Jika Australia hendak menyerang Indonesia, mungkin RAAF bisa menembus
wilayah udara Indonesia untuk membom Jakarta. Namun bombardir itu tidak
banyak mempengaruhi kekuatan militer Indonesia. Begitu pula dengan
Angkatan Laut Australia dapat menembus perairan Indonesia dan mendarat
di garis pantai. Namun setelah tiba di garis pantai, apa yang bisa
mereka lakukan ?. Tidak banyak, karena jumlah pasukan Indonesia yang
besar menjadi keunggulan Indonesia. Jika skenarionya dibalik Indonesia
yang menyerang ke Australia, maka Indonesia belum memiliki kekuatan
untuk itu. Konsep realistis Indonesia di renstra 1 dengan keterbatasan
ini adalah, membentuk militer yang bersifat self defence. Berperang di
wilayah sendiri, untuk mengusir agresor atau mengawasi flash point.
Saat ini belum semua alutsista TNI AD mengalami modernisasi. Dengan
kondisi tersebut, dapat kita lihat Angkatan Darat memperkuat pasukan
yang bersifat mobile, yang bisa digerakkan ke wilayah manapun dalam
waktu cepat. Target ini dimasukkan dalam Rencana Strategis 1 (Renstra 1
:2010-2014) dengan munculnya pembelian MBT Leopard 2, IFV Marder, MLRS
Astros II, Meriam Caesar 155 mm, ATGM NLAW, kendaraan taktis, hingga
helikopter serang Apache AH-64 E. Semua yang dibeli bersifat mobile,
dalam artian dapat digerakkan dengan cepat diangkut melalui kapal
permukaan maupun pesawat angkut Hercules.
Untuk meningkatkan mobilitas pasukan mobile, Indonesia menambah
pesawat angkut dengan membeli Hercules eks RAAF Australia. Begitu pula
dengan persenjataan dan kemampuan prajurit Kostrad, terus ditingkatkan.
Jangan heran, alutsista baru TNI AD, biasanya diserahkan kepada Kostrad.
Hal ini karena pasukan Kostrad yang bisa digerakkan kemanapun di
wilayah tanah air. Mereka tidak punya wilayah. Wilayah yang mereka
tempati berada di bawah kendali Panglima Kodam.
Konsep renstra 1 Angkatan Darat, menyerupai target yang dikejar oleh
TNI AU. Mereka menyiapkan fighter dan pesawat tempur yang bisa bergerak
cepat, bertarung secara sengit di wilayah manapun di Indonesia. Angkatan
Udara harus tampil prima, di tengah minimnya kemampuan arhanud dan
pertahanan wilayah Indonesia. Untuk itu, Skuadron Sukhoi telah
dilengkapi rudal berbagai jenis, dari air-to-air, air-to-ground, hingga
rudal penghancur radar.
Pada renstra 1, pesawat tempur sukhoi TNI AU telah genap satu
skuadron (16 pesawat ). Mereka juga mendapatkan tambahan satu skuadron
(16 pesawat) pesawat super tucano
untuk tempur taktis “close air support”, intai serta serangan
anti-gerilya. Ada lagi 30 pesawat F-16 block 25/32 retrofit eks AS,
serta pesawat latih T-50 i dari Korea Selatan yang bisa digungsikan
sebagai air support, serta UAV Heron komposit untuk pengawasan.
Di renstra 1, kekuatan Angkatan Laut ditujukan untuk bisa
menghadapi ancaman aktual di beberapa flash point. Fokus utama untuk
renstra 1 adalah ancaman di wilayah Ambalat.
TNI AL telah memperkuat armada kapal selam mereka. Angkatan Laut juga
membangun kekuatan strategis untuk kapal permukaan dengan memasang
rudal yakhont 300 km di kapal Van Speijk Class. Menggabungkan sistem
rudal Rusia dengan Kapal Nato patut dibanggakan. Jika pada uji pertama
rudal yakhont overshoot terhadap sasaran, maka pada uji kedua telah
mengenai sasaran. Betapa kuatnya daya hancur rudal yakhont, dalam
hitungan detik kapal sasaran tembak langsung tenggelam. Ujicoba ketiga
nanti seharusnya ditujukan terhadap sasaran bergerak dengan jangkauan
250-300km, untuk mengatahui apakah rudal yakhot frigate van speijk mampu
men-tracking terus menerus sasaran yang bergerak. Ujicoba penembakan
jarak jauh ini memerlukan helikopter OTHT yang sedang disipakan TNI AL.
