PENDAHULUAN
Perang adalah domain negara, menilik arti perang yaitu sebagai salah satu resolusi konflik dengan menggunakan kekuatan bersenjata dan merupakan upaya terakhir yang diputuskan negara manakala upaya politis dengan cara-cara damai tidak dapat menyelesaikan konflik, terutama konflik bersenjata. (JS. Prabowo, Perang Darat, 2009, hal. 1). Mengingat peran negara sangat dominan dalam penyelesaian suatu konflik bersenjata antar negara begitu dominan, maka tuntutan tanggungjawab negara untuk memenangkan perang, selain tuntutan terhadap semua potensi nasional guna menjalankan kewajibannya untuk membela negara, maka negara harus dapat menjamin kesiapan negara untuk menang dalam suatu perang, diantaranya adalah jaminan dari kesiapan Alut Sista.
Sesuai dengan judul di atas, maka perlu diketahui pula seperti apa perspektif perang generasi IV (4GW). Penggolongan peperangan saat ini ada empat golongan, mulai dari 1GW adalah perang yang mengandalkan kekuatan manusia dan dilakukan di ruang terbuka dimana prajurit saling berhadapan, 2GW adalah perang yang mengkombinasikan daya gerak dan daya tembak, dimana pasukan bertahan terutama pada parit pertahanan lebih memiliki keunggulan menguasai medan, sehingga dibutuhkan perimbangan 1:3 antara pihak penyerang dengan yang bertahan, 3GW adalah perang yang merupakan pengembangan dari 2GW didukung mobilitas manuver, tehnologi senjata dan informatika dengan tidak lagi mengandalkan ratio perbandingan 1:3, yang terakhir adalah 4GW yang merupakan perang asimetris atau non linier yang menggunakan seluruh sarana dan prasarana dan system senjata yang ditujukan terutama untuk menghancurkan kemauan bertempur musuh, perang ini sangat dekat dengan perang gerilya.
Apa hubungan antara tanggung jawab negara dengan perspektif perang generasi IV ditinjau dari kebutuhan Alut Sista yang harus dimiliki oleh satuan Arhanud. Tinjauan terhadap perspektif perang 4GW tersebut perlu diciutkan pada perang tanpa adanya garis linier, dalam arti mudahnya adalah semua kekuatan bersenjata yang ada harus mampu mejalankan setiap pertempuran dalam lingkup perang yang dijalankan oleh negara dengan mobilitas yang sangat tinggi, termasuk pada satuan Arhanud. Maka negara harus dapat menyediakan dukungan alat peralatan perang satuan Arhanud yang mengarah pada perspektif perang generasi IV tersebut.
Tulisan ini mencoba menganalisa berbagai macam tinjauan dari berbagai sudut pandang, agar didapatkan sebuah saran masukan tentang kebutuhan Alut Sista satuan Arhanud dalam rangka menghadapi perspektif perang generasi IV.
LATAR BELAKANG PEMIKIRAN
Indonesia pernah menjadi negara yang sangat kuat ditinjau dari kekuatan militer dan diplomasi di kawasan, pada era tahun 60-an, dengan kekuatan senjata yang didapatkan dari negara-negara blok timur dalam rangka berbagai kepentingan menghadapi konfrontasi dengan Belanda pada perebutan Irian Barat, maupun saat pelaksanaan operasi Dwi Kora, karena sikap politik negara pada masa itu yang menentang dibentuknya Negara Konfederasi Malaya, mengingat Indonesia pada masa itu condong ke timur dengan penegasan pada poros Jakarta - Peking sehingga kehadiran kekuatan pro barat, dianggap merupakan neo kolonialisme. Diluar alasan itu semua, yang terpenting kekuatan angkatan bersenjata Indonesia pada masa itu tiada tandingannya, sehingga negara-negara kawasan menjadi berhati-hati dan penuh perhitungan dengan eksistensi kekuatan militer Indonesia. Namun pada perkembangan selanjutnya kedigdayaan kekuatan militer Indonesia tidak diikuti dengan langkah-langkah lanjutan untuk mempertahankan superioritas tersebut.
Negara-negara lain dengan usaha keras terus mengembangkan kualitas kemampuan angkatan perangnya, walaupun terdapat keterbatasan dari jumlah penduduk untuk menjadi salah satu efek detern namun negara lain lebih menekankan kualitas Alut Sista yang dimiliki dihadapkan pada perkembangan tehnologi maupun bentuk perang yang dihadapi. Sedangkan Indonesia cenderung stagnan pada kemampuan militer yang dimiliki tanpa upaya yang signifikan untuk mempertahankan superioritas kekuatan militer tersebut dikawasan. Sebagian besar Alut Sista yang dimiliki oleh Indonesia terutama milik TNI AD masih menggunakan tehnologi tahun 60an dan diperbaharui pada tahun 80an, dengan tetap mempertahankan sebagian Alut Sista keluaran tahun 60an tersebut, sehingga terdapat penurunan kualitas pertahanan di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara di kawasan, hal tersebut tentunya mengurangi kewibawaan negara terhadap negara - negara disekitarnya maupun negara lain yang memiliki kepentingan atas Indonesia.
