Di awal Januari tahun ini mengemuka hasrat dari pimpinan pertahanan udara TNI-AU untuk membeli rudal pertahanan udara jarak menengah LY-80 buatan RRC. Sistem rudal pertahanan jarak menengah menjadi salah satu shopping list TNI-AU dalam skema MEF (Minimum Essensial Forces). Militer Indonesia tidak lagi memiliki rudal pertahanan udara yang andal selain era Bung Karno yang pernah membeli S-75 Dvina (SA-2 Guideline) buatan Uni Soviet pada dekade 1960-an. Rudal S-75 bisa menghajar sasaran udara sejauh 45 km setinggi 20 km dengan kecepatan 3,5 Mach. Pesawat mata-mata U-2 Lady Dragon AS yang melintas di atas Jawa Barat pernah dikuncinya namun tidak sampai ditembak. Rudal SA-2 kemudian tidak aktif seiring putusnya hubungan dengan blok komunis (Uni Soviet dan RRC). Di era Orde Baru, misil pertahanan udara sepenuhnya berupa SHORAD (Short Range Air Defense) dan MANPADS (Man Portable Air Defense System) berupa rudal maupun kanon anti-pesawat jarak pendek. Demikian juga kapal perang Indonesia (frigat dan korvet) hanya memiliki rudal pertahanan udara jarak pendek seperti Sea Cat, Mistral Simbad, dan Strella II.
Perkembangan yang kontras terjadi negara-negara tetangga yang semakin lengkap konfigurasi pertahanan udara berbasis darat maupun kapal perang dengan kombinasi rudal jarak menengah/jauh. Singapura pada awal dekade 1980-an mengakuisi MIM-23B Hawk, sistem pertahanan udara jarak menengah buatan Raytheon Corp AS. Rudal MIM-23B Hawk mampu menyasar target sejauh 40 km hingga ketinggian 14 km. Demikian juga frigat angkatan laut Singapura dipersenjatai rudal pertahanan udara jarak menengah Aster 30 dan Aster 60. Australia mempersenjatai frigat kelas Adelaide dengan RIM-66B Standart-1M (platform Tartar). Rudal tersebut bisa menyasar target sejauh lebih dari 74 km hingga ketinggian lebih dari 24 km. Bahkan sekarang sistem rudal pertahanan udara pada frigat kelas Anzac maupun Adelaide sekarang telah diganti ke RIM-162 ESSM yang kemampuannya lebih baik lagi dengan kecepatan luncur 4 Mach. Sama dengan rencana Thailand yang akan mengupgrade misil pertahanan udara di frigat kelas Naresuan dari RIM-7M Sea Sparrow ke RIM-162 ESSM. Myanmar, Kamboja, dan Vietnam memiliki sistem pertahanan udara jarak menengah S-125 Pechora 2M (SA-3B Goa). Rudal Pechora 2M sanggup menghajar sasaran udara sejauh 35 km di ketinggian hingga 18 km. Disamping memiliki juga S-75 Dvina (SA-2 Guideline), Vietnam pada 2006 melengkapi sistem pertahanan udaranya dengan rudal jarak jauh S-300PMU-1 (SA-20 Gragoyle) dari Rusia. Rudal Gragoyle bisa menjejak sasaran dari jarak 300 km dan memukulnya pada jarak 150 km (jenis misil 48N6) di ketinggian hingga 27 km.
Anggaran pertahanan Indonesia tahun ini yang mencapai 8 milyar Dollar membuka peluang angkatan udara untuk menutup kekurangan rudal pertahanan udara jarak menengah. Harus diakui produsen rudal pertahanan jarak menengah dan jauh sangat sedikit bisa dihitung dengan jari. Rudal permukaan ke udara LY-80 merupakan versi ekspor dari HQ-16 buatan RRC. Proyek Hong Qi -16 dikembangkan RRC bekerjasama dengan Rusia dari platform Buk-M1 (SA-11 Gadfly) dan Buk-2M (SA-17 Grizzly). Hong Qi artinya bendera merah. Sistem HQ-16 dibuat di atas platform mobile darat dan platform kapal perang. Platform mobile darat terdiri dari unit radar dan unit peluncur. Truk peluncur membawa kanister peluncur yang berisi 6 misil. Diyakini pengembangan HQ-16 dimulai tahun 1998. Pemasangan di platform kapal perang (HHQ-16/Hai Hong Qi -16) dengan sistem peluncur vertikal (VLS/Vertical Launch System). Dipasang pada frigat RRC kelas Jiangkai II (Type 054A) dengan VLS yang berisi 32 Misil. Sedang pada kapal destroyer kelas Luyang 1 (Type 052B) dengan VLS yang berisi 48 misil. Radar penjejak target sanggup mengendus sasaran sejauh 150 km dan rudal bisa menyerang sasaran sejauh 50 km dengan ketinggian hingga 10 km. Di samping sasaran pesawat tempur dan helikopter, HQ-16 diklaim mampu menembak jatuh drone (pesawat nirwak) dan rudal Tomahawk yang biasanya menjelajah pada ketinggian kurang dari 50 meter dari permukaan tanah guna menghindari endusan radar dan pencegatan. Maupun mencegat rudal anti-kapal yang terbang rendah (sea-skimming) kurang dari 10 m dari permukaan laut. Pada tahun 2011 pejabat militer RRC mengemukakan ke media bahwa sistem pertahanan udara HQ-16 telah resmi berdinas di angkatan bersenjata RRC dan ditawarkan untuk ekspor.