Menatap sedikit ke masa tahun 60-an, saat Armada TNI AL (d/h ALRI) menjadi yang terkuat di belahan Asia Selatan, banyak alutsista kala itu yang punya kesan mendalam keberadaannya hingga kini, sebut saja seperti penjelajah KRI Irian, kapal tender kapal selam KRI Ratulangi, 12 kapal selam kelas Whiskey, armada perusak kelas Skoryy, dan armada frigat kelas Riga. Itu semua adalah kapal perang dengan tonase yang relatif besar, lalu bagaimana dengan keberadaan satuan kapal cepat?
Nyatanya di Era Bung Karno, TNI AL juga tak ketinggalan di segmen kapal cepat (fast attack craft). Yang paling populer dan terkenal dalam sejarah sudah pasti delapan unit MTB (Motor Torpedo Boat) kelas Jaguar buatan Jerman Barat. Jenis kapal inilah yang terlibat dalam pertempuran di Laut Arafuru dengan berakhir kandasnya KRI Matjan Tutul (602). Seperti telah banyak dibahas, saat itu TNI AL juga punya kapal cepat lain yang sosoknya lebih sangar, yakni kapal cepat kelas Komar.
Komar yang berarti ‘nyamuk’ mendandakan sosok kapal cepat ini yang lincah dan ringan. Komar masuk dalam kelompok fast attack craft dengan kemampuan missile boat. Dan uniknya, di kapal dengan bobot ‘hanya’ 80 ton inilah pertama kalinya armada TNI AL mengenal arti rudal anti kapal (ASM/anti ship missile). Merujuk informasi dari Wikipedia, dalam menyongsong operasi Trikora, TNI AL menerima 12 kapal kelas Komar. Setengahnya mulai dioperasikan antara tahun 1961 - 1963. Kemudian pada September 1964 datang tambahan kapal sejenis. Lalu di tahun 1965 ada dua Komar yang masuk jajaran KCR (Kapal Cepat Rudal).
Kedua belas kapal kelas komar tersebut diberi label KRI Kelaplintah (601), KRI Kalmisani (602), KRI Sarpawasesa (603), KRI Sarpamina (604), KRI Pulanggeni (605), KRI Kalanada (606), KRI Hardadedali (607), KRI Sarotama (608), KRI Ratjabala (609), KRI Tritusta (610), KRI Nagapasa (611), dan KRI Gwawidjaja (612). Setiap kapal dapat membawa dua peluncur rudal SS-N-2 Styx dan kanon penangkis serangan udara tipe 2M3 25mm Twin.
Dari beberapa informasi, kapal cepat kelas Komar ternyata masih dioperasikan TNI AL hingga tahun 1978. Sebuah usia yang lumayan panjang untuk kelas kapal dari Uni Soviet, mengingat beberapa alutsista sejawat asal Uni Soviet sudah keburu di grounded akibat embargo suku cadang. Bahkan informasi dari Janes’s Fighting Ship (1983 – 1984) menyebutkan Komar baru dipensiunkan TNI AL pada tahun 1985. Meski Komar bisa digunakan terus sampai 1985, kemungkinan lewat kanibalisasi suku cadang, jelas harus dipertanyakan tentang fungsi dan operasional rudal Styx, mengingat rudal meski hanya dalam kondisi standby tetap memerlukan pemeliharan dan update suku cadang.
Besar kemungkinan Komar hingga akhir “hayatnya” tetap digunakan sebagai kapal patroli, pasalnya Komar masih sedikit bergigi dengan kanon kembar anti pesawat kaliber 25mm di haluan. Sebagai kenang-kenangan kejayaan masa lalu, salah satu Styx kini bisa dijumpai sebagai monumen yang menghiasi halaman depan Markas Komando RI Kawasan Barat di Jakarta.
- 2M3 25mm Twin
Besar kemungkinan, kanon 2M3 25mm twin gun yang dipasang untuk KRI Samadikun (341) dan KRI Martadinata (342) berasal dari kanon yang dulunya berada di armada kapal cepat rudal kelas Komar. Bila suku cadang dinilai masih memadai, dan logistik amunisi lumayan banyak, maka wajar bila kanon ini kembali diberdayagunakan.
Seiring waktu berjalan, armada perusak kawal Claude Jones sudah masuk masa kadaluwarsa, dan resmi non aktif dari armada TNI AL di tahun 2005. Dan hebatnya, lagi-lagi kanon 2M3 25mm Twin tidak ikut ‘mati,’ justru kanon buatan Uni Soviet ini punya ‘majikan’ baru, yakni ditempatkan sebagai senjata utama pada kapal cepat kelas Viper armada Satrol (Satuan Patroli) TNI AL. Termasuk dalam kelas Viper adalah KRI Viper (820), KRI Piton (821), KRI Weling (822), KRI Metacora (823), dan KRI Tedung Selar (824). Kelas Viper mempunyai panjang 40 meter, lebar 7,3 meter, berbobot mati 100 ton dan punya kecepatan maksimum 29 knots. Viper class diproduksi oleh Fasharkan (Fasilitas Pemeliharaan dan Perbaikan) TNI AL pada tahun 2006.