Disisi lain pembangunan perekonomian masyarakat terus dikembangkan bahkan terkesan kurang terkoordinir, sehingga berpengaruh pada aspek pertahanan Negara utamanya pada pengerahan kekuatan satuan Arhanud. Secara umum Alut Sisa yang dimiliki oleh satuan Arhanud saat ini memerlukan ruang yang cukup luas pada titik gelar yang ideal agar dapat memberikan perlindungan udara pada obyek vital yang diprioritaskan. Namun percepatan pembangunan di Indonesia cenderung mengabaikan kepentingan aspek pertahanan, diantaranya tidak dialokasikannya ruang untuk gelar satuan Arhanud pada RTRW pemerintah baik pusat maupun daerah, walaupun pihak TNI telah membuat kebutuhan pertahanan pada RUTR Wilhan, sehingga kebutuhan akan tempat gelar yang ideal serta coverage yang maksimum tidak dapat lagi terpenuhi. Kepadatan bangunan baik perumahan maupun fasilitas umum tidak memberikan ruang yang cukup pula untuk mobilitas satuan Arhanud yang rata-rata memiliki Alut Sista yang relatif besar dan berat.
Faktor lain yang mempengaruhi kemampuan Arhanud dalam memberikan perlindungan udara adalah tehnologi senjata, yang secara umum masih menggunakan tehnologi lama, sedangkan perkembangan pesawat tempur maupun persenjataan air to ground sudah begitu pesatnya. Hal tersebut tentunya tidak akan memberikan imbangan yang memadai pada pebandingan daya tempur relatif yang dimiliki satuan Arhanud dibandingkan dengan kemamuan pesawat terbang serta system persenjataannya.
Peperangan 4GW juga mengisayaratkan perang dengan mobilitas tinggi tanpa mengenal batas teritori maupun garis linier yang jelas, sehingga daya gerak dan daya tembak menjadi syarat utama untuk menang pada perang model ini. Bukan hanya menang perang dalam arti dapat menghancurkan musuh, namun juga unggul untuk menghindar dari upaya penghancuran musuh, sehingga mampu melaksanakan pertempuran dengan metode hit and run. Sementara ini system senjata Arhanud yang ada sebagaian besar tidak memiliki mobilitas yang tinggi dan sulit untuk dikerahkan pada perang 4GW, karena mobilitas yang rendah, serta memerlukan waktu penyiapan senjata sampai siap tembak yang relatif lama serta sulit disamar ditinjau dari size senjata.
HARAPAN DALAM PENYEDIAAN ALUT SISTA ARHANUD
Sebagai pembanding dalam perkembangan kemampuan tempur dan pertahanan yang dikembangkan oleh beberapa negara di dunia, diantaranya oleh negara Singapura, dalam bukunya Building Our 3rd Generation Army, yang memberikan gambaran arah pembangunan kekuatan dan cara bertempur Angkatan darat Singapura (JS. Prabowo, Perang Darat, 2009, hal 41), yang bercirikan: Precision manoeuvre yang diwujudkan dalam: (1) semakin meningkatnya kemampuan dan kelincahan unsure maneuver (greater mobility and agility); (2) Memeperkuat kekebalan dan daya gempur (lethality survivability) yang diwujudkan dalam penggunaan tank leopard 2A4 dan roket Artileri HIMARS (High Mobility Artillery Rocket System); (3) Meningkatkan kehandalan dalam perang kota (urban capable) melalui penerapan Battle Managemen System (BMS) yang diterapkan pada setiap satuan daratnya. Precision fires, dalam bentuk: (1) Terintegrasinya bantuan tembakan artileri, kapal dan pesawat terbang dalam mendukung satuan manuver (integrated and network fires); (2) Meningkatnya kecepatan dan kekuatan tembakan (faster sense-shoot cycle); (3) Meningkatkan ketepatan dan jangkauan tembakan bantuan yang memiliki daya hancur yang masif (greater fire power, precision and range) antara lain diwujudkan melalui pengunaan roket HIMARS.Precision information atau meningkatkan akurasi informasi yang diwujudkan dalam bentuk membangun jaring komunikasi tempur terpadu dengan Angkatan Laut dan Angkatan Udara (networking the battlefield), guna mensinergikan gerakan unsur manuver dan tembakan (synchronization maneuver and fires), mendukung proses pengambilan keputusan (decision support) dan meningkatkan kepekaan dalam penilaian situasi (Superior situation awareness).
Pada edisi Koran Kompas Jum’at, tanggal 24 September 2010, mengulas dalam kolom tulisan mengenai kebijakan pemerintah Amerika Serikat, melalui Menteri Pertahanannya Robert Gates, bahwa Amerika telah menghentikan produksi pesawat tempur F 22 Raptor pada total pembuatan pada angka 187 unit dari 750 unit yang direncanakan, mengingat mahalnya produk pembuatan pesawat tempur tersebut dan tidak ada lawan sebanding yang dapat menghadapinya serta belum pernah beroperasi dalam misi tempur di Irak maupun Afganistan, disisi lain Amerika sangat menyadari mahalnya biaya pembuatan, pemeliharaan serta pengoperasiannya. Kekhawatiran yang sama juga terjadi pada kerjasama militer Amerika dan Eropa dalam pembuatan pesawat tempur JSF 35 Lighting, maupun pada pesawat tempur Eurofighter typhoon mengalami kemerosotan dari segi pesanan. Hal menarik lainnya bahwa Amerika cenderung lebih “senang” mengoperasikan pesawat tanpa awak (unmanned aerial vehical) karena murah dan tidak ada resiko kehilangan pilot yang juga mahal biayanya. Mengingat Amerika mulai kesulitan mengelola pengeluaran anggaran militernya yang mencapai angka 700 miliar dollar AS pertahun (sekitar Rp. 6,3 kuadriliun, atau hampir setara dengan anggaran pertahanan dunia digabung menjadi satu). Hal yang sama juga terjadi di Negara Perancis yang hanya akan mempertahankan satu kapal induk Charles de gaulle, ataupun di Inggris yang hanya akan menggunakan dua kapal induk berukuran sedang yakni HMS Invincible dan HMS Ark Royal yang bahkan sering berlayar tanpa membawa pesawat terbang (harian the Economist) Kondisi tersebut memberikan gambaran bahwa patokan tehnologi bukanlah hal utama bila dibandingkan kemampuan negara dalam bidang anggaran. Bahkan negara sekelas Amerika juga kesulitan untuk mempertahankan hegemoni dibidang tehnologi militer sehingga mencari terobosan baru yang lebih murah.
