Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro (kiri) didampingi KASAU Marsekal
TNI Imam Sufaat (kanan) melihat bagian kamera dari Pesawat Terbang Tanpa
Awak (PTTA) Wulung ketika uji coba kemampuan terbang di Pangkalan Udara
Halim Perdanakusumah, Jakarta Timur, Kamis (11/10). PTTA hasil
pengembangan Balitbang Kemhan dan BPPT tersebut dapat dipergunakan untuk
kepentingan militer dalam hal pengamatan wilayah (survailence),
penanganan kebakaran hutan, pembuatan hujan buatan, dan mampu
menggantikan pesawat tempur yang disebut dengan Unnamed Combat Aerial
Vehicle (UCAV). (Foto: ANTARA/Widodo S. Jusuf//Koz/mes/12)
11 Oktober 2012, Jakarta: Indonesia memutuskan membangun satu skuadron
pesawat terbang tanpa awak atau pesawat udara nir awak (PTTA/PUNA) yang
sepenuhnya akan diproduksi di Indonesia dan dikerjakan oleh orang
Indonesia. Demikian disampaikan Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro
usai menyaksikan uji coba pesawat Wulung, pesawat tanpa awak yang
dirancang untuk memantau/mengintai perbatasan dan bencana, di Pangkalan
TNI AU Halim Perdanakusuma, Jakarta, Kamis (11/10).
Presiden Susilo Bambang Yudhyono dan Ibu Negara yang baru mendarat dari
kunjungan kerja di Yogyakarta pun turut menyaksikan lima jenis prototype
PTTA/PUNA yang dipamerkan di sana. Keputusan memproduksi satu skuadron
PTTA/PUNA inipun sudah disetujui oleh Presiden. "Bapak Presiden sudah
mendukung tadi, sudah diputuskan pagi ini, satu skuadron pesawat udara
nir awak akan berjalan di perbatasan," kata Purnomo.
Ada lima jenis PTTA/ PUNA yang dipamerkan, yakni Puna Alap-alap, Puna Gagak, Wulung PA5-100, Puna Pelatuk, dan Sriti.
Dengan bentangan sayap 6,36 meter, panjang 4,32 meter, tinggi 1,32 meter
serta berat 120 kg pesawat PUNA dinilai efektif untuk misi pemotretan
udara pada area yang sangat luas serta pengukuran karakteristik
atmosfer. Pesawat tersebut merupakan hasil pengembangan Badan Penelitian
dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Pertahanan, dengan Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Pesawat terbang tanpa awak ini juga akan dipergunakan untuk kepentingan
militer dalam pengamatan wilayah (surveillance). Fungsinya juga dapat
menggantikan pesawat tempur tanpa awak Unmanned Combat Air Vehicle
(UNCAV), serta dapat pula digunakan untuk kepentingan sipil seperti
penanganan kebakaran hutan dan pembuatan hujan buatan.
Jika PTTA/PUNA produksi dalam negeri ini berhasil, maka akan membawa
keuntungan diantaranya memiliki nilai ekonomis tinggi, mengurangi
ketergantungan pada negara-negara produsen yang selama ini menjadi
pemasok alat utama sistem senjata TNI, bersifat fleksibel dalam
pengembangan, meningkatkan peran industri dalam negeri, serta dalam
keadaan darurat dapat dioperasionalkan secara mandiri. "Tidak usah ada
demo-demo (pesawat) lagi, jalan sekarang, langsung ke engineering
manufacturing," kata Purnomo.
Ongkos Produksi PUNA Murah
Kementerian Pertahanan memutuskan memproduksi satu skuadron pesawat
terbang tanpa awak atau pesawat udara nir awak (PTTA/PUNA) buatan dalam
negeri. Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Marzan A.
Iskandar mengatakan, biaya yang akan dikeluarkan untuk memproduksi lima
unit PTTA/PUNA ini diperkirakan sekitar Rp5 miliar.
"Dalam waktu dekat kami keluarkan angkanya, tapi ya mungkin kalau satu
skuadron itu 5 pesawat, sekitar 5-6 milyar, nggak mahal," kata Marzan di
Base ops Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, Kamis (11/10).
Menurut Marzan, untuk memproduksi PTTA/PUNA, pihaknya memprioritaskan
pada BUMN, yakni PT Dirgantara Indonesia (PT DI). Namun jika tidak
memungkinkan, akan menyerahkan pada perusahaan swasta. "Preferensi
pertama PT DI, kalau umpamanya ada kendala, ya kami akan minta industri
yang lain, swasta juga nggak pa-pa," ujarnya.
Ia melanjutkan, PTTA/PUNA jenis Puna Alap-Alap, Puna Gagak, Wulung
PA5-100, Puna Pelatuk, dan Sriti merupakan varian dari pesawat Wulung
yang sudah digunakan sejak 2004. Tahun lalu, BPPT dengan dukungan
Kementerian Pertahanan dan Kementerian Riset dan Teknologi mempercepat
rencana pembangunan satu skuadron PTTA/PUNA tersebut. Dana yang
dikeluarkan untuk proses riset sejak 2002, pembuatan dan uji coba, kata
Marzan, tidak mencapai Rp 10 miliar.
Hingga akhirnya diputuskan memproduksi satu skuadron PTTA/PUNA pada 2013
nanti. "Kami sudah putuskan akan diproduksi satu skuadron, 5 atau 6
unit pertama," kata Marzan.
Menurut Marzan, pesawat dengan mesin dua tax ini dapat terbang sejauh 70
kilometer dengan ketinggian 12.000 kaki. Fungsi utamanya untuk
mengintai, penginderaan dari udara menggunakan kamera/ video untuk
melihat kondisi di darat dan udara selama 24 jam. Hasilnya akan
ditransmisikan langsung ke stasiun pengamat di darat pada saat itu juga.
Sumber:
Jurnas