Penyerangan
LP Cebongan, Sleman, Yogyakarta oleh oknum anggota Kopassus, bukanlah
pelanggaran HAM.Usulan agar para prajurit Kopassus itu dikenakan UU No
26 Tahun 2000 soal HAM disikapi oleh Kementerian Pertahanan dengan
menyatakan tidak sependapat atas usulan tersebut. Karena, tidak ada
kebijakan pimpinan dalam peristiwa penyerangan LP Cebongan itu.
Menurut Menhan Purnomo Ysugiantoro, penyerangan LP Cebongan, bukanlah peristiwa Genosida atau Genosid. Apa itu Genosida? Genosida atau genosid adalah sebuah pembantaian besar-besaran secara sistematis terhadap satu suku bangsa atau kelompok dengan maksud memusnahkan atau membuat punah bangsa tersebut.
Perisitiwa
Cebongan adalah aksi spontanitas dari sebelas anggota Kopassus TNI AD
karena jiwa Korps satuan (Korsa) yang tertanam dalam jiwa prajurit.
Sehingga Kemhan bersikap bahwa tidak perlu dijerat dengan UU Pengadilan
HAM tersebut, karena ini bukan pelanggaran HAM. ”Pelanggaran HAM itu
hanya bisa terjadi kalau itu Genosida, meskipun hanya satu yang
meninggal,” ujar Menhan Purnomo.
Dalam
UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Pasal 7 menyebutkan,
pelanggaran hak asasi manusia yang berat meliputi kejahatan genosida dan
kejahatan terhadap kemanusian. Pasal 8 menyebutkan, kejahatan genosida
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a adalah setiap perbuatan yang
dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh
atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama,
dengan cara membunuh anggota kelompok, mengakibatkan penderitaan fisik
dan mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok, menciptakan
kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara
fisik baik seluruh atau sebagiannya, memaksakan tindakan-tindakan yang
bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok atau memindahkan secara
paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
Pasal
9 mengatakan, kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai
bagian dari serangan yang meluas atau sistematlk yang diketahuinya bahwa
serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil,
berupa pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan
penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan
fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan
pokok hukum intemasional, penyiksaan, perkosaan, perbudakan seksual,
pelacuran secara paksa,pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi
secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasaan seksual lain yang setara,
penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang
didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama,
jenis kelamin atau alasan lain yang telah di,akui secara universal
sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional, penghilangan
orang secara paksa atau kejahatan apartheid.
Sehingga
unsur pentingnya adalah sebagai bagian dari serangan yang meluas atau
sistematik.Ketika unsur tersebut terpenuhi maka termasuk pelanggaran
HAM berat. “Kalau tidak yaa bukan pelanggaran HAM berat atau bisa
dikategorikan sebagai tindak pidana biasa,” ujar Staf Ahli Menhan Bidang
Keamanan Nasional Mayjen TNI Hartind Asrin dalam menanggapi kasus
penyerangan LP Cebongan oleh oknum anggota Kopassus, Kandang Menjangan,
Kartosuro, Solo, Jawa-Tengah.
Letjen
TNI (Purn) Luhut Panjaitan, di sebuah televisi swasta mengungkapkan,
bahwa jiwa korsa-lah yang membuat militer menjadi lebih dari semua
institusi manapun di Indonesia. Kemudian, media jangan hanya memojokkan
pihak TNI dengan meng-expose berita pembunuhan preman. Preman yang
dibunuh, hanya di hukum dua tahun, padahal sudah membunuh, memperkosa
dan melakukan kejahatan bersama.
Luhut
yang merupakan mantan anggota pasukan baret merah itu mengaku, sudah
melihat rekaman CCTV saat kejadian penganiayaan dan pembunuhan di Hugos
Cafe. Ketika itu, prajurit Kopassus sudah menjelaskan bahwa dia adalah
Prajurit Kopassus, tapi bukan menghormati prajurit TNI, malah tambah
banyak preman yang mengeroyok. Kepala prajurit
Kopassus yang sedang menjalankan tugasnya dipukul dengan botol minuman,
setelah roboh, di tusuk lagi dengan pisau, dihajar, ditendang, dan
sudah tidak bergerak (meninggal) masih di-seret-seret mayatnya.