Bila TNI AD telah membuat blue print tentang arah perang masa depan sebaiknya Pussenarhanud Kodiklat TNI AD juga segera menyikapi hal tersebut dengan mengarahkan kebijakan dalam penentuan taktik, tehnis serta jenis Alut Sista dan system pendukung lainnya yang mengarah pada kemungkinan doktrin perang masa depan yang sesuai dengan 4GW. Walaupun akhir peperangan sangat ditentukan oleh personel sebagai penentu apakah sasaran dapat diduduki dan dikuasai atau tidak, namun elemen bantuan seperti satuan Arhanud yang mengedepankan tehnologi mutlak diperlukan untuk dapat memberikan perlindungan udara yang maksimal dari kemungkinan ancaman serangan udara musuh. Belajar dari uraian tentang Singapura dan Amerika serta Eropa, perlu kita pahami diperlukan modernisasi angkatan perang seperti yang dilakukan oleh Singapura agar mampu menangkal setiap kemungkinan ancaman juga mungkin ingin menjadi superior di kawasan dan juga apa yang dilakukan oleh Amerika untuk tidak terlalu menonjolkan tehnologi sampai perlu “habis-habisan” mengeluarkan biaya besar untuk me-research tehnologi militer guna ditingkatkan secara terus menerus, karena akan membebani angaran negara.
Tentunya sebagai negara yang masih tergolong sebagai negara berkembang, Indonesia perlu menyadari keterbatasan anggaran, disisi lain pengembangan pembangunan daerah yang tidak terkoordinasi dengan baik antar instansi pemerintah baik dipusat maupun daerah sangat merugikan aspek penyiapan daerah bagi kegiatan pertahanan negara, maka dari itu perlu disikapi oleh Angkatan Darat dan seluruh jajarannya termasuk secara spesifik Pussenarhanud Kodiklat TNI AD untuk mengembangkan terus upaya modernisasi namun juga memperhatikan aspek-aspek tehnis tentang angaran dan kesiapan wilayah dalam penyiapan ruang bagi gelar daerah pertahanan udara yang semakin sempit dan tidak memungkinkan lagi untuk menampung system pertahanan udara yang berukuran besar serta komplek. Pertimbangan tehnis lain diantaranya coverage yang ideal untuk peninjauan sasaran udara sudah sulit didapatkan oleh satuan Arhanud, mengingat banyaknya bangunan-bangunan tinggi yang berada disekitar daerah pertahanan udara, sehingga tidak memberikan kualitas Dahanud yang baik.
Dari beberapa data sederhana yang disampaikan diatas tentu dapat ditentukan harapan seperti apa yang diinginkan dalam penyediaan Alut Sista Arhanud dihadapkan pada pekembangan perang generasi ke empat yang akan dihadapi Indonesia pada trend saat ini.
SPESIFIKASI UMUM ALUT SISTA ARHANUD YANG DIINGINKAN
Uraian tulisan di atas dan harapan yang ingin dipenuhi serta berbagai keterbatasan yang dimiliki Indonesia menjadi tolok ukur dalam penentuan spesifikasi umum Alut Sista yang ingin dipenuhi melalui tulisan ini. Sehingga dapat memberikan masukan untuk memikirkan ulang tentang kebijakan pengembangan persenjataan. Pada kunjungan kerja Danpussenarhanud Kodiklat TNI AD ke Yonarhanudri-3 pada Triwulan ketiga TA. 2010, telah disampaikan beberapa kesulitan gelar satuan Arhanud untuk memberikan perlindungan pada obyek vital yang diprioritaskan di Kodam III/Slw karena terbatasnya daerah gelar yang ada dihadapkan pada jenis Alut Sista meriam sekelas meriam 40 mm / L-70. Diyakini juga hal yang sama juga dialami sebagian besar satuan Arhanud TNI AD karena Alut Sista yang dimiliki juga berada pada kelas yang sama ataupun diatasnya.
