Dasar pemikiran strategis dari Pimpinan TNI, khususnya TNI AU serta
Kemenhan untuk memodernisasi daya pukul alutsista TNI AU membawa angin
segar dalam bidang pertahanan Indonesia. Kebutuhan akan Angkatan Udara
yang kuat dan disegani tersebut disetujui oleh Presiden SBY, dan
kemudian mendapat apresiasi dan persetujuan DPR. Sebuah kesadaran dan
kebersamaan yang cerdas dalam mempertahankan kedaulatan bangsa dan
negara. Upaya untuk mencapai kekuatan pokok minimum, MEF (Minimum Essential Force) pertahanan masih menjadi fokus kebijakan pembangunan kekuatan dan kemampuan TNI ke depan.
Setelah melalui jalan panjang, TNI AU mulai dibenahi oleh pimpinan
nasional yang melihat betapa pentingnya peran angkatan udara disebuah
negara. Sebagai contoh, Amerika Serikat memainkan USAF sebagai sarana
pendikte dan mementahkan kekuatan militer Libya, dalam membantu
pemberontakan di Libya terhadap Kolonel Khadafi. Demikian juga operasi
clandestine CIA yang menggunakan pesawat tanpa awak untuk mengejar dan
membunuh tokoh-tokoh Al-Qaeda dinyatakan sukses dengan kertugian sangat
minim.
TNI AU mulai menggunakan keluarga Sukhoi-27 pada tahun 2003 setelah
batalnya kontrak pembelian 12 unit Su-30MKI pada 1996. Kontrak tahun
2003 mencakup pembelian 2 unit Sukhoi-27SK dan 2 unit Sukhoi-30MK
senilai 192 juta dolar AS tanpa paket senjata. Itulah awal kebangkitan
kekuatan udara Indonesia dalam mengimbangi kekuatan udara negara
tetangga.
Disamping itu Indonesia sudah menandatangani kerjasama dengan Korea
Selatan, berpartisipasi membangun pesawat tempur generasi 4,5 KFX/IFX
(Korean-Indonesian Fighter Xperimental), Boramae, yang dalam rencana
awalnya TNI AU akan memiliki sebanyak 50 buah pada tahun 2020. Masa
depan KFX/IFX Boramae menjadi tidak jelas setelah Pemerintah Korea
Selatan menyatakan memotong anggaran proyek tersebut.
Dari sejarah Indonesia menyangkut kelangsungan kehidupan berbangsa dan
bernegara, konflik dan ancaman kedaulatan negara hanya terjadi karena
gesekan dengan negara tetangga. AU Indonesia mulai lebih disegani
setelah acara MAKS 2007 di Moskow, dimana Departemen Pertahanan
mengumumkan kontrak untuk pembelian 3 unit Sukhoi-27SKM dan 3 unit
Sukhoi-30MK2 senilai 350 juta dolar AS. Kini TNI AU sudah memiliki 10
Sukhoi dan akan lengkap menjadi satu skadron pada 2014. Disamping pada
2014 mendatang, TNI AU akan memiliki 34 F-16 setara Block 52 ( 24 F-16
C/D asal dari hibah dan 10 upgrade F-16 TNI AU sepaket dengan hibah
F-16).
Kegundahan Australia
Dalam meninjau ancaman, intelijen udara mengukur dari sisi kekuatan,
kemampuan dan kerawanan baik unsur penyerang maupun unsur pertahanan
musuh ataupun calon musuh. Standar analisa intelijen udara di negara
manapun menggunakan standar yang sama, 3K dan 1N(Niat). Sejak operasi
Trikora pada 1961, Australia walaupun tidak secara langsung menempatkan
Indonesia sebagai ancaman, mengatakan bahwa musuh akan datang dari
Utara. Australia menggelar kekuatannya lebih fokus ke Utara, pengamatan
wilayah dilakukan dengan over the horizon radar, yang mampu memonitor
hingga pulau Jawa dan Kalimantan.
