.Dari situ kita sudah rasakan keberpihakannya meskipun masih ada satu dua yang lolos yang tidak sesuai dengan Perpres tersebut. Hal itu kemudian tercium oleh DPR, dan dari Kemenhan sendiri sudah berusaha meningkatkan Perpres itu menjadi undang-undang. Lalu DPR mengambil alih menjadikannya undang-undang.
Jadi nafasnya memang sudah cukup lama. Intinya adalah keberpihakan kepada dalam negeri. Karena dulu kita sering dianaktirikan. Misalnya, dalam urusan kontrak, luar negeri dan dalam negeri itu berbeda. Urusan kita beli barang impor dan lokal, urusannya lebih panjang yang lokal. Memang secara kebijakan itu tidak kelihatan, tapi dari sisi perusahaan, cost of money-nya jadi lebih tinggi. Kalau di luar negeri LC-nya dibuka dulu. Kalau kita, delivery panser 60 biji belum terima se-sen pun dari TNI. Tapi saya

No comments:

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...