Pasca pecah kongsi antara Indonesia dan Uni Soviet di tahun 1966,
membawa implikasi pelik bagi konfigurasi alutsista di Tanah Air.
Khususnya di lingkungan TNI AU, hampir semua alutsista asal Uni Soviet
dan Eropa Timur harus di grounded lantaran ketiadaan pasokan suku cadang. Kalaupun ada yang masih bertahan hingga tahun 70-an, seperti jet tempur MiG-21 dan pembom Tu-16, tak lain hanya mengandalkan pola kanibalisasi suku cadang.
Di periode transisi haluan alutsista tersebut, tantangan dalam aspek
militer nyatanya juga tak surut, bahkan di sekitar tahun 1975 dan 1976,
TNI punya kesibukan yang sangat besar dalam operasi Seroja. Sebagai
aktualisasi dari strategi perubahan, mulai berdatanganlah pesawat tempur
dari AS dan sekutunya, sebut saja seperti pengadaan A-4E Skyhawk, F-5E/F Tiger, hibah F-86 Sabre dari Australia, pembelian jet latih Hawk MK-53, dan pesawat tempur anti gerilya OV-10F Bronco yang dibeli dari AS pada tahun 1976. Boleh dibilang dalam waktu singkat, TNI berusaha memenuhi MEF (minimum essential force) dalam waktu singkat. Maklum, sejak pergantian haluan sistem senjata, kekuatan sista TNI AU sempat tertinggal dari Malaysia dan Singapura.
Yang disebutkan diatas baru sebatas urusan pesawat tempur, dalam
konsep Kohanudnas (Komando Pertahanan Udara Nasional), elemen yang
terlibat bukan hanya jet tempur, untuk mengamankan kedaulatan Nasional
di udara juga diperlukan hadirnya kekuatan sistem radar pertahanan udara
dan Arhanud. Tapi sistem radar-lah yang justru memegang peran utama,
karena dapat melakukan deteksi dini yang selanjutnya menyalurkan
informasi penting tersebut pada komando atas.
Berangkat dari kondisi wilayah udara nasional yang begitu luas, TNI
pun sejak awal sudah mempersiapkan elemen radar sebagai bagian dari
hanudnas. Meski dari kuantitas sangat terbatas, secara kualitas dan
jenis radar TNI AU sudah memiliki roadmap yang bisa diperhitungkan.
Pada dasawarsa 60-an dan 70-an, wilayah udara RI dipantau menggunakan
radar-radar generasi pertama yang menggunakan teknologi tabung, antara
lain radar Nysa
(Polandia), Decca, dan Plessey (AWS II-Inggris). Meskipun teknologi
yang dimiliki masih sangat sederhana dan hanya menyuguhkan bearing dan
range pada console, namun dengan kemampuan deteksi rata-rata 120 NM
sampai dengan 180 NM, keberadaan radar-radar tersebut cukup mampu
memberikan informasi seluruh pesawat yang memasuki wilayah udara
Indonesia, khususnya pulau Jawa.
Kemudian pada dasawarsa 80 sampai dengan 90-an sistem pertahanan
udara dikembangkan dengan adanya pembangunan radar-radar Thomson di
beberapa tempat, baik tipe TRS 2230 (Plannar) ataupun TRS 2215
(Hyperbolic). Berbeda dengan generasi terdahulu, radar-radar generasi
ini sudah lebih modern. Walau masih menggunakan teknologi tabung,
penunjukan sasaran sudah dalam 3 (tiga) dimensi (3D ; bearing, range,
altitute). Keunggulan radar ini sudah dapat di gelar ditempat yang
berpindah-pindah (mobile). Penambahan sistem komunikasi ground
to air, sangat memudahkan pengendalian dan pemberian informasi adanya
pesawat asing di sekitarnya. Penyampaian informasi posisi dan pergerakan
lawan yang cepat dan akurat sangat membantu para penerbang melaksanakan
misinya.