Sejak TNI AU mengikuti latihan bersama Pitch Black 2012, pemerintah
Australia, khususnya RAAF merasakan kegundahan dan keterkejutan, dimana
Su-30 TNI AU ternyata lebih unggul dibandingkan F-18F Super Hornet
hampir disemua lini. Dari hasil latihan tersebut, Australia harus
membuat pilihan, memilih rencana pengadaan 100 unit F-35 Lightning dari
Amerika (joint strike fighter) atau tetap membeli dua skadron 24 F-18 Super Hornet.
The Business Spectator menyatakan, “Indonesia merencanakan akan membeli
180 pesawat tempur Sukhoi dari Rusia/India yaitu PAK-FA T-50 atau
Su-35S. Jadi pertanyaannya lebih baik dipilih F-35 daripada Hornet.
Apabila Indonesia kemudian dimasa depan ikut memperkuat Angkatan
Udaranya dengan Su-35S atau T-50, maka AU Australia akan menjumpai
masalah besar, demikian kesimpulannya.
Siaran pers resmi yang ditulis harian Rossiiskaya Gazeta mengatakan
bahwa T-50 akan menggabungkan fungsi dari peran sebagai pesawat serbu
dan fungsi sebagai jet tempur. Pesawat ini dilengkapi dengan avionik
modern yang mengintegrasikan fungsi elektronik dan array radar.
Perlengkapan baru tersebut akan memberikan kesempatan kepada penerbang
untuk lebih berkonsentrasi dalam melakukan tugas pertempuran.
Para pengamat militer di Australia menyatakan bahwa dalam memegang slogan RAAF (first look, first shoot, first kill’),
para pejabat pertahanan harus berjuang keras mencari jalan keluar
dengan tidak mempertahankan Hornet yang dianggap sudah ketinggalan
jaman. Sukhoi oleh Australia dinilai terlalu hebat.
Lebih jauh analis Bisnis Spectator menyatakan, “Sebagai contoh, JSF
(Joint Srike Fighter) dapat beroperasi secara efektif hanya untuk
ketinggian maksimal sekitar 40.000 kaki (walau masih bisa beroperasi
lebih tinggi tetapi kalah di tingkat yang lebih tinggi). Sebaliknya,
Sukhoi dapat beroperasi pada kapasitas penuh di tingkat yang jauh lebih
tinggi dan dengan kelebihan dan keuntungan, mereka memiliki sistem dan
senjata yang bisa meruntuhkan sebuah JSF Australia sebelum mereka
memiliki kesempatan menerapkan slogannya.” Ditegaskan oleh BS bahwa
tidak ada pertempuran udara yang diperlukan. Pesawat Australia sudah
runtuh sebelum bertempur, karena disergap jauh sebelum dia menyadarinya.
Jalan keluar yang disarankan adalah apabila Australia (RAAF) memiliki
F-22 Raptor atau teknologi Raptor yang diterapkan pada pesawat tempur
pilihan yang dipilih. Yang menjadi masalah, Amerika tidak mengijinkan
F-22 dijual kepada negara lain selain untuk kepentingan pertahanan dalam
negerinya.
Yang menarik, New Australia merekomendasikan Australia justru memilih
Sukhoi seperti yang dilakukan India, mendapatkan lisensi dengan ijin
membangun Sukhoi Australia, baik Sukhoi Flanker Su-35S atau pesawat
Su-32 Fullback. Preferensi saat ini adalah Su-35S. Saat ini Sukhoi
memberikan lisensi pembuatan pesawat tempur di India dan China.
Australia bisa membeli utuh pesawat Sukhoi dan membangun avioniknya, dan
persenjataan lokal. Kini banyak perusahaan di Rusia, Asia, Israel dan
Eropa terlibat dalam pembuatan komponen Sukhoi. Sukhoi adalah ‘open source’, demikian menurut New Asia.
Dalam pemikiran strategis, Australia selain memandang Indonesia sebagai
ancaman, juga menempatkan India sebagai ancaman. Selain itu perkembangan
situasi Hankam di kawasan Laut Pasifik Selatan, menjadi perhatian
Australia dengan kerjasamanya bersama Amerika. Pada pemerintahan Kevin
Ruud Australia berposisi anti India, pada posisi ini menempatkan
Australia terpaksa membeli F-35. Dalam pemerintahan Julian Gillard,
Australia akan mendekati India dan menjadi sekutunya, berpeluang bisa
mendapatkan peluang memiliki T-50. Australia menurut RBTH lebih baik
memiliki Super Flankers yang murah (USD 66 juta/buah) dibandingkan harga
F-35 (USD 238 juta).
