Angka penjualan senjata PT PINDAD tahun ini diperkirakan mencapai
Rp1,7 triliun, naik sekitar 40% dari penjualan tahun sebelumnya.
Penjualan ditopang oleh permintaan senjata standar TNI,
termasuk senapan jenis V4 yang memenangkan lomba menembak prajurit
tingkat ASEAN dan Australia, serta kendaraan terbaru Panser Anoa.
“Sampai akhir tahun ini kita terus bekerja mengejar
target pesanan baik untuk TNI maupun pesanan negara lain,” kata Adik
Sudarsono, Direktur Utama PT Pindad.
Adik mengatakan untuk kawasan ASEAN dan Asia Timur,
senjata organik dan amunisi asal Indonesia terkenal murah dengan
kualitas standar NATO yang memadai, karena itu permintaan rutin sudah
berjalan belasan tahun.
Sementara untuk Anoa, setelah dipakai pasukan penegak
perdamaian Indonesia yang bergabung dengan Misi PBB untuk perdamaian di
Libanon (Unifil), kini juga semakin diminati.
"Daripada beli ke Eropa yang mahal, ongkos transpornya
juga tinggi, negara-negara itu pikir kenapa tidak ke Indonesia saja,”
tambahnya.
Malaysia, Timor Leste, negara Timur Tengah dan Asia Timur
(Adik menolak menyebut namanya) termasuk jajaran sejumlah pemesan Anoa,
yang dalam kondisi standard dijual paling murah Rp7-8 miliar.
“Tergantung nanti mau diisi apa, tambah radar, senjata sniper atau lain-lainnya ya bisa sampai Rp12 (miliar)an,” jelas Adik.
Produk serupa dari Eropa menurut Adik bisa bernilai 2-3
kali lipatnya, sementara meski harga dibandrol lebih miring, kualitas
Pindad menurutnya sudah lebih dipercaya.
"Malah kita didatangi pembeli (dari) ASEAN, dia balik ke
kita karena ambil kendaraan dari negara lain ternyata kualitasnya lebih
jelek. Dia bilang oke kita minta kendaraan you, tapi turunin dong
harganya,” kata Adik sambil tertawa.
‘Inefisiensi’
Upaya menggenjot produksi dan mendongkrak keuntungan tidak berjalan mudah dalam industri senjata perusahaan asal Bandung ini.
Alasan utama adalah bahan baku yang separuh hingga 90%nya masih tergantung dari impor.
Sebuah peluru kaliber 21mm yang berukuran seujung jari
kelingking dan dijual hanya Rp2100, kata Adik Sudarsono, kandungannya
hanya 10% dari dalam negeri.
“Bahan baku utama kita baja, ini belum bisa dipasok
industri dalam negeri. Untuk peluru mata bornya juga impor, mesin
kendaraan impor dari Eropa, dan seterusnya.”
Celakanya, industri senjata adalah isu sensitif dalam perdagangan luar negeri.
“Kalau ekspor-impor baja itu biasa, tetapi kalau yang
beli Pindad itu bisa jadi masalah karena untuk dibuat senjata,” tegas
Adik.
Impor bisa terganggu bahkan gagal kalau parlemen negara
pengekspor merasa Indonesia tak layak mendapat bahan baku untuk produksi
senjata dengan alasan senjata itu bisa dipakai untuk melanggar HAM.
Akibat kendala semacam ini, tenggat produksi Pindad bisa
terganggu. Kendala lain menurut Adik datang dari konsumen, dalam hal ini
pembeli terbesar, TNI.
“Padahal hubungan kita sudah 30 tahun, tetapi tetap saja collection period 81 hari. Ini kan terlalu lama dan kita kena beban bunga dan biaya penyimpanan,” keluhnya.
Dengan birokrasi pembayaran TNI tersebut, Pindad baru
dapat menerima pembayaran 81 hari setelah barang diterima. Meski mengaku
memahami birokrasi yang tak terelakkan itu, menurut Adik aturan ini
selayaknya diperbaiki.
“Apa tidak bisa diperpendek ya? Kan buat TNI juga lebih
baik karena anggaran menjadi lebih cepat diserapnya, sementara buat kita
juga lebih enak karena dana bisa diputar kembali dan beban bunga
berkurang.”
Persoalan lain yang juga dianggap mengganggu kinerja Pindad, justru datang dari bengkel pabrik sendiri.
Adik Sudarsono mengakui, "Produktivitas karyawan kami
masih seperenam sampai seperempat dari produktivitas pekerja di pabrik
senjata serupa di Eropa."
Manajemen menurutnya sudah berkali-kali mengkampanyekan perbaikan kinerja, namun hasilnya dirasakan belum maksimal.
"Tidak mudah ya karena ini corporate culture,
kita selalu tekankan (pada karyawan) mau kerja apa mau ngerokok, kalau
sambil tunggu mesin ya bisa sambil ngelap,” kata pemimpin Pindad sejak
tahun 2007 ini.
Target PT Pindad untuk 2013
Produk terbaru yang pengerjaannya kini sedang dituntaskan
Pindad adalah kendaraan tempur tipe Komodo, yang hingga bulan lalu enam
unitnya telah dibuat untuk pasukan elit TNI, Kopassus dan pasukan
polisi, Brimob.
Kendaraan spesialis tempur ini diklaim handal untuk
lokasi terjal, miring atau bergunung-gunung, mengangkut hingga 10
penumpang dan bisa dilengkapi asesori mistral (anti serangan udara).
Produk lain yang pemuatannya ditargetkan dimulai akhir
tahun depan adalah motor listrik, yang rencananya akan dilempar ke pasar
lokal memenuhi keinginan pemerintah untuk menciptakan kendaraan
nir-BBM.
Dengan berbagai rencana ini, ditargetkan angka penjualan maupun laba usaha juga naik pesat.
“Ya muda-mudahan bisa menjadi diatas Rp. 2 triliun untuk
sales-nya, sementara keuntungan bisa lah sampai Rp100 miliar,” kata
Dirut Pindad Adik Sudarsono optimistis.
Dalam jangka panjang, Pindad juga masih dibebani target
untuk mengejar ketinggalan terhadap penciptaan alat tempur yang lebih
canggih.
"Kemampuan kita saya rasa kan baru 30% (memasok senjata) pada TNI, masih banyak yang kita belum mampu," tambahnya.
Yang sedang dalam target antara lain membuat purwarupa (prototype) tank kelas medium berat 20 ton yang diharapkan rampung pada 2014.
“Yang jelas 2013 dan selanjutnya kita akan sangat sibuk karena berlakunya UU Industri senjata nasional,” jelas Adik.
UU ini mewajibkan seluruh penyediaan senjata TNI dari produksi dalam negeri jika sudah dikuasai teknologi dan produksinya.
Sumber : Tribunnews
No comments:
Post a Comment