Bila ditinjau dari kesiapan wilayah dalam kurun waktu sekarang maupun kedepan serta keberadaan obyek vital nasional maupun daerah yang relatif tetap dan berada ditengah kepadatan pembangunan fisik daerah, maupun obyek rawan berupa satuan manuver yang bergerak pada daerah yang memiliki kontur medan yang bervariasi dan sulit, maka diperlukan Alut Sista Arhanud yang simpel, portable serta ringan, memiliki daya jangkau yang relatif jauh dan tidak lagi ada pembedaan antara ukuran satuan Arhanud ringan maupun sedang atau berat (bila ada). Namun lebih diutamakan penyebutan satuan Arhanud “saja” tanpa embel-embel ringan atau sedang. Tujuan dari generalisasi penyebutan satuan Arhanud tersebut adalah untuk memberikan ruang yang lebih luas pada penggunaan satuan Arhanud disetiap Kotama yang memiliki ataupun untuk dioperasionalkan diluar Kotama organiknya, mengingat Alut Sista yang dimiliki memiliki fleksibiltas tinggi dalam penggunaannya. Mengingat memiliki ukuran yang relatih kecil, simpel dalam penyiapan sampai dengan siap operasi, portable mudah dibongkar pasang dalam waktu yang relatif singkat, ringan sehinga tidak memerlukan daerah khusus yang luas serta karena dapat dioperasionalkan pada daerah yang sulit dilalui oleh kendaraan, karena dapat dipanggul oleh manusia serta dapat memanfaatkan bangunan-bangunan tinggi sebagai daerah gelar yang dapat memberikan coverage yang maksimal. Namun Alut Sista seperti ini haruslah tetap didukung sistem Radar yang baik agar dapat beroperasi secara mandiri, bila terdapat gangguan pada penyediaan berita sasaran oleh Kosek Kohanudnas.
Tinjauan lain dari segi organisasi tentu akan lebih baik, bila diasumsikan organisasi satuan Arhanud masih seperti sekarang yang anggotanya berkisar pada jumlah 500 an orang maka prajurit tersebut yang semula hanya dapat mengawaki beberapa pucuk meriam/Rudal, karena setiap pucuk yang berukuran relatif besar memerlukan awak yang banyak, dapat diperluas menjadi dua kali lipat jumlah senjata nya karena Alut Sista yang dipilih hanya memerlukan sedikit personel untuk mengawaki. Organisasi satuan Arhanud akan lebih baik dalam memberikan perlindungan udara karena secara taktis akan memberikan kedalaman yang lebih baik bila dioperasionalkan dalam satu titik rawan, atau dapat pula memaksimalkan jumlah titik rawan yang perlu dilindungi, serta organisasi satuan Arhanud menjadi lebih mobil, mengingat uraian sebelumnya bahwa terminologi dari 4GW hampir identik dengan kecepatan bergerak tanpa adanya garis linier yang membatasi. Performa satuan Arhanud akan menjadi lebih baik bila ditinjau dari kemampuan lintas meda yang tinggi dan dapat dioperasionalkan pada semua bentuk medan baik yang terbuka maupun yang terhalang oleh bangunan tinggi serta mampu mengimbangi gerakan satuan manuver dan bersifat mandiri dalam pengoperasiannya.
Pemikiran tentang pembelian Alut Sista yang berukuran besar hanya akan menyulitkan pengoperasionalan satuan Arhanud mengingat peralatan/Alut Sista tersebut akan sarat tehnologi sehingga memiliki cost yang tinggi pula, kemudian penggunaannya yang sementara ini oleh negara lain cukup efektif karena terdapat perbedaan pola pembangunan serta perbedaan posisi obyek vital yang dilindungi, serta memiliki cukup ruang untuk menggelarnya, sementara di Indonesia hal tersebut tidak tersedia. Analisa lain bahwa pengoperasionalan Alut Sista berukuran besar tentunya memerlukan waktu penyiapan yang lebih banyak serta dukungan sarana/prasarana lain yang juga banyak, maka kesiapan untuk menghadapi perang generasi keempat menjadi tidak terdukung. Pengalaman negara yang berada di kawasan maupun Eropa dan Amerika dalam memodernisasi angkatan perangnya dengan tetap memperhatikan aspek biaya rendah sertamanuveribility yang tinggi dapat dijadikan acuan bagi pimpinan Arhanud dalam menentukan kebijakan pengadaan Alut Sista bagi satuan Arhanud.
Manpads atau Man portable air defence system adalah merupakan Alut Sista yang memenuhi kriteria yang diuraikan di atas, banyak Negara di dunia menggunakan sistem senjata tersebut, walaupun terdapat pula Negara yang menempatkan sistem senjata tersebut dalam organisasi infanteri karena berbagai pertimbangan, namun dengan kondisi yang ada di Indonesia maka hal tersebut dapat diakomodir sebagai senjata Arhanud. Namun bila satuan Arhanud tidak memperhatikan aspek-aspek yang diuraikan di atas, maka tidak menutup kemungkinan pula satuan Infanteri TNI AD akan lebih dulu menggunakannya, mengingat perlindungan udara yang diberikan pada satuan infanteri dianggap tidak maksimal, karena tidak dapat mengikuti mobilitas satuan infanteri itu sendiri, hal tersebut juga tidak dapat dibatasi mengingat tidak ada aturan yang mengatur tentang sistem senjata Manpads hanya boleh digunakan oleh satuan Arhanud atau dapat digunakan oleh satuan lain pula. Sementara kebutuhan perlindungan udara yang optimal tidak dapat dipenuhi oleh satuan Arhanud maka satuan infanteri akan melakukannya secara mandiri dengan memanfaatkan Alut Sista Manpads tersebut. Tentunya hal tersebut akan merugikan satuan Arhanud, karena kehadirannya tidak lagi dibutuhkan oleh satuan lain mengingat satuan lain mampu melaksanakan fungsi anti serangan udara secara mandiri tanpa melibatkan peran serta satuan Arhanud.