“Saya
saja sangat tidak nyaman, darah saya mendidih,” kata Luhut. Sekarang,
kenapa media tidak mecari sumber CCTV di Hugos Cafe itu, tayangkan dan
kita lihat komentar dari masyarakat luas. Jangan hanya mempermasalahkan
kejadian di LP Cebongan saja.
Luhut
juga mempertanyakan Komnas HAM dan Kontras yang selalu berpikir
negative dengan TNI. “Kenapa sih orang-orang ini (HAM/KONTRAS) hanya
menjelek-jelekkan TNI terus. Apa mereka lebih baik dari TNI? Mereka yang
berkomentar menjelekkan TNI, itu saya tahu dan bisa tunjuk hidung
kelakuannya,” tandas Luhut.
Luhut
mengatakan, mari kita merenung, bahwa sampai detik ini TNI masih
merupakan yang terbaik yang menjadi Garda Bangsa ini karena TNI memiliki
“Jiwa Korsa”. Coba kita lihat Apa sih yang dilakukan para LSM yang
hanya tahu mendiskriminasikan TNI? Pernah tidak LSM-LSM (Kontras dll)
itu turun kepelosok melihat dan merasakan selama bertahun-tahun dan
ber-bulan-bulan meninggalkan sanak-saudara untuk merah putih?
“Ternyata
tidak pernah, nol besar LSM-LSM yang menghujat TNI ternyata banyak
didanai oleh asing. Sehingga LSM ini ingin TNI di obok-obok. Karena bila
TNI hancur akan mudah melakukan Invasi asing ke bumi Indonesia, ini
patut kita jadikan renungan,” ujar Luhut mengingatkan LSM.
Artinya
dari pernyataan para pejabat tersebut diatas, kita semua harus sadar
bahwa kita ada di bumi Indonesia dimana kita harus membela merah putih
(bukan membela preman). Komnas HAM dan Kontras juga harus sadar bahwa
kita ada di Indonesia, jangan mau diatur asing hanya semata-mata karena
materi.
Serahkan
semua kepada Pengadilan Militer.Tidak perlu buang-buang tenaga
meributkan apakah Peradilan Militer atau Peradilan Umum, Pelanggaran HAM
atau bukan? Apakah Amerika tidak melanggar HAM dipenjara Guantanamo?
Jadi, biarkanlah semua berjalan sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Militer (KUHPM). TNI apalagi Kopassus sebagai salah satu pasukan elit
dunia setelah Israel (Mosard)
dan Inggris (M16) harus kita hormati, betapa sakitnya hati mereka
melihat teman mereka diperlakukan tidak manusiawi oleh Preman. Sementara
mereka berlatih berbulan-bulan bertaruh nyawa untuk menegakkan
kedaulatan bangsa kita.
Keberadaan
premanisme tak lepas dari adanya kekuasaan yang melindungi premanisme,
baik itu aparat penegak hukum maupun aparat lainnya. Tidak adanya
ketegasan dari kepolisian dalam memberantas premanisme membuat para
preman tumbuh menjamur menjaga lahan dan menjadi debt collector. Bila
keberadaan para preman masih mendapat perlindungan dari kekuasaan dan
tidak ada ketegasan dari Kepolisian dan TNI, maka bisa saja negara ini
lama-kelamaan akan runtuh. Karena hukum tidak berjalan sebagaimana
mestinya. Parahnya lagi koruptor dan para pengusaha banyak yang
menggunakan jasa preman untuk mengamankan kepentingan mereka. Sejak
jaman reformasi keberadaan preman merata jumlahnya dan ada dimana-mana.
Sedangkan dijaman orde baru para preman jumlahnya sedikit, karena aparat
keamanan bekerja dengan baik, ada ketakutan dijaman itu terhadap
aparat. Tapi sekarang, ketika ribut-ribut soal preman, Polisi hanya
merazia preman jalanan, sementara preman yang membahayakan negara tidak
disentuh sama sekali. Jadi, apakah perlu Petrus Jilid Ke-2?
No comments:
Post a Comment