Tak
kalah dengan Airbus dan Boeing, Indonesia punya pabrik pesawat yang
telah ada sejak tahun 1976 terletak di sebelah Bandara Husein
Sastranegara, Bandung, Jawa Barat. Didirikan oleh Mantan Presiden RI BJ
Habibie dengan nama awal PT Industri Pesawat Terbang Nurtanio (IPTN),
perusahaan strategis ini kemudian menjelma menjadi produsen pesawat
pertama asal Asia Tenggara.
detikFinance berkesempatan
berkunjung dan mewawancarai direktur utama perusahaan pelat merah ini
demi mengetahui kondisi terkini pabrik pesawat ini. Saat memasuki area
pabrik, masih tampak sisa kejayaan kala itu, dengan gedung tinggi dan
lahan pabrik seluas 48 hektar.
Direktur Utama
PT Dirgantara Indonesia (Persero) atau disingkat PTDI, Budi Santoso
menuturkan pada masa kejayaannya, PTDI banyak bekerjasama dengan
berbagai produsen pesawat dunia kelas dunia.
“Dimulai 1976,
kita pertama pembelajaran bikin pesawat terbang lisensi NC 212, BO 105
(helikopter), kemudian pembelajaran lagi bagaimana kita kerjasama dengan
Cassa. Kita bikin CN 235, terus bikin sendiri program N 250,” tutur
Budi kepada detikFinance di Kantor Pusat PTDI, Jalan Pajajaran, Bandung, Jumat (15/2/2013).
Budi menuturkan
saat proses pengembangan kala itu, kucuran dana segar dari Presiden
Soeharto sangat kencang. Sehingga sekitar 16.000 pekerja baik lokal
maupun asing dilibatkan untuk mengembangkan pesawat hingga lahir pesawat
pertama asli buatan anak bangsa, N 250.
Pesawat N 250
diluncurkan dengan dua seri yakni Gatotkoco berkapasitas 50 penumpang
dan Krincing Wesi berkapasitas 70 penumpang. Nama ini langsung diberi
oleh Presiden Soeharto di tahun 1993. Namun, ketika terbang perdana
untuk seri Krincing Wesi di 19 Desember 1996, merupakan akhir dari nasib
pesawat N 250.
“Pada 1998
terjadi krisis ekonomi. IMF stop development sehingga PTDI ini, goyang.
Pada waktu itu terjadi pengurangan karyawan dan lain-lain. Kemudian
berikutnya bahwa tenaga desainer, enjiner yang banyak ke luar negeri,”
tambahnya.
Saat kondisi
goyang, PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) (sekarang PTDI)
ini, harus memberhetikan ribuan karyawan hingga saat ini tersisa tinggal
4.000 karyawan. Kala itu, Dirgantara Indonesia belum siap menjadi
sebuah korporasi pencetak pesawat.
Pasca PHK
massal itu, Dirgantara Indonesia hingga saat ini belum memiliki pesawat
asli rancangan dan buatan sendiri. Andaikata proyek N 250 berhasil, N
250 akan menjadi pesawat 100% buatan Indonesia yang pertama.
Saat ini, di
perusahaan yang sudah mulai bangkit dari keterpurukannya itu, PTDI hanya
mengandalkan 6 produk pesawat yakni NC 212-200, C212-400, CN 235-220M,
CN235-200MPA, Helikopter Bell 412 EP dan Helikopter Super Puma meskipun
sudah cukup berusia lanjut.
Namun, kekuatan Dirgantara Indonesia kali ini mulai diperkuat oleh
produk hasil kerjasama yakni CN 295 dan Super Puma versi terbaru. Selain
itu, dalam dua tahun ke depan, Budi menjelaskan, pihaknya siap
meluncurkan pesawat asli karya Indonesia yakni N 219.
“N 219 untuk penerbangan perintis. Di Indonesia kan perlu,” cetusnya.
Impian Dirut PT. DI
Direktur
Utama PT Dirgantara Indonesia (PT DI) Budi Santoso memiliki visi
membangkitkan kejayaan industri pesawat terbang sipil dan militer
Indonesia.
Bangkit dari
keterpurukan pasca berhentinya suntikan dana pemerintah di 1998, PT DI
harus terseok-seok mencari uang. Budi yang menjadi Dirut untuk periode
kedua sejak 2007 ini melihat, industri penerbangan global telah berubah.
Pihaknya tidak bisa lagi berdiri sendiri dalam mengembangkan pesawat.
"Mengerjakan
sendiri dengan risiko nama nggak terkenal atau kita kerjasama dengan
orang lain sehingga branding bagus. PT DI harus mengikuti realitas
dunia. Perusahaan nggak ada yang sendiri. Airbus saja dengan beberapa
negara. Boeing juga nggak semua dikerjakan sendiri. Malah mereka beli
(komponen pesawat) dari anak usaha Airbus," tutur Budi kepada detikFinance di Kantor Pusat PT DI, Jalan Pajajaran, Bandung, Jumat (15/2/2013).
Menurutnya, PT
DI belajar banyak pasca krisis ekonomi yang menghantam Indonesia di
1998. Budi yang merupakan mantan Dirut PT Pindad serta pencipta senapan
otomatis SS-2 dan panser Anoa ini bertutur, PT DI tidak lagi boleh
tergantung terhadap suntikan modal pemerintah, melainkan harus berpikir
menjadi sebuah korporasi perusahaan pesawat terbang yang fokus pada
pasar.
"Sederhananya,
prioritas pertama membuat PT DI kompetitif dibandingkan perusahaan lain
terutama dalam produksi. Kita nggak jual desain, kita jual barang. Itu
harus dibuat dengan yang kompetitif. Ini yang kita lakukan saat ini,"
tambahnya.
Pihaknya juga
tak ingin mengembangkan produk yang sangat tergantung secara langsung
dengan dukungan 100% dari pemerintah. "Kita perkuat PT DI menjadi
persahaan bukan perusahaan riset, mudah-mudahan tidak tercampur politik.
Pengalaman buruk begitu Pak Harto berhenti, program hancur semua. PT DI
ini kita inginkan jadi terbesar. Tidak terlalu tergantung faktor
politik," tambahnya.
PT DI ke depan
tidak mau lagi menjual mimpi, melainkan menghasilkan produk berdasarkan
kemampuan. Selain itu, PT DI secara bertahap sedang merancang pesawat
penumpang berbadan kecil, yakni N-219 sebagai satu produk hasil
rancangan sendiri.
Meskipun tak
ingin bergantung pada pemerintah, ia berharap alokasi subsidi BBM yang
besar (Rp 300 triliun) bisa diperuntukkan untuk membantu mengembangkan
pesawat.
"Kita harus
punya produk sendiri. Kalau kita bangun pesawat sendiri. Kita bangun
pesawat yang senilai US$ 2 miliar. Kita akan cari partner," cetusnya.
Sumber : Detik
No comments:
Post a Comment