Seperti halnya saat ditempatkan di kapal kelas Komar, di kelas Viper, kanon ini kembali ditempatkan pada sisi haluan. Sebelumnya di Claude Jones kanon ini tidak berada di haluan. Secara teori, minimal ada 12 kanon 2M3 25mm di Indonesia, 5 pucuk setidaknya sudah dipasang pada kelas Viper. Lalu dimana sisa unit lainnya?
Ini baru sebatas dugaan dari penulis, kanon 2M2 25mm Twin yang sudah di retrofit tampak dipasang pada haluan KRI Krait (827). KRI Krait adalah kapal patroli dengan panjang 40 meter yang juga dibuat oleh Fasharkan dan diluncurkan pada tahun 2008. Berbeda dengan kapal kelas Viper yang terbuat dari lambung berbahan fiberglass, KRI Krait dibangun dari bahan alumunium.
KRI Krait punya kecepatan maksimum 20 knot dan kecepatan ekonomis 16 knot, ditenagai dua mesin MAN 1250HP. KRI Krait termasuk kapal patroli paling maju yang diproduksi oleh Fasharkan, salah satunya dibekali sistem auto pilot untuk melintasi alur pelayaran yang sempit, sistem elektronik Kapal dilengkapi radar dengan jangkauan 96 Nautical Mil (setara 160 km) dengan sistem navigasi GMDSS Area 3 (jangkauan komunikasi dan radar yang sudah cukup luas). Dan hebatnya, kapal ini dapat dipasangkan platform dua peluncur rudal C-802.
Tidak disebutkan secara spesifik jenis senjata pada haluan KRI Krait, pihak TNI AL hanya menginformasikan kanon 25mm berlaras ganda yang dapat dioperasikan secara otomatis dan manual. Bila dilihat dari desain laras, jenis laras ganda dengan pola vertikal adalah ciri khas 2M3. Manun versi kanon 2M3 yang digunakan di kelas Komar dan Viper hanya dioperasikan secara manual. Kanon 25mm laras ganda di KRI Krait juga dilengkapi kubah, menjadikan pangkal laras berikut kompartemen juru tembak terutup penuh, sekilas mirip dengan kubah pada kanon Bofors 57mm di FPB-57. Bila dibandingkan, versi lawas 2M3 25mm tidak dilengkapi kubah, alhasil awak senjata tidak terlindungi dari ancaman proyektil lawan dan cuaca buruk. Urusan ‘memberi’ cover kubah sebelumnya juga diterapkan TNI AL pada pucuk kanon Bofors 40mm di bagian buritan FBP-57.
Bagaimana dengan kehandalam kanon 2M3 25mm Twin? Kanon ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 1953. Dioperasikan dengan sistem amunisi belt, kanon laras ganda ini terbilang banyak digunakan oleh negara-negara sekutu Soviet. Untuk membidik target, masih dilakukan secara manual dengan dukungan iron ring sight. Kehandalan kanon ini dapat dilihat dari jangkauan tembak permukaan yang bisa mencapai 3.250 meter, dan jarak tembak obyek udara mencapai 2.770 meter. Secara teori, jangkauan tembak maksimum bisa mencapai 3.400 meter. Secara teori, 2M2 25 mm dapat memuntahkan 450 peluru per menit, meski dalam prakteknya hanya 270 peluru per menit.
Berat kanon ini mencapai 1.500 kg, mempunyai sudut elevasi mulai -10 sampai 85 derajat. Untuk urusan amunisi, tersedia jenis AA, AA tracer, AP tracer. Untuk soal daya tahan, umur laras dapat digunakan hingga 12.000 tembakkan, selanjutnya laras harus diganti. Agar tidak panas berlebih, laras mengusung pendingan udara. Lagi-lagi kanon ini diproduksi secara lisensi oleh Cina, dan diberi kode type 61.
Melihat eksistensi dan pengabdian kanon 2M3 yang begitu panjang, maka wajar bila kanon lawas ini masuk kategori sista (sistem senjata) lintas generasi dan jaman. Jenis kapal boleh berganti, tapi untuk senjata yang satu ini nyatanya masih awet digunakan, malahan dilakukan retrofit agar tetap handal digunakan untuk menghdapi tantangan yang dinamis. Adopsi senjata lawas pada kapal patroli baru juga bukan hanya diterapkan pada kelas Viper, kapal patroli kelas Kobra diketahui juga menggunakan kanon lama jenis Oerlikon 20mm sebagai senjata utama di haluan.
No comments:
Post a Comment