PENUTUP
Dari uraian diatas dapat ditarik beberapa kesimpulan diantaranya adalah diperlukan modernisasi angkatan perang guna menghadapi era perang generasi keempat, namun modernisasi angkatan perang perlu memperhatikan kemampuan anggaran negara yang cukup terbatas. Bagi satuan Arhanud sendiri tidak hanya anggaran yang menjadi kendala, tetapi kondisi geografis, pengaturan tata ruang wilayah oleh Pemerintah daerah tidak dapat menunjang optimalisasi perlindungan udara yang menjadi tugas pokok satuan Arhanud. Dengan kondisi tersebut maka disarankan pengadaan Alut Sista satuan Arhanud secara umum haruslah memiliki kriteria umum diantaranya ringan, portable, memiliki flesibilias tinggi, mandiri, mobile, serta dapat dioperasionalkan dalam segala bentuk medan dan tidak merugikan satuan baik dari segi organisasi maupun taktis dan tehnis. Hal tersebut dapat diakomodir pada Alut Sista yang berbentuk Manpads. Saran berikutnya adalah menghilangkan katagori satuan Arhanud ringan maupun sedang, bila satuan Arhanud telah didukung oleh system senjata yang manpads tersebut, sehingga penggunaannya akan lebih fleksibel oleh tiap Kotama.
Demikian tulisan ini dibuat, semoga bermanfaat bagi pembaca dan dapat memberikan sumbang saran dalam penentuan kebijakan oleh Pussenarhanud Kodiklat TNI AD.
Penulis:
Letkol Arh Hari Arif Wibowo
Danyonarhanudri-3 Dam III/Slw
Propad TNI AD |
Sesuai dengan judul di atas, maka perlu diketahui pula seperti apa perspektif perang generasi IV (4GW). Penggolongan peperangan saat ini ada empat golongan, mulai dari 1GW adalah perang yang mengandalkan kekuatan manusia dan dilakukan di ruang terbuka dimana prajurit saling berhadapan, 2GW adalah perang yang mengkombinasikan daya gerak dan daya tembak, dimana pasukan bertahan terutama pada parit pertahanan lebih memiliki keunggulan menguasai medan, sehingga dibutuhkan perimbangan 1:3 antara pihak penyerang dengan yang bertahan, 3GW adalah perang yang merupakan pengembangan dari 2GW didukung mobilitas manuver, tehnologi senjata dan informatika dengan tidak lagi mengandalkan ratio perbandingan 1:3, yang terakhir adalah 4GW yang merupakan perang asimetris atau non linier yang menggunakan seluruh sarana dan prasarana dan system senjata yang ditujukan terutama untuk menghancurkan kemauan bertempur musuh, perang ini sangat dekat dengan perang gerilya.
Apa hubungan antara tanggung jawab negara dengan perspektif perang generasi IV ditinjau dari kebutuhan Alut Sista yang harus dimiliki oleh satuan Arhanud. Tinjauan terhadap perspektif perang 4GW tersebut perlu diciutkan pada perang tanpa adanya garis linier, dalam arti mudahnya adalah semua kekuatan bersenjata yang ada harus mampu mejalankan setiap pertempuran dalam lingkup perang yang dijalankan oleh negara dengan mobilitas yang sangat tinggi, termasuk pada satuan Arhanud. Maka negara harus dapat menyediakan dukungan alat peralatan perang satuan Arhanud yang mengarah pada perspektif perang generasi IV tersebut.
Tulisan ini mencoba menganalisa berbagai macam tinjauan dari berbagai sudut pandang, agar didapatkan sebuah saran masukan tentang kebutuhan Alut Sista satuan Arhanud dalam rangka menghadapi perspektif perang generasi IV.
LATAR BELAKANG PEMIKIRAN
Indonesia pernah menjadi negara yang sangat kuat ditinjau dari kekuatan militer dan diplomasi di kawasan, pada era tahun 60-an, dengan kekuatan senjata yang didapatkan dari negara-negara blok timur dalam rangka berbagai kepentingan menghadapi konfrontasi dengan Belanda pada perebutan Irian Barat, maupun saat pelaksanaan operasi Dwi Kora, karena sikap politik negara pada masa itu yang menentang dibentuknya Negara Konfederasi Malaya, mengingat Indonesia pada masa itu condong ke timur dengan penegasan pada poros Jakarta - Peking sehingga kehadiran kekuatan pro barat, dianggap merupakan neo kolonialisme. Diluar alasan itu semua, yang terpenting kekuatan angkatan bersenjata Indonesia pada masa itu tiada tandingannya, sehingga negara-negara kawasan menjadi berhati-hati dan penuh perhitungan dengan eksistensi kekuatan militer Indonesia. Namun pada perkembangan selanjutnya kedigdayaan kekuatan militer Indonesia tidak diikuti dengan langkah-langkah lanjutan untuk mempertahankan superioritas tersebut.