Sukhoi dinilai jauh lebih unggul dibandingkan JSF. Su-35 memiliki
jangkauan efektif sekitar 4.000 km dibandingkan dengan hanya 2.200 km
untuk F-35. . Ini berarti JSF membutuhkan dukungan pesawat tanker untuk
menutup ruang (wilayah Australia) yang lebarnya 4.000km. Selain itu,
kecepatan Su-35 adalah Mach 2,4 (hampir dua setengah kali kecepatan
suara), sedangkan F-35 terbatas pada Mach 1.6. Menurut Victor M.
Chepkin, pertama wakil direktur umum NPO Saturn, mesin AL-41f baru akan
memungkinkan jet Rusia untuk supercruise (terbang pada kecepatan supersonik untuk jarak jauh.) Dengan tidak harus beralih ke afterburner.
Dengan demikian, pesawat dapat mengirit bahan bakarnya. Kesimpulannya
baik F-35 maupun F-18 performance-nya berada dibawah Su-35.
Kini Australia menghadapi dilema kegundahan. RAAF terus mengikuti
perkembangan modernisasi TNI AU. Dengan memiliki keluarga Flankers,
maka Indonesia pada masa mendatang bukan tidak mungkin akan bisa
memiliki pesawat tempur Su-35, dan bahkan pesawat tempur T-50 generasi
kelima. T-50 PAK FA jet tempur (Prospective Airborne Complex of Frontline Aviation) kini
sedang mengalami uji engine di Zhukovsky Airfield, Moscow.
Menurut Viktor Bondarev, Commander in Chief Russian Air Force, tes T-50
akan memakan waktu sekitar 2-2,5 tahun, sehingga pada tahun 2015-2016,
T-50 akan sudah dapat di kirim ke AU Rusia.
Berdasarkan beberapa fakta tersebut, nampaknya Australia kini berada
dalam kondisi mengalami kegundahan seperti tahun 1961, dimana Tu-16 AURI
mampu mencapai daratannya tanpa terdeteksi dan tidak dapat
diantisipasi. Dengan memiliki gabungan alutsista tempur udara Timur dan
Barat, Indonesia kini menjadi negara yang disegani negara-negara
tetangganya.
Australia menjadi lebih gundah setelah mengetahui Indonesia tertarik
untuk mendirikan sebuah pusat perawatan bersama untuk pesawat fixed dan rotary wing
Rusia. Victor Komardin, wakil kepala Rosoboronexport, eksportir
peralatan perang Rusia, telah mengumumkan hal tersebut di Air show LIMA
2013 di Malaysia.
Disimpulkan, dengan sudah mengawali kepemilikan keluarga Flankers (Su
27/30), Indonesia (TNI AU) menjadi negara yang sangat diperhitungkan
oleh Australia dan pasti juga oleh tetangga lainnya. Alih teknologi ke
pesawat yang lebih canggih hanyalah soal waktu yang tidak terlalu rumit
dilakukan TNI AU apabila ada pengembangan kekuatan. Australia sangat
khawatir Indonesia berpeluang memiliki Su-35 dan bukan tidak mungkin
dengan ekonominya yang semakin baik, suatu saat Indonesia akan memiliki
pesawat tempur T-50.
Memang sebaiknya intelijen udara berfikir jauh dan strategis,
memperkirakan perkembangan situasi global dan regional dan memberikan
masukan kepada pimpinan yang up to date. Yang terutama harus kita fahami
adalah betapa pentingnya kemampuan TNI AU dengan daya “kepruknya.” Itulah prinsip dasarnya agar kita diperhitungkan. Semoga bermanfaat.
Oleh : Prayitno Ramelan, Air Vice Marshal (Ret), www.ramalanintelijen.net
No comments:
Post a Comment