Negara pulau Singapura sedang mempersiapkan satuan pemukul strategis bawah air dengan kekuatan 10 kapal selam, 6 diantaranya sudah operasional dan sisanya dari jenis Scorpene sedang dalam tahapan negosiasi menuju kontrak pengadaaan dengan Perancis. Bisa dibayangkan kemampuan pre emptive strike armada bawah laut negeri itu ketika dalam kondisi terburuk harus bertempur dengan negara lain. Militer Singapura akan bertempur di luar wilayah teritorinya dan itu sama saja tidak lepas dari teritori Indonesia dan Malaysia yang dijadikan lahan pertarungan.
Indonesia saat ini mempunyai 2 kapal selam dari jenis U209 buatan Jerman yang sudah diretrofit di Korea Selatan. Kita juga sudah menandatangani kontrak pembuatan 3 kapal selam dari jenis Changbogo dengan Korea Selatan. Kapal selam pertama akan diselesaikan dan dikirim ke Surabaya akhir tahun 2015. Dalam rencana ke depan diharapkan kita bisa melakukan transfer teknologi dan berkemampuan membuat kapal selam di dalam negeri dengan lisensi dan itu tentu sangat dinantikan. Namun melihat perkembangan situasi kawasan Laut Cina Selatan (LCS) yang semakin menggelora kita perlu jurus lain untuk penambahan alutsista kapal selam secara paralel selain dengan Changbogo. Kita perlu tambahan kapal selam jenis lain dari kelas yang lebih tinggi.
Pilihan yang lebih menggairahkan tentu dari jenis Kilo buatan Rusia. Pertimbangan dari sisi militer, negara tetangga sudah menentukan pilihannya dengan memesan dan mengoperasikan kapal selam dari kelas yang lebih gahar. Pertimbangan dari sisi ketersediaan dana dan kemudahan prosedur Rusia sudah lebih dulu membuka pintunya. Mengapa kita tidak memanfaatkan sisa kredit state dari Rusia sebesar USS$ 700 juta dollar untuk pengadaan kapal selam kelas Kilo dari Rusia. Anggaran multi years untuk pengadaan alutsista tahun 2010 sampai dengan tahun 2014 berjumlah US$15 milyar, salah satu komponennya adalah kredit state yang dari Rusia itu. Itu artinya kalau tidak dimanfaatkan maka ada dana tak terserap dalam realisasi belanja alutsista. Rusia hanya mau mencairkan dana itu sesuai perjanjian terdahulu untuk pengadaan 2 kapal selam jenis Kilo. Dialihkan ke Sukhoi saja mereka enggan karena Rusia tetap berkomitmen untuk 2 kapal selam itu.
Logikanya anggaran kan sudah tersedia, lalu mengapa masih jual mahal atau karena ada desakan negara lain untuk tidak mengambil Kilo. Kalau argumennya karena desakan negara lain, sangatlah tidak pantas dan memalukan, sementara Vietnam, Singapura, Malaysia sudah melangkah dengan kepala tegak. Vietnam sedang menunggu pesanan pertama dari 5 kapal selam Kilo yang dipesan dari Rusia. Malaysia diyakini akan kembali menambah kapal selamnya dari yang ada 2 unit saat ini. Singapura sudah mengoperasikan 6 kapal selam. Sementara jangan ditanya kalau soal kapal selam Cina yang selalu mondar mandir di bawah LCS. Cina memilik 65 kapal selam berbagai jenis.
Satuan pemukul bawah air merupakan alutsista strategis yang sedang dikembangkan di regional LCS dan itu bagian dari kampanye militer perebutan wilayah sumber daya alam yang melimpah di wilayah itu. Kalau mau beradu strategi pertempuran di LCS kuncinya ada di kekuatan laut dan udara namun kekuatan udara tidak mampu mematahkan kekuatan bawah air sehingga kekuatan pemukul bawah air yang akan saling beradu di kedalaman LCS. Ini artinya untuk menjaga teritori kita dari ancaman penyusupan kapal selam asing diperlukan penambahan armada kapal selam yang proporsional dengan luasnya perairan.
Dengan kekuatan 5 kapal selam pada tahun 2018 dimana 2 diantaranya sudah berusia uzur, bisa dipastikan Indonesia kalah wibawa dibanding Singapura dan Vietnam. Negara kepulauan terbesar di dunia ini masih membutuhkan sedikitnya 12 kapal selam berbagai jenis. Mengapa harus berbagai jenis karena ini menyangkut tingkat keandalan dan kegentaran dalam menguasai laut dangkal atau laut dalam yang dua-duanya dimiliki Indonesia. Pada jaman Trikora Soekarno mampu mendatangkan 12 kapal selam kelas Whiskey dari Rusia hanya dalam waktu 3 tahun, padahal pada saat yang sama kondisi ekonomi bangsa ini belum sehebat sekarang.