Negara-negara lain dengan usaha keras terus mengembangkan kualitas kemampuan angkatan perangnya, walaupun terdapat keterbatasan dari jumlah penduduk untuk menjadi salah satu efek detern namun negara lain lebih menekankan kualitas Alut Sista yang dimiliki dihadapkan pada perkembangan tehnologi maupun bentuk perang yang dihadapi. Sedangkan Indonesia cenderung stagnan pada kemampuan militer yang dimiliki tanpa upaya yang signifikan untuk mempertahankan superioritas kekuatan militer tersebut dikawasan. Sebagian besar Alut Sista yang dimiliki oleh Indonesia terutama milik TNI AD masih menggunakan tehnologi tahun 60an dan diperbaharui pada tahun 80an, dengan tetap mempertahankan sebagian Alut Sista keluaran tahun 60an tersebut, sehingga terdapat penurunan kualitas pertahanan di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara di kawasan, hal tersebut tentunya mengurangi kewibawaan negara terhadap negara - negara disekitarnya maupun negara lain yang memiliki kepentingan atas Indonesia.
Disisi lain pembangunan perekonomian masyarakat terus dikembangkan bahkan terkesan kurang terkoordinir, sehingga berpengaruh pada aspek pertahanan Negara utamanya pada pengerahan kekuatan satuan Arhanud. Secara umum Alut Sisa yang dimiliki oleh satuan Arhanud saat ini memerlukan ruang yang cukup luas pada titik gelar yang ideal agar dapat memberikan perlindungan udara pada obyek vital yang diprioritaskan. Namun percepatan pembangunan di Indonesia cenderung mengabaikan kepentingan aspek pertahanan, diantaranya tidak dialokasikannya ruang untuk gelar satuan Arhanud pada RTRW pemerintah baik pusat maupun daerah, walaupun pihak TNI telah membuat kebutuhan pertahanan pada RUTR Wilhan, sehingga kebutuhan akan tempat gelar yang ideal serta coverage yang maksimum tidak dapat lagi terpenuhi. Kepadatan bangunan baik perumahan maupun fasilitas umum tidak memberikan ruang yang cukup pula untuk mobilitas satuan Arhanud yang rata-rata memiliki Alut Sista yang relatif besar dan berat.
Faktor lain yang mempengaruhi kemampuan Arhanud dalam memberikan perlindungan udara adalah tehnologi senjata, yang secara umum masih menggunakan tehnologi lama, sedangkan perkembangan pesawat tempur maupun persenjataan air to ground sudah begitu pesatnya. Hal tersebut tentunya tidak akan memberikan imbangan yang memadai pada pebandingan daya tempur relatif yang dimiliki satuan Arhanud dibandingkan dengan kemamuan pesawat terbang serta system persenjataannya.
Peperangan 4GW juga mengisayaratkan perang dengan mobilitas tinggi tanpa mengenal batas teritori maupun garis linier yang jelas, sehingga daya gerak dan daya tembak menjadi syarat utama untuk menang pada perang model ini. Bukan hanya menang perang dalam arti dapat menghancurkan musuh, namun juga unggul untuk menghindar dari upaya penghancuran musuh, sehingga mampu melaksanakan pertempuran dengan metode hit and run. Sementara ini system senjata Arhanud yang ada sebagaian besar tidak memiliki mobilitas yang tinggi dan sulit untuk dikerahkan pada perang 4GW, karena mobilitas yang rendah, serta memerlukan waktu penyiapan senjata sampai siap tembak yang relatif lama serta sulit disamar ditinjau dari size senjata.
HARAPAN DALAM PENYEDIAAN ALUT SISTA ARHANUD
RBS 70 TNI AD |
Pada edisi Koran Kompas Jum’at, tanggal 24 September 2010, mengulas dalam kolom tulisan mengenai kebijakan pemerintah Amerika Serikat, melalui Menteri Pertahanannya Robert Gates, bahwa Amerika telah menghentikan produksi pesawat tempur F 22 Raptor pada total pembuatan pada angka 187 unit dari 750 unit yang direncanakan, mengingat mahalnya produk pembuatan pesawat tempur tersebut dan tidak ada lawan sebanding yang dapat menghadapinya serta belum pernah beroperasi dalam misi tempur di Irak maupun Afganistan, disisi lain Amerika sangat menyadari mahalnya biaya pembuatan, pemeliharaan serta pengoperasiannya. Kekhawatiran yang sama juga terjadi pada kerjasama militer Amerika dan Eropa dalam pembuatan pesawat tempur JSF 35 Lighting, maupun pada pesawat tempur Eurofighter typhoon mengalami kemerosotan dari segi pesanan. Hal menarik lainnya bahwa Amerika cenderung lebih “senang” mengoperasikan pesawat tanpa awak (unmanned aerial vehical) karena murah dan tidak ada resiko kehilangan pilot yang juga mahal biayanya. Mengingat Amerika mulai kesulitan mengelola pengeluaran anggaran militernya yang mencapai angka 700 miliar dollar AS pertahun (sekitar Rp. 6,3 kuadriliun, atau hampir setara dengan anggaran pertahanan dunia digabung menjadi satu). Hal yang sama juga terjadi di Negara Perancis yang hanya akan mempertahankan satu kapal induk Charles de gaulle, ataupun di Inggris yang hanya akan menggunakan dua kapal induk berukuran sedang yakni HMS Invincible dan HMS Ark Royal yang bahkan sering berlayar tanpa membawa pesawat terbang (harian the Economist) Kondisi tersebut memberikan gambaran bahwa patokan tehnologi bukanlah hal utama bila dibandingkan kemampuan negara dalam bidang anggaran. Bahkan negara sekelas Amerika juga kesulitan untuk mempertahankan hegemoni dibidang tehnologi militer sehingga mencari terobosan baru yang lebih murah.
