Putra sulung mantan Presiden RI ke-3 BJ Habibie, Ilham Akbar Habibie mengaku lebih tertarik mengembangkan pesawat angkutan massal (komersial) ketimbang pesawat tempur.
Menurutnya, pesawat angkutan massal secara bisnis lebih menguntungkan. “Jelas (pesawat tempur secara bisnis) tidak terlalu menguntungkan,” ujar Ilham Akbar Habibie, Presiden Director PT. Ilthabi Rekatama yang juga tengah merintis pesawat terbang baling-baling, Regio Prop kepada Okezone di kantornya di kawasan Mega Kuningan Jakarta.
Ia mencontohkan, ketika masih bekerja di PTDI (PT Dirgantara Indonesia). Waktu itu PTDI masih fokus pada satu produk pesawat terbang, yakni pesawat tempur. “Itu dilemanya PTDI, mereka punya produk, mereka bisa secara leluasa jual kemana-mana, namun pasarnya terlalu merugikan,” tuturnya.
Karena, menurut Ilham, bila ia terlibat dalam shopping list di angkatan udara, maka shoping list terkait pesawat udara angkutan militer adalah prioritas yang paling rendah. “Dulu, yang lebih disukai itu pesawat tempur, pesawat pengintai dan sebagainya,” tambahnya.
Apalagi, yang namanya pesawat terbang dapat terbang boleh dikatakan selamanya, dengan catatan, apabila dirawat dengan baik. Dengan baik berarti setiap kali ada retakan atau komponen rusak atau salah, itu perlu digantikan. Sehingga, dengan penggantian komponen ini, meskipun relatif kecil, namun bisa mencegah terjadi kecelakaan atau yang membahayakan pesawat.
Kerusakan pesawat itu terkait intensitas pemakaian pesawat. “Jadi, untuk airlines yang bisa 8 kali take off dan landing per hari, tentu kerusakan lebih cepat. Namun untuk pesawat angkutan militer, belum tentu dia setiap hari terbang, yaitu bila ada misi saja,” tuturnya
Putra sulung BJ Habibie itu mengatakan, pesawat tempur bisa diganti bukan karena rusak. Akan tetapi, perlu upgrade, karena bila lawan punya armada yang lebih canggih, maka dia bisa mengalami kekalahan. Sedangkan pesawat angkut militer, itu hanya untuk mengangkut tentara misalnya, pesawat ini tidak dibuat untuk memenangkan perang, tetapi pesawat ini mendukung untuk yang menang perang.
“Oleh karena itu, pasar transport militer/pesawat tempur menurut saya kurang bagus menjadi andalan. Makanya, waktu itu di PTDI atau masih IPTN, kita buat N-250, karena kita sudah tahu, kalau IPTN hanya produksi pesawat tempur saja, (maka ini akan) mati, tidak bisa. (Ketika itu), hanya satu produknya, maka kita harus buat yang kedua, tetapi akhirnya tidak jadi. Ini hal yang dilematis,” sesalnya.
Dukungan Pemerintah
Menurutnya, pesawat angkutan massal secara bisnis lebih menguntungkan. “Jelas (pesawat tempur secara bisnis) tidak terlalu menguntungkan,” ujar Ilham Akbar Habibie, Presiden Director PT. Ilthabi Rekatama yang juga tengah merintis pesawat terbang baling-baling, Regio Prop kepada Okezone di kantornya di kawasan Mega Kuningan Jakarta.
Ia mencontohkan, ketika masih bekerja di PTDI (PT Dirgantara Indonesia). Waktu itu PTDI masih fokus pada satu produk pesawat terbang, yakni pesawat tempur. “Itu dilemanya PTDI, mereka punya produk, mereka bisa secara leluasa jual kemana-mana, namun pasarnya terlalu merugikan,” tuturnya.
Karena, menurut Ilham, bila ia terlibat dalam shopping list di angkatan udara, maka shoping list terkait pesawat udara angkutan militer adalah prioritas yang paling rendah. “Dulu, yang lebih disukai itu pesawat tempur, pesawat pengintai dan sebagainya,” tambahnya.
Apalagi, yang namanya pesawat terbang dapat terbang boleh dikatakan selamanya, dengan catatan, apabila dirawat dengan baik. Dengan baik berarti setiap kali ada retakan atau komponen rusak atau salah, itu perlu digantikan. Sehingga, dengan penggantian komponen ini, meskipun relatif kecil, namun bisa mencegah terjadi kecelakaan atau yang membahayakan pesawat.
Kerusakan pesawat itu terkait intensitas pemakaian pesawat. “Jadi, untuk airlines yang bisa 8 kali take off dan landing per hari, tentu kerusakan lebih cepat. Namun untuk pesawat angkutan militer, belum tentu dia setiap hari terbang, yaitu bila ada misi saja,” tuturnya
Putra sulung BJ Habibie itu mengatakan, pesawat tempur bisa diganti bukan karena rusak. Akan tetapi, perlu upgrade, karena bila lawan punya armada yang lebih canggih, maka dia bisa mengalami kekalahan. Sedangkan pesawat angkut militer, itu hanya untuk mengangkut tentara misalnya, pesawat ini tidak dibuat untuk memenangkan perang, tetapi pesawat ini mendukung untuk yang menang perang.
“Oleh karena itu, pasar transport militer/pesawat tempur menurut saya kurang bagus menjadi andalan. Makanya, waktu itu di PTDI atau masih IPTN, kita buat N-250, karena kita sudah tahu, kalau IPTN hanya produksi pesawat tempur saja, (maka ini akan) mati, tidak bisa. (Ketika itu), hanya satu produknya, maka kita harus buat yang kedua, tetapi akhirnya tidak jadi. Ini hal yang dilematis,” sesalnya.
Dukungan Pemerintah
Ilham mengatakan, dalam hal ini dirinya berharap bahwa pemerintah bisa mendukung proyek pengembangan pesawat Regio Prop, yang merupakan pengembangan dari pesawat terbang N-250.
“Kami juga bermaksud untuk kerjasama, dalam arti kata bekerjasama dengan PTDI (Dirgantara Indonesia). Kami sudah berkali-kali diskusi dengan teman di sana, juga dengan BUMN,” terangnya.
Akan tetapi, Ilham mengungkapkan bahwa saat ini, tampaknya pemerintah sudah cukup puas di posisi minoritas. “Namun kita tetap kerja, nanti PTDI sebagai mitra,” tambahnya.
Lebih lanjut Ilham menjelaskan, saat ini pengembangan Regio Prop masih ditahap konseptual. “Kami swasta, dalam fase ini kita tidak harus dapat dukungan pemerintah. Kalau kita sudah punya produk, (barulah) kita mulai bicara dengan mereka,” tegasnya.
Dirinya berharap, ke depan dapat bekerjasama dengan baik dengan pemerintah. Meskipun demikian, saati ini atau fase konseptual ini, pihaknya belum merasa perlu untuk berkoordninasi dengan pihak pemerintah.
“Karena ini uang kita sendiri, kita tidak meminta uang ke pemerintah. Untuk koordinasi lebih ke dukungan dari PTDI, apakah mereka punya kapasitas untuk mmbuat pesawat, insinyur dan sebagainya,” tutupnya.
Sumber : Okezone
No comments:
Post a Comment