Angkatan laut Jepang (Foto : cargolaw.com) |
Pada 30 Mei lalu, Dewan LDPJ untuk Pertahanan Nasional Jepang menyetujui draft persenjataan skala penuh militer Jepang. Momen ini sekaligus didedikasikan untuk mengubah nama "Pasukan Bela Diri Jepang" menjadi pasukan militer yang sesungguhnya. Setelah akhir Perang Dunia II, pemerintah Jepang tidak diizinkan untuk memiliki angkatan bersenjata penuh. Negara ini mengadopsi konstitusi baru yang secara signifikan membatasi kemampuan militer, bahkan dalam hal hanya untuk mempertahankan diri. Hukum itu menjadikan militer Jepang tidak lagi menonjol. Negara ini tidak diizinkan memiliki senjata ofensif, termasuk pesawat pembom dan peluncur rudal jarak pendek dan jauh.
Mantan menteri LDPJ Shigeru dan Gen Nakatani adalah ideolog utama di balik rencana mempersenjatai kembali militer Jepang dalam skala besar. Mereka mempresentasikan rancangan reformasi persenjataan yang disetujui dan dikirim ke pemerintah untuk dipertimbangkan. Shigeru Ishiba menyatakan bahwa pembatasan itu diberlakukan setelah Perang Dunia II terkait dengan ukuran angkatan bersenjata Jepang kala itu yang kini sudah ketinggalan zaman.
Memang, Pasukan Bela Diri Jepang telah aktif memodernisasi militernya, dan saat ini Jepang berada di peringkat kelima dunia dalam hal belanja militer. Setiap tahun negara ini menghabiskan sekitar 44 miliar dolar untuk pertahanan, namun Jepang tidak boleh terlibat dalam produksi dan pengadaan seluruh jenis rudal jelajah dan pembom strategis, yang mampu membuat serangan dalam skala besar.
Shigeru Ishiba mengatakan sudah saatnya bagi Jepang untuk berhak membentuk militer yang sepenuhnya. Namun ia menambahkan bahwa yang pertama harus dilakukan adalah mengubah konstitusi negara untuk mengubah/menghilangkan nama "Pasukan Bela Diri." Dia berargumen bahwa Jepang tidak bisa selamanya menghindari perang dalam menyelesaikan konflik dunia dengan negara lain.
Jika perubahan dalam konstitusi ini mulai diberlakukan, militer Jepang bisa menerapkan serangan udara besar-besaran terhadap pangkalan udara musuh, serta meningkatkan efektivitas pasukan pertahanan anti-rudal terkait ketegangan di semenanjung Korea. Selain itu, Jepang akan membentuk unit laut khusus yang mampu mempertahankan pulau-pulau terpencil Jepang di Pasifik, seperti saat Perang Dunia II. Yang pada akhirnya membuat Jepang harus bertempur dengan Amerika Serikat yang kini menjadi sekutu terdekatnya.
Pertama-tama, pemerintah Jepang akan membahas soal kemungkinan militer Jepang bisa melakukan serangan udara di pangkalan militer musuh. Salah satu dokumen yang menyatakan kemerosotan serius hubungan dengan Korea Utara bisa memaksa pemerintah Jepang untuk mengadakan sejumlah serangan terhadap fasilitas rudal dan nuklir Korea Utara. Tapi yang pertama Jepang harus lakukan adalah melengkapi militernya dengan rudal jelajah jarak pendek dan pesawat pembom strategis.
Rudal Patriot Jepang (Foto : bangordailynews.com) |
Kunjungan diplomatik perwakilan Korea di Tokyo mengenai normalisasi hubungan antar negara-negara tidak membuat situasi menjadi lebih baik. Sekretaris Jenderal Pemerintah Jepang Yoshihide Suga mengatakan kemudian bahwa dia senang bahwa Korea Utara akhirnya berhenti melakukan tindakan provokatif terhadap Jepang dan membuka peluang untuk bekerjasama. Namun demikian, ia menambahkan, pihak Jepang akan tetap mewaspadai dan terus memantau semua tindakan-tindakan yang dilakukan Pyongyang di masa depan.
Pihak berwenang Jepang memiliki kekhawatiran lain selain ancaman dari Korea Utara. Hubungan dengan China juga telah memburuk dalam beberapa tahun terahir. Inilah sebabnya mengapa LDPJ menyarankan gagasan untuk menciptakan unit laut yang akan digunakan bilamana negara itu diserang dari luar. Pertama-tama, kemungkinan serangan oleh China akan terjadi di kepulauan Senkaku yang telah disengketakan oleh kedua negara sejak lama. Menurut Konferensi Potsdam pasca Perang Dunia II, Jepang harus mengembalikan semua wilayah pendudukan ke China. Kepulauan Senkaku masuk dalam wilayah yang harus dikembalikan.