Adalah keputusan yang tepat dan belum terlambat kalau Pemerintah mau mempergunakan kredit state dari Rusia untuk pengadaan 2 kapal selam Kilo. Pinjaman sudah dibentangkan 4 tahun lalu bahkan Rusia siap menambah pasokan kredit statenya untuk berbagai alutsista made in Rusia. Dari perspektif milter dan hankam sangat relevan kalau kita menambah satuan pemukul alutsista bawah laut dari jenis yang menggentarkan. Bukankah negara tetangga Malaysia, Vietnam dan Singapura leluasa membeli alutsista gahar sesuai keinginannya sementara kita sepertinya tak leluasa melakukan itu.
Kawasan perairan selatan jantung Indonesia, pulau Jawa selama ini hanya ditemani Ratu Pantai Selatan, sepi dari pengawalan angkatan laut. Ke depan diyakini merupakan kawasan yang hiruk pikuk dengan lalulintas militer armada AS dari Australia menuju LCS dan sebaliknya yang melewati Selat Sunda. Namanya saja milter negara adi kuasa pasti sekali waktu melakukan manuver memancing atau sekedar iseng melakukan penyusupan dan pengamatan melalui kapal selam atau kapal permukaan. Nah kalau yang dipancing tidak melakukan pengawalan teritori itu artinya sama saja tidak mewibawakan teritori yang menjadi job pengawalannya. Kehadiran kapal selam laut dalam TNI AL untuk “mengiringi” konvoy armada kapal perang asing di selatan Jawa adalah jawaban untuk mewibawakan keedaulatan teritori laut kita.
Kita pun berandai-andai jika kredit state itu diambil oleh pemerintah untuk pengadaan 2 kapal selam Kilo maka pada tahun 2020 nanti saat dimana LCS bisa berubah menjadi arena titik didih setidaknya kita telah memiliki 10 kapal selam dengan rincian 2 Kilo, 3 Changbogo yang dipesan sekarang, 3 Changbogo lisensi yang dibuat di PAL Surabaya dan 2 Cakra Class yang masih bisa beroperasi. Namanya juga berandai-andai akan lebih bernilai gahar lagi kalau kombinasinya pada tahun 2020 nanti dengan formasi 4 Kilo dan 6 Changbogo dengan memensiunkan Cakra Class.
Tetapi yang pasti kalau pengambil keputusan di negeri ini selalu merasa inferior dan tertekan bathin dalam menentukan jenis alutsista yang pantas mengawal teritori bawah laut NKRI atau alutsista strategis lainnya, maka sejatinya itu bisa menjelaskan wajah kita yang sebenarnya, bangsa yang sudah merdeka namun masih bermental terjajah. Kasihan nantinya jika generasi penerus bangsa ini “menegur” generasi sebelumnya dengan ungkapan generasi tertekan bathin. Kalau sudah begini jangan lantas menyalahkan Tuhan karena Tuhan telah berfirman : Aku tak akan merubah nasib sebuah kaum atau bangsa sebelum dia merubah paradigmanya sendiri.
******
Jagvane
sumber : analisa alutsista
Indonesia saat ini mempunyai 2 kapal selam dari jenis U209 buatan Jerman yang sudah diretrofit di Korea Selatan. Kita juga sudah menandatangani kontrak pembuatan 3 kapal selam dari jenis Changbogo dengan Korea Selatan. Kapal selam pertama akan diselesaikan dan dikirim ke Surabaya akhir tahun 2015. Dalam rencana ke depan diharapkan kita bisa melakukan transfer teknologi dan berkemampuan membuat kapal selam di dalam negeri dengan lisensi dan itu tentu sangat dinantikan. Namun melihat perkembangan situasi kawasan Laut Cina Selatan (LCS) yang semakin menggelora kita perlu jurus lain untuk penambahan alutsista kapal selam secara paralel selain dengan Changbogo. Kita perlu tambahan kapal selam jenis lain dari kelas yang lebih tinggi.
Pilihan yang lebih menggairahkan tentu dari jenis Kilo buatan Rusia. Pertimbangan dari sisi militer, negara tetangga sudah menentukan pilihannya dengan memesan dan mengoperasikan kapal selam dari kelas yang lebih gahar. Pertimbangan dari sisi ketersediaan dana dan kemudahan prosedur Rusia sudah lebih dulu membuka pintunya. Mengapa kita tidak memanfaatkan sisa kredit state dari Rusia sebesar USS$ 700 juta dollar untuk pengadaan kapal selam kelas Kilo dari Rusia. Anggaran multi years untuk pengadaan alutsista tahun 2010 sampai dengan tahun 2014 berjumlah US$15 milyar, salah satu komponennya adalah kredit state yang dari Rusia itu. Itu artinya kalau tidak dimanfaatkan maka ada dana tak terserap dalam realisasi belanja alutsista. Rusia hanya mau mencairkan dana itu sesuai perjanjian terdahulu untuk pengadaan 2 kapal selam jenis Kilo. Dialihkan ke Sukhoi saja mereka enggan karena Rusia tetap berkomitmen untuk 2 kapal selam itu.
