Ketika
sedang hangat-hangatnya debat calon presiden tempo hari, khususnya
ketika membahas topik pertahanan nasional, tiba-tiba pesawat Drone
mencuat sebagai obyek perbincangan yang cukup hangat dalam masyarakat.
Terutama pemerhati dan pengkaji perkembangan teknologi kemiliteran.
Drone merupakan jenis pesawat udara tak berawak atau Unmanned Aerial Vehicle (UAV).
Pesawat Drone ini merupakan mesin terbang yang berfungsi dengan
kendali jarak jauh oleh pilot, atau mampu mengendalikan dirinya sendiri
melalui hukum aerodinamika. Pesawat Drone ini sebagian besar
didayagunakan di bidang kemiliteran.
Fungsi
utama pesawat tanpa awak Drone digunakan untuk misi pengintaian dan
penyerangan. Walaupun banyak laporan mengatakan bahwa banyak serangan
pesawat tanpa awak yang berhasil tetapi pesawat tanpa awak mempunyai
reputasi untuk menyerang secara berlebihan atau menyerang target yang
salah, seperti warga masyarakat sipil.
Salah
satu kasus yang paling hangat adalah serangan membabi-buta tentara
Israel ke Gaza, yang telah menewaskan ribuan warga masyarakat sipil yang
tak bersenjata. Seperti terungkap melalui beberapa sumber pustaka,
Angkatan Bersenjata Israel sudah sejak lama menggunakan UAV untuk
operasi intelijen dalam perang melawan pejuang Palestina dan Hizbullah
yang mendapat dukungan penuh dari Iran. Israel juga memelopori
penggunaan drone bersenjata rudal untuk membunuh para pemimpin kunci
dari pejuang-pejuang itu. Yang tentunya kemudian berakibat juga
tewasnya ribuan warga sipil Palestina dan Lebanon.
Cerita
tentang sepak-terjang Israel dalam membunuh warga sipil Palestina dan
Lebanon, nampaknya tak bisa dilepaskan dari penggunaan pesawat Drone
UAV. Pada November 2002 misalnya, Israel membunuh warga sipil di Yaman
dengan menggunakan Drone UAV buatan Amerika Serikat seperti MQ-1 yang
dikenal sebagai Drone predator pembunuh yang pernah digunakan Amerika
untuk menumpas Al Qaeda di Afghanistan, karena dianggap sebagai pelaku
utama serangan aksi teror 11 September 2001 di Gedung WTC, Washington.
Israel
mulai merintis UAV pada 1970, dan negara Zionis inilah yang kali
pertama memfungsikan Drone UAV sebagai pesawat tempur. Sehingga pada
perkembangannya Drone UAV punya reputasi buruk sebagai pesawat pembantai
warga masyarakat sipil yang tak ada sangkut-pautnya dengan angkatan
bersenjata yang terlibat dalam pertempuran. Misalnya pada 1982, Drone
UAV digunakan Israel untuk menggempur warga sipil Lebanon dengan dalih
untuk menumpas pasukan perjuangan PLO.
Bahkan
Israel menggunakan Skuadron 200, unit UAV pertama, menggunakan scout
sebagai umpan untuk mengetahui lokasi rudal permukaan ke udara Suriah di
Lebanon. Kedigdayaan Drone UAV Israel ini memang terbukti, dengan
keberhasilannya menembak jatuh 85 pesawat tempur Suriah. Sementara
dengan menggunakan Drone UAV tersebut, Israel tidak mengalami kerugian
samasekali.
Karena
itu, ketika calon presiden Joko Widodo (Jokowi) mengusulkan pengadaan
pesawat Drone UAV untuk meningkatkan pertahanan nasional kita, logis
jika kita bertanya: Apakah Jokowi sadar berapa banyak wanita dan
anak-anak yang telah tewas akibat serangan udara Israel maupun Amerika
Serikat dengan menggunakan pesawat tak berawak Predator dan Reaper alias
Drone di Palestina, Lebanon dan Afghanistan?
Dari
sekelumit kisah sepak-terjang Amerika di Afghanistan, maupun Israel di
Palestina dan Lebanon, jelaslah sudah bahwa Drone UAV lebih banyak
digunakan sebagai pesawat tempur untuk membunuh warga sipil yang tak
berdosa, ketimbang sebagai pesawat pengintai atau patroli seperti yang
dibayangkan oleh calon presiden Jokowi.
Lebih
buruk daripada itu, pihak militer Amerika beberapa kali terbukti
menggunakan Drone UAV sebagai pesawat tempur dengan menembak sasaran
yang salah, sehingga menewaskan puluhan ribu warga sipil tak berdosa di
Irak, Afghanistan, dan Somalia.
Maka
tak heran ketika Oxford Analytica, sebuah perusahaan
strategis-konsultan independen yang menarik pada jaringan lebih dari
1,000 sarjana-ahli di Oxford dan lembaga-lembaga pendidikan terkemuka,
mengatakan pasar untuk sistem pesawat tak berawak "telah melonjak selama
dekade terakhir, didorong oleh keberhasilan operasional terbukti di
Irak dan Afghanistan dan penggunaan yang luas Israel.
Selain
itu, para pemangku kepentingan pertahanan Amerika beranggapan, pesawat
jenis ini sangat efektif karena dikendalikan dengan remote control
pesawat, dan cukup dipandu oleh komputer yang terletak di Markas CIA, di
Langley. Bahkan secara berlebihan mereka mengatakan Drone UAV sebagai
persenjataan “masa depan.”
Siemon Wezeman, seorang peneliti di Stockholm International Peace Research Institute
(SIPRI), mengatakan Drone UAV telah menjadi pasar dengan pertumbuhan
yang signifikan dalam satu dekade terakhir dan pertumbuhan yang secara
luas diperkirakan akan tetap berlangsung terus pada tahun-tahun
mendatang.
Ini
merupakan tren yang cukup mengkhawatirkan. Karena menurut Laporan PBB
yang dirilis pada 2010 lalu, daya tarik utama penggunaan UAV karena
dipandang cukup efektif sebagai mesin pembunuh yang ditujukan ke
wilayah yang dipersepsikan sebagai wilayah musuh. Selain dari itu,
pesawat jenis ini kecil risikonya, sehingga tidak perlu ada pasukan
militer yang tewas terbunuh atau tertangkap oleh musuh. Namun bisa
membawa kehancuran maksimal terhadap wilayah musuh yang jadi sasaran
serangan.
Pesan
utama dari artikel ini adalah, penggunaan Drone UAV yang semula hanya
dimaksdkan untuk fungsi-fungsi intelijen seperti pengawasan dan
pengintaian, pada perkembangannya secara sadar digunakan sebagai “Mesin
Pembunuh” yang terbukti telah memakan ribuan korban jiwa dari warga
masyarakat sipil yang tak berdosa di pelbagai belahan dunia.
Alih-alih
mengusulkan penggunaan Drone UAV seperti yang dilontarkan calon
presiden Jokowi, kiranya jauh lebih tepat untuk mempertimbangkan
melarang penggunaan Drone sebagai mesin perang di bawah payung hukum
kemanusiaan internasional. Mengingat semakin meningkatnya warga
masyarakat sipil sebagai korban jiwa menyusul serangan udara Amerika dan
Israel di beberapa negara seperti Afghanistan, Irak, Lebanon, Yaman,
Palestina dan Somalia.
|
No comments:
Post a Comment