Thursday, February 21, 2013

Kondisi Terkini Dan Impian Dirut PT. DI Kedepan



Tak kalah dengan Airbus dan Boeing, Indonesia punya pabrik pesawat yang telah ada sejak tahun 1976 terletak di sebelah Bandara Husein Sastranegara, Bandung, Jawa Barat. Didirikan oleh Mantan Presiden RI BJ Habibie dengan nama awal PT Industri Pesawat Terbang Nurtanio (IPTN), perusahaan strategis ini kemudian menjelma menjadi produsen pesawat pertama asal Asia Tenggara.

detikFinance berkesempatan berkunjung dan mewawancarai direktur utama perusahaan pelat merah ini demi mengetahui kondisi terkini pabrik pesawat ini. Saat memasuki area pabrik, masih tampak sisa kejayaan kala itu, dengan gedung tinggi dan lahan pabrik seluas 48 hektar.

Direktur Utama PT Dirgantara Indonesia (Persero) atau disingkat PTDI, Budi Santoso menuturkan pada masa kejayaannya, PTDI banyak bekerjasama dengan berbagai produsen pesawat dunia kelas dunia.

“Dimulai 1976, kita pertama pembelajaran bikin pesawat terbang lisensi NC 212, BO 105 (helikopter), kemudian pembelajaran lagi bagaimana kita kerjasama dengan Cassa. Kita bikin CN 235, terus bikin sendiri program N 250,” tutur Budi kepada detikFinance di Kantor Pusat PTDI, Jalan Pajajaran, Bandung, Jumat (15/2/2013).

Budi menuturkan saat proses pengembangan kala itu, kucuran dana segar dari Presiden Soeharto sangat kencang. Sehingga sekitar 16.000 pekerja baik lokal maupun asing dilibatkan untuk mengembangkan pesawat hingga lahir pesawat pertama asli buatan anak bangsa, N 250. 

Pesawat N 250 diluncurkan dengan dua seri yakni Gatotkoco berkapasitas 50 penumpang dan Krincing Wesi berkapasitas 70 penumpang. Nama ini langsung diberi oleh Presiden Soeharto di tahun 1993. Namun, ketika terbang perdana untuk seri Krincing Wesi di 19 Desember 1996, merupakan akhir dari nasib pesawat N 250. 

“Pada 1998 terjadi krisis ekonomi. IMF stop development sehingga PTDI ini, goyang. Pada waktu itu terjadi pengurangan karyawan dan lain-lain. Kemudian berikutnya bahwa tenaga desainer, enjiner yang banyak ke luar negeri,” tambahnya.

Saat kondisi goyang, PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) (sekarang PTDI) ini, harus memberhetikan ribuan karyawan hingga saat ini tersisa tinggal 4.000 karyawan. Kala itu, Dirgantara Indonesia belum siap menjadi sebuah korporasi pencetak pesawat. 

Pasca PHK massal itu, Dirgantara Indonesia hingga saat ini belum memiliki pesawat asli rancangan dan buatan sendiri. Andaikata proyek N 250 berhasil, N 250 akan menjadi pesawat 100% buatan Indonesia yang pertama. 

Saat ini, di perusahaan yang sudah mulai bangkit dari keterpurukannya itu, PTDI hanya mengandalkan 6 produk pesawat yakni NC 212-200, C212-400, CN 235-220M, CN235-200MPA, Helikopter Bell 412 EP dan Helikopter Super Puma meskipun sudah cukup berusia lanjut. 

Namun, kekuatan Dirgantara Indonesia kali ini mulai diperkuat oleh produk hasil kerjasama yakni CN 295 dan Super Puma versi terbaru. Selain itu, dalam dua tahun ke depan, Budi menjelaskan, pihaknya siap
meluncurkan pesawat asli karya Indonesia yakni N 219.

“N 219 untuk penerbangan perintis. Di Indonesia kan perlu,” cetusnya.


Impian Dirut PT. DI


Direktur Utama PT Dirgantara Indonesia (PT DI) Budi Santoso memiliki visi membangkitkan kejayaan industri pesawat terbang sipil dan militer Indonesia. 

Bangkit dari keterpurukan pasca berhentinya suntikan dana pemerintah di 1998, PT DI harus terseok-seok mencari uang. Budi yang menjadi Dirut untuk periode kedua sejak 2007 ini melihat, industri penerbangan global telah berubah. Pihaknya tidak bisa lagi berdiri sendiri dalam mengembangkan pesawat.

"Mengerjakan sendiri dengan risiko nama nggak terkenal atau kita kerjasama dengan orang lain sehingga branding bagus. PT DI harus mengikuti realitas dunia. Perusahaan nggak ada yang sendiri. Airbus saja dengan beberapa negara. Boeing juga nggak semua dikerjakan sendiri. Malah mereka beli (komponen pesawat) dari anak usaha Airbus," tutur Budi kepada detikFinance di Kantor Pusat PT DI, Jalan Pajajaran, Bandung, Jumat (15/2/2013).

Menurutnya, PT DI belajar banyak pasca krisis ekonomi yang menghantam Indonesia di 1998. Budi yang merupakan mantan Dirut PT Pindad serta pencipta senapan otomatis SS-2 dan panser Anoa ini bertutur, PT DI tidak lagi boleh tergantung terhadap suntikan modal pemerintah, melainkan harus berpikir menjadi sebuah korporasi perusahaan pesawat terbang yang fokus pada pasar.

"Sederhananya, prioritas pertama membuat PT DI kompetitif dibandingkan perusahaan lain terutama dalam produksi. Kita nggak jual desain, kita jual barang. Itu harus dibuat dengan yang kompetitif. Ini yang kita lakukan saat ini," tambahnya.

Pihaknya juga tak ingin mengembangkan produk yang sangat tergantung secara langsung dengan dukungan 100% dari pemerintah. "Kita perkuat PT DI menjadi persahaan bukan perusahaan riset, mudah-mudahan tidak tercampur politik. Pengalaman buruk begitu Pak Harto berhenti, program hancur semua. PT DI ini kita inginkan jadi terbesar. Tidak terlalu tergantung faktor politik," tambahnya.

PT DI ke depan tidak mau lagi menjual mimpi, melainkan menghasilkan produk berdasarkan kemampuan. Selain itu, PT DI secara bertahap sedang merancang pesawat penumpang berbadan kecil, yakni N-219 sebagai satu produk hasil rancangan sendiri.

Meskipun tak ingin bergantung pada pemerintah, ia berharap alokasi subsidi BBM yang besar (Rp 300 triliun) bisa diperuntukkan untuk membantu mengembangkan pesawat.

"Kita harus punya produk sendiri. Kalau kita bangun pesawat sendiri. Kita bangun pesawat yang senilai US$ 2 miliar. Kita akan cari partner," cetusnya.


Sumber : Detik

No comments:

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...