Pada konvensi baru-baru ini di Potsdam Perdana Menteri China Li Keqiang telah secara terbuka menyatakan bahwa Jepang telah mencuri pulau-pulau dari China dan harus segera mengembalikannya. Dia mengatakan bahwa setelah perang, Jepang menandatangani deklarasi di mana mereka berjanji untuk mengembalikan semua pulau-pulau yang diduduki ke China. Tatanan pasca perang dunia harusnya tetap sama, dan China akan melakukan segala upaya untuk mengambil haknya.
Di lain pihak, pemerintah Jepang mengutuk pernyataan Li Keqiang. Sekretaris Jenderal Jepang Yoshihide Suga berpendapat bahwa pernyataan China tersebut mengabaikan sejarah, dan Jepang tidak bisa serta merta menyetujuinya dengan cara apapun. Dia menambahkan bahwa kepulauan Senkaku adalah wilayah asli Jepang baik dari segi sejarah dan sudut pandang etnis. Dia berpendapat Jepang-lah yang berhak atas wilayah itu saat ini, dan pernyataan China tersebut hanya didasarkan sebelah pihak.
Setelah saling klaim kedua pejabat ini, pemerintah jepang mengambil keputusan untuk melengkapi angkatan bersenjatanya di wilayah itu dengan menambahkan kendaraan serbu amfibi AAV7 dan pesawat V-22 OSPREY.
Valery Kistanov, direktur Pusat Studi Jepang di Institut Timur Jauh, mengatakan bahwa senjata ofensif Jepang bisa digunakan di segala arah. Tentu saja, pertama-tama senjata Jepang akan diarahkan terhadap DPRK (Korut), dan kemudian China. Sistem pertahanan rudal Jepang telah ditingkatkan seiring meningkatnya kekuatan nuklir China. Di satu sisi negara itu akan terus menghabiskan miliaran dolar untuk industri militer. Menurut analis politik dan politisi Jepang, ini terutama karena situasi di semenanjung Korea dan pertumbuhan militer China yang pesat. Dua faktor itu diangggap sebagai ancaman oleh Jepang, dan karena itu negara Jepang akan secara aktif mempersenjatai kembali militernya.
Valery Kistanov juga mencatat bahwa perubahan undang-undang Jepang mengindikasikan pengetatan kebijakan luar negeri Jepang : "Pemimpin LDPJ Shinzo Abe mengungkapkan pandangan nasionalis sayap kanan. Ia percaya militer Jepang yang selama ini dibatasi akan menjadi kekuatan global penuh."
Pemerintah Jepang telah meningkatkan pengeluaran untuk industri militer, yang utamanya mengubah alutsista terbang negara itu. Pemerintah Jepang berencana untuk mengakuisisi pesawat tempur generasi kelima F-35 dengan amunisi baru dan peralatan navigasi Joint Direct Attack Munition Amerika. Peralatan ini berguna untuk bom jatuh bebas (free-falling), yang akan meningkatkan akurasi serangan udara.
Selain itu, pada tahun 2014, pemerintah Jepang berencana untuk melakukan uji coba pertama pesawat tempur silumannya. Negara ini telah menginvestasikan 470 juta dolar untuk menciptakan sebuah pesawat tempur yang tidak terlihat oleh sistem radar. Proyek ini dimulai pada tahun 2009 oleh Mitsubishi. Pesawat pertama akan dijuluki dengan "Shin-Sin," dan akan dibuat berdasarkan teknologi pesawat siluman Amerika Serikat.
Mitsubishi ATD-X Shinsin pesawat tempur generasi kelima Jepang yang akan diuji coba pada 2014 (Foto : Bublenews.com) |
Washington, sebaliknya, mereka menyetujui rencana untuk meningkatkan kemampuan militer Tokyo. Saat ini 50.000 tentara Amerika Serikat ditempatkan di Jepang. Hadirnya tentara Amerika Serikat menguatkan Tokyo dan menjadikannya loncatan untuk memberikan tekanan pada China.
Usulan dari Partai Demokrat Liberal Jepang kemungkinan akan melibatkan pengembangan sistem pertahanan negara Jepang selama lima tahun ke depan. Dalam hal reformasi kembali secara resmi disetujui oleh otoritas, hubungan antara Jepang dan negara-negara tetangganya mungkin akan menurun. Negara-negara Asia sudah memperhatikan aktivitas Jepang di bidang pertahanan dengan seksama. Apa yang bisa kita harapkan selanjutnya? Sudah sangat jelas bahwa penguatan militer Jepang tidak akan memberikan kontribusi untuk mengurangi ketegangan di wilayah tersebut. Bahkan, hal itu akan memicu babak baru perlombaan senjata, terutama di negara-negara yang memiliki memori sejarah buruk karena kejahatan negara samurai Jepang di masa lalu. (F
No comments:
Post a Comment