Memasuki era 90-an dan 2000, penambahan sista radar jatuh pada
pilihan Plessey Commander, yaitu AR-325 dan AR-327, yang di gelar di
Kosek II. Radar-radar ini merupakan generasi lanjutan dari Radar Plessey
terdahulu. Dengan menggunakan teknologi layar datar dan TID (Touch
Input Devices), penampilan console terlihat lebih simple. Pembangunan
MROC (Multi Role Operation Centre) ada dalam satu paket dengan Radar
Plessey generasi tersebut. Diharapkan MROC mampu berfungsi sebagai
pengganti SOC (Posek), apabila terjadi hal-hal yang tidak di inginkan.
Pada era 2000-an penggelaran radar lebih memilih jenis Master T untuk
melengkapi kesiapan radar di tanah air dalam rangka memperkuat sistem
pertahanan udara dan menutup seluruh wilayah udara NKRI.
Popunas
Untuk dapat mengcover seluruh wilayah udara nasional memerlukan dana
yang tidak kecil maka dibangunlah beberapa MCC (Military and Civil
Coordination) yang berfungsi untuk mengintegrsikan Radar-Radar Hanud
dengan Radar sipil. Dalam hal ini peranan TDAS (Trasmission Data Air
Situation) juga sangat membantu proses integrasi tersebut. Dengan adanya
TDAS ini situasi wilayah udara dapat di kirim ke Posek (Pusat Operasi
Sektor) dan Popunas (Pusat Operasi Pertahanan Udara Nasional) secara
real time. Sistem Komando Kendali Komputerisasi dan Informasi atau K3I,
dibangun dan dikembangkan dengan sistem SBM.
Bicara soal Popunas, perannya bisa diibaratkan sebagai ‘jantung’ dari
aktivitas monitoring Kohanudnas. Popunas merupakan obyek vital yang
ditempatkan di area Lanud Halim Perdanakusumah, Jakarta. Selain punya
home base, Popunas juga punya kepanjangan mata, keberadaan C-MOV (Central Monitoring and Observation Vehicle)
yang dilengkapi sistem transmission data air situation (TDAS). Perannya
seperti miniatur Popunas, namum C-MOV punya keunggulan dalam mobilitas,
pasalnya C-MOV dibangun dalam platform mini truk Mercedes Benz MB800.
Radar TRS-2215 dan TRS-2230
Kembali ke judul tulisan ini, dari beragam jenis radar yang dimiliki
Satuan Radar (Satrad) TNI AU, radar kekuaran Thomson CSF ini mungkin
yang populasinya paling banyak saat ini. Jenis radar buatan Perancis ini
ada tiga varian yang digunakan TNI AU, yaitu Thomson TRS-2215 R
digunakan mulai tahun 1981 dan dtempatkan di Ranai, Kupang, Dumai, dan
Lhokseumawe. Lalu ada Thomson TRS-2215 D mulai digunakan tahun 1986,
ditempatkan di Cibalimbing, Sabang, dan Sibolga. Kemudian ada Thomson
TRS-2230, mulai digunakan tahun 1987, ditempatkan di Tanjungkait. Situs
armyrecognition.com menyebutkan, TNI AU memiliki 2 unit radar Thomson
TRS-2215 dan 12 unit radar Thomson TRS-2230.
Radar Thomson CSF berfungsi sebagai radar Early Warning (deteksi dini) dan Radar GCI (Ground Control Intercept),
dengan kemampuan 3 Dimensi, menggantikan radar lama Nysa buatan
Polandia yang berkemampuan hanya 2 Dimensi. Radar Thomson pada awalnya
digelar di Pangkalan TNI AU Iswahjudi Madiun yang dikenal sebagai home base
pesawat tempur TNI AU, disamping itu radar Thomson juga difungsikan
sebagai radar tempat pendidikan untuk melatih dan membina para Perwira
GCI Controller, pendidikan bagi Bintara serta Tamtama operator radar di
jajaran Kohanudnas.
