by Lundy Orlando
Seperti yang sudah kita ketahui bersama, Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang terhimpit diantara dua samudra dan dua benua dengan luas total 1,904,569 km2 yang memiliki komposisi luas daratan 1,811,569 km2 dan luas perairan 93,000 km2[1]. Dengan daerah seluas itu dan kondisi geografis pulau yang terpisah-pisah dengan laut, tentunya kedaulatan Indonesia terutama kedaulatan atas ruang udara menjadi sangat rentan terhadap ancaman-ancaman dari luar. Banyak sekali pelanggaran terhadap kedaulatan kita atas ruang udara yang merupakan wilayah blank spot terjadi. Di sini penulis tertarik untuk membahas ancaman udara yang sangat mungkin mengganggu kedaulatan negara kita dan seperti yang sudah kita ketahui bersama kedaulatan penuh atas ruang udara tidak hanya berasal dari jumlah dan kualitas pesawat tempur, jumlah dan kualitas radar, tetapi juga Surface to Air Missile (Rudal Permukaan-Udara) sebagai pertahanan udara di permukaan. Dulu pada jaman Perang Dunia ke II, dimana ilmu pengetahuan tentang computer embedded, sensor, dan rudal belum benar-benar matang, ada istilah “The bomber will always get through” yang berarti pesawat pembom pada masa itu selalu berhasil menembus pertahanan kota dan melakukan pengeboman oleh sebab itu pertahanan terbaik pada masa itu adalah dengan menyerang pangkalan militer lawan sebelum pesawat pembom menyerang kota. Setelah Perang Dunia ke II ilmu pengetahuan akan radar, computer embedded, rudal dan sensor yang berkembang pesat menyebabkan lahirnya rudal pertahanan udara / meriam pertahanan udara yang berpemandu radar menyebabkan kecilnya kemungkinan pesawat pembom dapat mencapai target mereka. Inilah masa dimana rudal pertahanan udara mulai memegang peranan yang sangat penting dalam menjaga ruang udara dari ancaman seperti pesawat pengebom strategis. Taktik peperangan-pun berubah dimana pada saat perang dingin, pesawat pembom tidak lagi dijadikan sebagai andalan serangan melainkan rudal balistik dengan hulu ledak nuklir.
“To have command of the air means to be able to cut an enemy’s army and navy off from their bases of operation and nullify their chances of winning the war.” — General Giulio Douhet
Seperti yang sudah kita ketahui bersama, Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang terhimpit diantara dua samudra dan dua benua dengan luas total 1,904,569 km2 yang memiliki komposisi luas daratan 1,811,569 km2 dan luas perairan 93,000 km2[1]. Dengan daerah seluas itu dan kondisi geografis pulau yang terpisah-pisah dengan laut, tentunya kedaulatan Indonesia terutama kedaulatan atas ruang udara menjadi sangat rentan terhadap ancaman-ancaman dari luar. Banyak sekali pelanggaran terhadap kedaulatan kita atas ruang udara yang merupakan wilayah blank spot terjadi. Di sini penulis tertarik untuk membahas ancaman udara yang sangat mungkin mengganggu kedaulatan negara kita dan seperti yang sudah kita ketahui bersama kedaulatan penuh atas ruang udara tidak hanya berasal dari jumlah dan kualitas pesawat tempur, jumlah dan kualitas radar, tetapi juga Surface to Air Missile (Rudal Permukaan-Udara) sebagai pertahanan udara di permukaan. Dulu pada jaman Perang Dunia ke II, dimana ilmu pengetahuan tentang computer embedded, sensor, dan rudal belum benar-benar matang, ada istilah “The bomber will always get through” yang berarti pesawat pembom pada masa itu selalu berhasil menembus pertahanan kota dan melakukan pengeboman oleh sebab itu pertahanan terbaik pada masa itu adalah dengan menyerang pangkalan militer lawan sebelum pesawat pembom menyerang kota. Setelah Perang Dunia ke II ilmu pengetahuan akan radar, computer embedded, rudal dan sensor yang berkembang pesat menyebabkan lahirnya rudal pertahanan udara / meriam pertahanan udara yang berpemandu radar menyebabkan kecilnya kemungkinan pesawat pembom dapat mencapai target mereka. Inilah masa dimana rudal pertahanan udara mulai memegang peranan yang sangat penting dalam menjaga ruang udara dari ancaman seperti pesawat pengebom strategis. Taktik peperangan-pun berubah dimana pada saat perang dingin, pesawat pembom tidak lagi dijadikan sebagai andalan serangan melainkan rudal balistik dengan hulu ledak nuklir.
Pada jaman keemasannya dulu di tahun 1960-an, TNI pernah memiliki rudal pertahanan jarak menengah S-75 Dvina (SA-2 Guideline) yang menjadi salah satu andalan dalam pertahanan udara TNI dan bahkan sempat mendeteksi sebuah pesawat high altitude surveillance U2 Amerika Serikat yang terbang di langit Jakarta tetapi sejak terjadinya pemberontakan PKI yang berakhir pada renggangnya hubungan Indonesia dengan Soviet saat itu maka S-75 menjadi tidak aktif dan hingga saat ini tidak ada lagi rudal pertahanan udara jarak menengah ataupun jauh dalam sistem pertahanan udara Indonesia. Sekarang, rudal pertahanan udara Indonesia hanyalah berupa SHORAD / VSHORAD (Very Short / Short Range Air Defense) berbentuk MANPADS (Man Portable Air Defense System) seperti QW-3, RBS-70, Igla, ataupun yang mounted di KRI seperti Mistral Simbad, Sea Cat dan Strella yang berarti bentuk penggelaran pertahanan kita masih berupa point defense (pertahanan titik) bukan areal defense (pertahanan area). Point defense sendiri adalah pertahanan terhadap suatu objek atau area terbatas seperti kapal, bangunan, bandara dan objek vital lain dari ancaman yang biasanya berasal udara dan senjata point defense cenderung memiliki jarak jangkau yang terbatas. Tidak seperti areal defense yang lebih luas area cakupannya daripada point defense dan dapat membersihkan ruang udara dari ancaman-ancaman udara.