Logikanya anggaran kan sudah tersedia, lalu mengapa masih jual mahal atau karena ada desakan negara lain untuk tidak mengambil Kilo. Kalau argumennya karena desakan negara lain, sangatlah tidak pantas dan memalukan, sementara Vietnam, Singapura, Malaysia sudah melangkah dengan kepala tegak. Vietnam sedang menunggu pesanan pertama dari 5 kapal selam Kilo yang dipesan dari Rusia. Malaysia diyakini akan kembali menambah kapal selamnya dari yang ada 2 unit saat ini. Singapura sudah mengoperasikan 6 kapal selam. Sementara jangan ditanya kalau soal kapal selam Cina yang selalu mondar mandir di bawah LCS. Cina memilik 65 kapal selam berbagai jenis.
Satuan pemukul bawah air merupakan alutsista strategis yang sedang dikembangkan di regional LCS dan itu bagian dari kampanye militer perebutan wilayah sumber daya alam yang melimpah di wilayah itu. Kalau mau beradu strategi pertempuran di LCS kuncinya ada di kekuatan laut dan udara namun kekuatan udara tidak mampu mematahkan kekuatan bawah air sehingga kekuatan pemukul bawah air yang akan saling beradu di kedalaman LCS. Ini artinya untuk menjaga teritori kita dari ancaman penyusupan kapal selam asing diperlukan penambahan armada kapal selam yang proporsional dengan luasnya perairan.
Dengan kekuatan 5 kapal selam pada tahun 2018 dimana 2 diantaranya sudah berusia uzur, bisa dipastikan Indonesia kalah wibawa dibanding Singapura dan Vietnam. Negara kepulauan terbesar di dunia ini masih membutuhkan sedikitnya 12 kapal selam berbagai jenis. Mengapa harus berbagai jenis karena ini menyangkut tingkat keandalan dan kegentaran dalam menguasai laut dangkal atau laut dalam yang dua-duanya dimiliki Indonesia. Pada jaman Trikora Soekarno mampu mendatangkan 12 kapal selam kelas Whiskey dari Rusia hanya dalam waktu 3 tahun, padahal pada saat yang sama kondisi ekonomi bangsa ini belum sehebat sekarang.
Adalah keputusan yang tepat dan belum terlambat kalau Pemerintah mau mempergunakan kredit state dari Rusia untuk pengadaan 2 kapal selam Kilo. Pinjaman sudah dibentangkan 4 tahun lalu bahkan Rusia siap menambah pasokan kredit statenya untuk berbagai alutsista made in Rusia. Dari perspektif milter dan hankam sangat relevan kalau kita menambah satuan pemukul alutsista bawah laut dari jenis yang menggentarkan. Bukankah negara tetangga Malaysia, Vietnam dan Singapura leluasa membeli alutsista gahar sesuai keinginannya sementara kita sepertinya tak leluasa melakukan itu.
Kawasan perairan selatan jantung Indonesia, pulau Jawa selama ini hanya ditemani Ratu Pantai Selatan, sepi dari pengawalan angkatan laut. Ke depan diyakini merupakan kawasan yang hiruk pikuk dengan lalulintas militer armada AS dari Australia menuju LCS dan sebaliknya yang melewati Selat Sunda. Namanya saja milter negara adi kuasa pasti sekali waktu melakukan manuver memancing atau sekedar iseng melakukan penyusupan dan pengamatan melalui kapal selam atau kapal permukaan. Nah kalau yang dipancing tidak melakukan pengawalan teritori itu artinya sama saja tidak mewibawakan teritori yang menjadi job pengawalannya. Kehadiran kapal selam laut dalam TNI AL untuk “mengiringi” konvoy armada kapal perang asing di selatan Jawa adalah jawaban untuk mewibawakan keedaulatan teritori laut kita.
Kita pun berandai-andai jika kredit state itu diambil oleh pemerintah untuk pengadaan 2 kapal selam Kilo maka pada tahun 2020 nanti saat dimana LCS bisa berubah menjadi arena titik didih setidaknya kita telah memiliki 10 kapal selam dengan rincian 2 Kilo, 3 Changbogo yang dipesan sekarang, 3 Changbogo lisensi yang dibuat di PAL Surabaya dan 2 Cakra Class yang masih bisa beroperasi. Namanya juga berandai-andai akan lebih bernilai gahar lagi kalau kombinasinya pada tahun 2020 nanti dengan formasi 4 Kilo dan 6 Changbogo dengan memensiunkan Cakra Class.
Tetapi yang pasti kalau pengambil keputusan di negeri ini selalu merasa inferior dan tertekan bathin dalam menentukan jenis alutsista yang pantas mengawal teritori bawah laut NKRI atau alutsista strategis lainnya, maka sejatinya itu bisa menjelaskan wajah kita yang sebenarnya, bangsa yang sudah merdeka namun masih bermental terjajah. Kasihan nantinya jika generasi penerus bangsa ini “menegur” generasi sebelumnya dengan ungkapan generasi tertekan bathin. Kalau sudah begini jangan lantas menyalahkan Tuhan karena Tuhan telah berfirman : Aku tak akan merubah nasib sebuah kaum atau bangsa sebelum dia merubah paradigmanya sendiri.
******
Jagvane
sumber : analisa alutsista