Bila TNI AD telah membuat blue print tentang arah perang masa depan sebaiknya Pussenarhanud Kodiklat TNI AD juga segera menyikapi hal tersebut dengan mengarahkan kebijakan dalam penentuan taktik, tehnis serta jenis Alut Sista dan system pendukung lainnya yang mengarah pada kemungkinan doktrin perang masa depan yang sesuai dengan 4GW. Walaupun akhir peperangan sangat ditentukan oleh personel sebagai penentu apakah sasaran dapat diduduki dan dikuasai atau tidak, namun elemen bantuan seperti satuan Arhanud yang mengedepankan tehnologi mutlak diperlukan untuk dapat memberikan perlindungan udara yang maksimal dari kemungkinan ancaman serangan udara musuh. Belajar dari uraian tentang Singapura dan Amerika serta Eropa, perlu kita pahami diperlukan modernisasi angkatan perang seperti yang dilakukan oleh Singapura agar mampu menangkal setiap kemungkinan ancaman juga mungkin ingin menjadi superior di kawasan dan juga apa yang dilakukan oleh Amerika untuk tidak terlalu menonjolkan tehnologi sampai perlu “habis-habisan” mengeluarkan biaya besar untuk me-research tehnologi militer guna ditingkatkan secara terus menerus, karena akan membebani angaran negara.
Tentunya sebagai negara yang masih tergolong sebagai negara berkembang, Indonesia perlu menyadari keterbatasan anggaran, disisi lain pengembangan pembangunan daerah yang tidak terkoordinasi dengan baik antar instansi pemerintah baik dipusat maupun daerah sangat merugikan aspek penyiapan daerah bagi kegiatan pertahanan negara, maka dari itu perlu disikapi oleh Angkatan Darat dan seluruh jajarannya termasuk secara spesifik Pussenarhanud Kodiklat TNI AD untuk mengembangkan terus upaya modernisasi namun juga memperhatikan aspek-aspek tehnis tentang angaran dan kesiapan wilayah dalam penyiapan ruang bagi gelar daerah pertahanan udara yang semakin sempit dan tidak memungkinkan lagi untuk menampung system pertahanan udara yang berukuran besar serta komplek. Pertimbangan tehnis lain diantaranya coverage yang ideal untuk peninjauan sasaran udara sudah sulit didapatkan oleh satuan Arhanud, mengingat banyaknya bangunan-bangunan tinggi yang berada disekitar daerah pertahanan udara, sehingga tidak memberikan kualitas Dahanud yang baik.
Dari beberapa data sederhana yang disampaikan diatas tentu dapat ditentukan harapan seperti apa yang diinginkan dalam penyediaan Alut Sista Arhanud dihadapkan pada pekembangan perang generasi ke empat yang akan dihadapi Indonesia pada trend saat ini.
SPESIFIKASI UMUM ALUT SISTA ARHANUD YANG DIINGINKAN
Komodo Mistral (Foto Antons) |
Bila ditinjau dari kesiapan wilayah dalam kurun waktu sekarang maupun kedepan serta keberadaan obyek vital nasional maupun daerah yang relatif tetap dan berada ditengah kepadatan pembangunan fisik daerah, maupun obyek rawan berupa satuan manuver yang bergerak pada daerah yang memiliki kontur medan yang bervariasi dan sulit, maka diperlukan Alut Sista Arhanud yang simpel, portable serta ringan, memiliki daya jangkau yang relatif jauh dan tidak lagi ada pembedaan antara ukuran satuan Arhanud ringan maupun sedang atau berat (bila ada). Namun lebih diutamakan penyebutan satuan Arhanud “saja” tanpa embel-embel ringan atau sedang. Tujuan dari generalisasi penyebutan satuan Arhanud tersebut adalah untuk memberikan ruang yang lebih luas pada penggunaan satuan Arhanud disetiap Kotama yang memiliki ataupun untuk dioperasionalkan diluar Kotama organiknya, mengingat Alut Sista yang dimiliki memiliki fleksibiltas tinggi dalam penggunaannya. Mengingat memiliki ukuran yang relatih kecil, simpel dalam penyiapan sampai dengan siap operasi, portable mudah dibongkar pasang dalam waktu yang relatif singkat, ringan sehinga tidak memerlukan daerah khusus yang luas serta karena dapat dioperasionalkan pada daerah yang sulit dilalui oleh kendaraan, karena dapat dipanggul oleh manusia serta dapat memanfaatkan bangunan-bangunan tinggi sebagai daerah gelar yang dapat memberikan coverage yang maksimal. Namun Alut Sista seperti ini haruslah tetap didukung sistem Radar yang baik agar dapat beroperasi secara mandiri, bila terdapat gangguan pada penyediaan berita sasaran oleh Kosek Kohanudnas.