Adapun keadaan Asia Timur dan Asia Tenggara yang memanas seperti permasalahan garis perbatasan negara di LCS (Laut Cina Selatan) yang masih tak tentu antara Cina, Filipina, Malaysia dan tidak menutup kemungkinan Indonesia, uji rudal balistik jarak jauh Unha-3 dan kondisi perang terhadap Korea Selatan dan NATO oleh Korea Utara, menegangnya konflik kepemilikan di pulau Diayou/Senkaku oleh Cina dan Jepang, adanya rencana pembangunan pangkalan militer Amerika Serikat di Darwin, dan adanya arms race pada negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Semua ancaman ini walau merupakan ancaman tidak langsung tetapi tetaplah merupakan suatu ancaman bagi Indonesia yang disebabkan posisi Indonesia yang terjebak antara negara-negara yang memiliki kepentingan di kawasan Asia Timur dan Tenggara. Tentunya hal ini harusnya bisa menyadarkan kita semua bahwa tidak aja jaminan bahwa Indonesia bebas perang. Apalagi Indonesia tidak memihak pihak manapun yang mau tidak mau menuntut Indonesia harus mandiri dalam membela kedaulatan atas wilayahnya.
Negara-negara tetangga Indonesia sendiri seperti Singapura, Malaysia dan Australia dalam menghadapi keadaan di Asia Timur dan Tenggara yang tidak tentu sudah memiliki solusi pertahanan udara yang sesuai dengan kebutuhan mereka masing-masing seperti Singapura dengan SPYDER dan Aster yang di letakkan pada formidable class frigate mereka[2], Malaysia dengan Jernas, dan Australia dengan Rapier 2000-nya. Indonesia sebagai negara yang besar sudah seharusnya memiliki solusi pertahanan udara jarak jauh yang cocok dengan kondisi geografis Indonesia untuk menjaga kedaulatan yang penuh terhadap wilayahnya.
SAM SPYDER Singapura |
Keunggulan dari rudal pertahanan udara jarak jauh adalah keefektifannya dalam menjaga ruang udara agar bersih dari ancaman apapun. Keefektifannya sendiri terletak pada waktu siap tempur yang relatif lebih singkat daripada mencegat ancaman dengan menggunakan pesawat tempur yaitu 5 menit dan ±10 detik untuk akusisi sasaran (S-300)[3]. Bandingkan dengan menggunakan pesawat tempur sebagai pencegat (Untuk pesawat pencegat penulis memakai pesawat tempur Sukhoi Su 27/30 sebagai bahan perbandingan) sukhoi selalu siap mencegat ancaman dari Hasanuddin dalam waktu 5 menit tetapi butuh waktu puluhan menit untuk mencapai target/ancaman yang berada ratusan kilometer. Memang perbandingan ini tidak apple-to-apple sebab rudal pertahanan jarak jauh dan pesawat tempur memiliki peranan yang berbeda dan memang dirancang untuk saling co-exist bukannya saling menggantikan peran. Selain itu, efek deterrence dari rudal pertahanan jarak jauh oleh Indonesia akan membuat para pelaku black flight di wilayah blank spot takut untuk memasuki wilayah udara Indonesia tanpa ijin. Keunggulan lain dari rudal pertahanan jarak jauh sendiri adalah kemampuannya sebagai anti rudal balistik[4]. Suatu hal yang sangat sulit tapi tidak mustahil dilakukan oleh pesawat pencegat (interceptor). Sejauh ini baru F-16 Amerika Serikat dengan program NCADE saja yang mengembangkan kemampuan ini dan program NCADE sendiri hanya dipakai oleh Amerika Serikat[5]. Keefektifan rudal pertahanan udara jarak jauh yang tinggi terutama dalam areal defense menyebabkan rudal pertahanan jarak jauh menjadi satu-satunya sistem yang feasible sebagai anti rudal balistik apalagi Indonesia dihadapkan pada kenyataan dimana Korea Utara dapat mengirimkan rudal balistiknya hingga ke Darwin (Australia) mau tidak mau memaksa Indonesia untuk dapat mengintercept rudal-rudal balistik Korea Utara itu jika suatu saat benar-benar melintasi ruang udara kita.
Jernas Malaysia |
Oleh karena itu, sebuah sistem rudal pertahanan udara jarak jauh yang memiliki kapabilitas anti rudal balistik dan sanggup menyediakan areal defense haruslah menjadi sebuah kewajiban untuk merealisasikan Indonesia yang berdaulat penuh atas ruang udaranya.
Referensi:
[1] https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/id.html accessed 11/06/13
[2] http://www.naval-technology.com/news/news91328.html accessed 11/06/13 http://www.globes.co.il/serveen/globes/docview.asp?did=1000314562 accessed 11/06/13
[3] http://www.strategycenter.net/research/pubID.93/pub_detail.asp accessed 11/06/13
[4] www.dtig.org/docs/SA-12.pdf Ochsenbein, Adrian “Das Boden-Luft Lenkwaffenssystem SA-12/23 GLADIATOR/GIANT”
No comments:
Post a Comment