Pada umumnya untuk radar-radar lama mampu menangkap sasaran sejauh
120 NM. Namun hasil penangkapannya masih berupa informasi plot dalam
bentuk RAW video yang sangat sederhana, deteksi lebih diutamakan pada
arah datangnya ancaman saja. Pengukuran jarak dan ketinggian belum
tersedia, dan dilaksanakan secara manual. Sementara kemampuan
radar-radar baru dapat menangkap sasaran sampai 240 NM (SSR) dan 180 NM
sampai dengan 250 NM (PSR tergantung mode yang dioperasikan), sudah
menyajikan pengolahan sasaran dalam bentuk sintetic yang dilengkapi
dengan bearing, range dan altitude secara otomatis. Penyediaan sarana
untuk melaksanakan self maintenance, penyediaan BITE (Built In Test
Equipment), random mode operational dan sarana gahwanika mulai
dilengkapi.
Dengan adanya teknologi komputer dalam sistem radar, maka hampir
seluruh radar generasi tahun 80-an ke atas sudah dapat diintegrasikan ke
Popunas dengan menggunakan jaringan SBM/K3I dan VPNI.
Beroperasi 18 Jam Sehari
Bagaimana dengan kesiapan operasional sistem radar? Apakah radar
beroperasi terus menerus dalam 24 jam? Dikutip dari Laporan Kunjungan
Kerja Komisi I DPR RI Ke Propinsi Banten Tahun 2011 (11 April 2011),
disebutkan Satuan Radar (Satrad) 211 di Tanjungkait hanya
mengoperasikan radar selama 18 jam dalam sehari. Satrad 211 menggunakan
Radar Thomson TRS 2230D, sebuah radar fixed 3 dimensi yang menampilkan
data range, bearing/azimuth, altitude, speed, heading dan IFF. Jarak
jangkaunya max 240 NM.
Kemampuan Mobile
Bila radar TRS-2230D sifatnya adalah fixed, sebaliknya radar TRS-2215
punya kemampuan mobile. Platform radar TRS-2215 dirancang menggunakan
sistem towed, artinya struktur radar yang dilengkapi roda dapat ditarik
menggunakan truk. Dalam gelar operasinya, TRS-2215 dapat dipindahkan
lewat media kereta api, atau bisa dimuat dalam ruang kargo pesawat
angkut sekelas C-130 Hercules. Secara teori, radar ini dapat disiapkan
dalam tempo kurang dari 1 jam, tentunya dengan awak yang sudah terlatih.
Karena sifatnya yang mobile, beberapa kali sista ini diikut sertakan
dalam latihan tempur Angkasa Yudha.
Selain Indonesia dan Perancis, radar TRS-2215 dan TRS-2230 juga
dioperasikan oleh Siprus, Brazil, India, dan Tunisia. Meski soal akurasi
masih harus diuji, mengutip informasi dari situs pakdef.org, radar TRS
dengan E/F-band (2 to 4 GHz) fixed or mobile 3-D ini punya kemampuan :
- Max Jangkauan Deteksi : 510 km
- Max Ketinggian Deteksi : 30.500 meter
- Data renewal rate : 10 detik
- Elevation coverage: -3 to +30°
- Antena TRS-2215
- Dimensi : 5 m span x 5.5 m high
- Aperture : 1.5° azimuth; 1.3-3.6° elevation
- Gain: 38.5 dB
- Beamwidths (3dB): 1.5° (azimuth); 2-4° (elevation)
- Antena TRS 2230
- Gain: 40 dB
- Beamwidths (3 dB): 1.5° (azimuth); 1.3-3.6° (elevation)
- Polarisation: circular, fixed
- Rotation speed: 6 rpm
(Gilang Perdana/Dikutip dari berbagai sumber)
No comments:
Post a Comment