Tinjauan lain dari segi organisasi tentu akan lebih baik, bila diasumsikan organisasi satuan Arhanud masih seperti sekarang yang anggotanya berkisar pada jumlah 500 an orang maka prajurit tersebut yang semula hanya dapat mengawaki beberapa pucuk meriam/Rudal, karena setiap pucuk yang berukuran relatif besar memerlukan awak yang banyak, dapat diperluas menjadi dua kali lipat jumlah senjata nya karena Alut Sista yang dipilih hanya memerlukan sedikit personel untuk mengawaki. Organisasi satuan Arhanud akan lebih baik dalam memberikan perlindungan udara karena secara taktis akan memberikan kedalaman yang lebih baik bila dioperasionalkan dalam satu titik rawan, atau dapat pula memaksimalkan jumlah titik rawan yang perlu dilindungi, serta organisasi satuan Arhanud menjadi lebih mobil, mengingat uraian sebelumnya bahwa terminologi dari 4GW hampir identik dengan kecepatan bergerak tanpa adanya garis linier yang membatasi. Performa satuan Arhanud akan menjadi lebih baik bila ditinjau dari kemampuan lintas meda yang tinggi dan dapat dioperasionalkan pada semua bentuk medan baik yang terbuka maupun yang terhalang oleh bangunan tinggi serta mampu mengimbangi gerakan satuan manuver dan bersifat mandiri dalam pengoperasiannya.
Pemikiran tentang pembelian Alut Sista yang berukuran besar hanya akan menyulitkan pengoperasionalan satuan Arhanud mengingat peralatan/Alut Sista tersebut akan sarat tehnologi sehingga memiliki cost yang tinggi pula, kemudian penggunaannya yang sementara ini oleh negara lain cukup efektif karena terdapat perbedaan pola pembangunan serta perbedaan posisi obyek vital yang dilindungi, serta memiliki cukup ruang untuk menggelarnya, sementara di Indonesia hal tersebut tidak tersedia. Analisa lain bahwa pengoperasionalan Alut Sista berukuran besar tentunya memerlukan waktu penyiapan yang lebih banyak serta dukungan sarana/prasarana lain yang juga banyak, maka kesiapan untuk menghadapi perang generasi keempat menjadi tidak terdukung. Pengalaman negara yang berada di kawasan maupun Eropa dan Amerika dalam memodernisasi angkatan perangnya dengan tetap memperhatikan aspek biaya rendah sertamanuveribility yang tinggi dapat dijadikan acuan bagi pimpinan Arhanud dalam menentukan kebijakan pengadaan Alut Sista bagi satuan Arhanud.
Manpads atau Man portable air defence system adalah merupakan Alut Sista yang memenuhi kriteria yang diuraikan di atas, banyak Negara di dunia menggunakan sistem senjata tersebut, walaupun terdapat pula Negara yang menempatkan sistem senjata tersebut dalam organisasi infanteri karena berbagai pertimbangan, namun dengan kondisi yang ada di Indonesia maka hal tersebut dapat diakomodir sebagai senjata Arhanud. Namun bila satuan Arhanud tidak memperhatikan aspek-aspek yang diuraikan di atas, maka tidak menutup kemungkinan pula satuan Infanteri TNI AD akan lebih dulu menggunakannya, mengingat perlindungan udara yang diberikan pada satuan infanteri dianggap tidak maksimal, karena tidak dapat mengikuti mobilitas satuan infanteri itu sendiri, hal tersebut juga tidak dapat dibatasi mengingat tidak ada aturan yang mengatur tentang sistem senjata Manpads hanya boleh digunakan oleh satuan Arhanud atau dapat digunakan oleh satuan lain pula. Sementara kebutuhan perlindungan udara yang optimal tidak dapat dipenuhi oleh satuan Arhanud maka satuan infanteri akan melakukannya secara mandiri dengan memanfaatkan Alut Sista Manpads tersebut. Tentunya hal tersebut akan merugikan satuan Arhanud, karena kehadirannya tidak lagi dibutuhkan oleh satuan lain mengingat satuan lain mampu melaksanakan fungsi anti serangan udara secara mandiri tanpa melibatkan peran serta satuan Arhanud.
PENUTUP
Dari uraian diatas dapat ditarik beberapa kesimpulan diantaranya adalah diperlukan modernisasi angkatan perang guna menghadapi era perang generasi keempat, namun modernisasi angkatan perang perlu memperhatikan kemampuan anggaran negara yang cukup terbatas. Bagi satuan Arhanud sendiri tidak hanya anggaran yang menjadi kendala, tetapi kondisi geografis, pengaturan tata ruang wilayah oleh Pemerintah daerah tidak dapat menunjang optimalisasi perlindungan udara yang menjadi tugas pokok satuan Arhanud. Dengan kondisi tersebut maka disarankan pengadaan Alut Sista satuan Arhanud secara umum haruslah memiliki kriteria umum diantaranya ringan, portable, memiliki flesibilias tinggi, mandiri, mobile, serta dapat dioperasionalkan dalam segala bentuk medan dan tidak merugikan satuan baik dari segi organisasi maupun taktis dan tehnis. Hal tersebut dapat diakomodir pada Alut Sista yang berbentuk Manpads. Saran berikutnya adalah menghilangkan katagori satuan Arhanud ringan maupun sedang, bila satuan Arhanud telah didukung oleh system senjata yang manpads tersebut, sehingga penggunaannya akan lebih fleksibel oleh tiap Kotama.
Demikian tulisan ini dibuat, semoga bermanfaat bagi pembaca dan dapat memberikan sumbang saran dalam penentuan kebijakan oleh Pussenarhanud Kodiklat TNI AD.
Penulis:
Letkol Arh Hari Arif Wibowo
Danyonarhanudri-3 Dam III/Slw