Setelah mati suri hampir 14 tahun, PT Dirgantara Indonesia berhasil bangkit kembali dengan mengantongi nilai kontrak produksi pesawat dan suku cadang mencapai lebih dari tujuh triliun rupiah hingga 2014.
Kebangkitan pabrik pesawat terbang pertama dan satu-satunya di Asia Tenggara ini adalah salah satu di antara kisah paling dramatis dalam sejarah BUMN sejak krisis moneter menenggelamkan perekonomian Negara Asia tahun 1997-1998.
Tetapi bagaimana sebuah perusahaan produsen pesawat yang sempat membuat cetakan panci dan antena parabola untuk bertahan hidup dapat bangkit kembali begitu rupa?
"PTDI bisa bertahan karena kami melakukan berbagai hal supaya bias tetap hidup. Meskipun pengalaman sangat pahit termasuk membuat cetakan panic dan antena tersebut, kami bisa selamat," kata Rahendi Triyatna, pejabat senior Humas PTDI.
Dari sebuah perusahaan raksasa dengan pegawai hampir mencapai 16.000 orang, PTDI harus mengurangi karyawan secara drastic hingga kurang dari seperempatnya. International Monetary Fund (IMF) yang memberi dana penopang hidup untuk keuangan negara yang sedang sekarat di ujung pemerintahan Suharto, memberi syarat pengetatan anggaran habis-habisan.
BUMN dengan basis teknologi yang dianggap kurang menguntungkan seperti PTDI dinilai merupakan bentuk pemborosan.
‘Hijau’
Keuangan PTDI terus-menerus dinyatakan dalam zona merah atau mengutang sejak saat itu. Baru pada tahun lalu dengan pendapatan sekitar Rp1 triliun, perusahaan pelat merah asal Bandung itu dinyatakan sehat kembali dengan sisa utang kepada pemerintah ditulis sebagai bentuk penyertaan modal.
“Dengan demikian sekarang (keuangan) kita ‘hijau’ lagi, dan kita bias mulai agesif cari proyek baru,” tambah Rafendi berseri-seri.
PTDI antara lain memenangkan tender untuk pemesaan empat pesawat patroli pantai Angkatan Bersenjata Korea Selatan senilai sekitar US$49,45 juta.
Ini bukan tender sembarangan, kata Rafendi, karena PTDI harus bersaing dengan dua pabrikan senjata ternama dari Eropa.
“Saya tak usah sebutkan namanyalah, tapi yang jelas ini merupakan bentuk pengakuan internasional bahwa kualitas CN235 kita memang paling sesuai.”
PTDI juga memproduksi helikopter dengan lisensi Bell Textron dan Eurocopter untuk jenis Super Puma.
Pesawat jenis CN235, bermesin ganda dan didesain mampu menampung penumpang hingga 45 orang memang andalan produksi PTDI sejak dibangun tahun 1976 oleh Bachrudin Jusuf Habibie, bapak teknologi Indonesia.
Pesawat ini dianggap handal untuk kebutuhan patroli pantai, alat angkut logistik dan penumpang jarak menengah, yang kini sedang diincar PTDI adalah pesanan CN295, lebih besar dari PTDI dan hak cipta pengembangannya didapat dari Airbus Military, sebuah perusahaan pembuat pesawat dari Spanyol.
“Kita sudah lama kerjasama dengan mereka, dan sekarang kita teken kesepakatan bahwa jika ada pesanan CN295 di kawasan Asia Pasifik maka yang kerjakan kita,” tambah Rafendi bangga.
Hingga 2014, PTDI harus menyelesaikan pesanan enam unit CN235 untuk TNI AL dan AU.
Tujuh unit helicopter N-Bell 412EP TNI AD dan AL, sedang menyelesaikan dua unit heli Superpuma untuk TNI AU, dan belasan heli lain harus dikerjakan sebelum penyerahan usai tahun 2014.
Sementara untuk CN295 PTDI akan memproduksi sembilan unit untuk TNI Al dan AU yang akan diselesaikan dalam tiga tahun mendatang.
"Yang CN295 ini kita selesaikan bersama Airbus Military," tegas Rahendi.
Yang juga jadi penopang pendapatan penting bagi PTDI adalah kontrak pemasok suku cadang yang datang dari sejumlah pabrikan besar pesawat seperti Airbus yang diproduksi di Inggris.
“Kami adalah single source untuk sayap yang melekat ke badan Inboard Outer Fixed Leading Edge untuk Airbus 380, kita sudah mengirim 137 shift set,” kata Rahendi.
Sementara untuk produksi Airbus 320-321, PTDI bertindak sebagai sub kontraktor dari Spirit Aerosystem asal Inggris yang menyediakan komponen utama pesawat.
“Kita dinyatakan sebagai subkontraktor terbaik selama tiga tahun berturut-turut dan sudah mengirim 2400 shift set komponen.”
Layanan lain yang disediakan PTDI adalah bengkel perawatan pesawat, yang saat ini menangani sejumlah pesawat dari maskapai dalam negeri dan maskapai asing Asia.
‘Tukang jahit’
Meski nampak mengalami kemajuan serius kinerja PTDI bukan tanpa cacat.
Meski standard diakui internasional, sebagian produk PTDI dinilai masih tak seideal yang diharapkan. TNI AU yang paling banyak memakai produk mereka mengeluhkan hal ini.
“Kalau produk sudah lama jadi sih, komplain kita minim. Tapi kalau produk masih baru, masih harus dikejar terus sesuai persyaratan kita,” kata Marsekal Imam Sufaat, Kepala Staf TNI AU.
Dari sekitar 4000 karyawan PTDI, 1500 diantaranya adalah lulusan sekolah kejuruan.
Imam yang juga menjabat sebagai salah satu komisaris PTDI mengakui kesulitan utama pengembangan produk di PTDI adalah pada persoalan alih teknologi dari Negara maju pada engineer PTDI
“Jadi airframe pesawat tidak sulit tapi buat engine, avionic yang canggih itu yang susah. Jadi umpamanya bikin baju kita masih tukang jahit,” tambah Imam mengakui.
Rahendi Triyatna tidak membantah masih banyak yang harus dilakukan untuk mengatrol kualitas produk akhir buatan PTDI. Apalagi waktu 14 tahun terakhir yang mestinya dipakai untuk mematangkan laboratorium teknik PTDI, harus hilang akibat krisis.
"Kita sedang bekerjasama dengan Korea Selatan untuk tahap awal pengembangan desain pesawat tempur, juga dengan Turki. Memang masih jauh tapi kita akan terus upayakan,” kata Rahendi.
Setidaknya dengan kontrak yang ada saat ini, PTDI sudah berancang-ancang untuk mulai melakukan rekrutmen baru.
Ruang untuk insinyur yang kini baru diisi 800 orang akan diperluas dengan lulusan-lulusan baru terbaik dari berbagai universitas ternama di Indonesia.
Bahkan muncul gagasan untuk menarik kembali para ahli rancang bangun pesawat eks karyawan yang pada tahun 2000 terpaksa diberhentikan dan kini tersebar di berbagai pabrik pesawat di dunia.