Kemampuan TNI AL memasang rudal yakhont di kapal sistem Nato,
merupakan modal besar bagi TNI AL dan harus terus mengembangkannya
secara maksimal. Bayangkan saja, kapal-kapal tua Indonesia menjadi
disegani jika proyek rudal yakhont bisa sukses menghantam sasaran yang
bergerak.
Untuk modernisasi, TNI AL juga memesan 2 PKR Sigma ke Belanda serta
membeli 3 light frigate Nakhoda Ragam Class dari Inggris. Sementara
untuk urusan kuantitas, TNI AL membangun kapal-kapal kecil dengan
kemampuan serang rudal. Diharapkan pada tahun 2013 ini KCR-60 pertama
pesanan TNI AL sudah bisa diluncurkan plus dengan kemampuan serang
rudal. Adapun untuk Marinir, pasukan ini mendapatkan tambahan 17 Tank
BMP-3F. Marinir membutuhkan 95 tank sejenis BMP, yakni 81 unit tipe
BMP-3F, 10 unit tipe BMP-3FK, dan 4 unit tipe BREM-L dan akan penuhi
secara bertahap.
Budget Renstra 2010-2014 untuk modernisasi Alutsista TNI,
dianggarkan Rp 156 triliun, dengan Base Line Rp. 99 triliun dan On–Top
Rp 57 triliun. Alhasil alutsista yang datang pada renstra 1 cukup
membanggakan. 50 % dari budget tersebut, untuk pengembanagn dan
modernisasi alutsista Angkatan Darat.
Bagaimana dengan Renstra II tahun 2015-2019 ?.
Pemerintah Indonesia membagi tiga tahapan Rencana Strategis (Renstra) dalam pembangunan Minimum Essential Force (MEF) untuk membentuk kekuatan pertahanan yang memadai. Fokus dari MEF ini adalah menitikberatkan pembangunan dan modernisasi alutsista beserta teknologinya, untuk menghadapi ancaman aktual di beberapa flash point. Diantaranya, permasalahan perbatasan wilayah negara, terorisme, separatisme, konflik horisontal/komunal, pengelolaan pulau kecil terluar, serta turut serta dalam bantuan bencana.
Renstra II merupakan titik krusial yang bila dilalui dengan benar,
akan membuat postur pertahanan Indonesia mandiri dan semakin berwibawa.
Namun tantangan di renstra II ini sangat berat.
Untuk urusan Angkatan laut, saat ini Kementerian Pertahanan sedang
menggarap proyek kapal selam Changbogo dengan Korea Selatan. Ditargetkan
pada tahun 2015, kapal selam ketiga akan dibangun di PT PAL Surabaya,
Jawa Timur. Begitu pula dengan kapal perang Perusak Kawal Rudal Sigma
Belanda yang diharapkan bisa dibangun di Indonesia, menjadi program
Korvet nasional atau Frigate Nasional.
Untuk Angkatan Udara, Kemenhan juga mempunyai proyek pembuatan
fighter IFX/KFX dengan Korea Selatan, yang diharapkan prototype-nya
selesai tahun 2015. Sementara Angkatan Darat sedang mengembangkan Tank
Medium Pindad bekerjasama dengan Turki. Sementara di bidang peroketan,
Indonesia sedang mengembangkan Roket Lapan, Rhan serta C-705.
Kalau proyek itu terealisasi, maka Indonesia bolehlah berbangga hati
karena telah move-on. Tapi jika tidak berhasil, berarti kemampuan negeri
ini baru sebatas membeli alutsista, dan akan semakin tertinggal dari
negara-negara “satu lechting”, seperti; India, Pakistan, Iran, Turki,
China, Korea Selatan, bahkan Korea Utara.
Pekerjaan rumah lainnya bagi pertahanan Indonesia adalah
mengintegrasikan berbagai alutsista, di tengah kebijakan pengadaan
alutsista yang menganut azas, perimbangan sumber dari negara barat dan
Rusia. Perimbangan pengadaan alutssita dari dari negara barat dan Rusia
ini, sebenarnya bisa dikatakan membuat pusing kepala. Bayangkan saja,
anda membeli dua alat berteknologi canggih dari luar negeri yang mana
anda tidak bisa membuatnya. Setelah anda beli, kedua alat itu harus anda
integrasikan. Tentu ini tantangan yang berat dan perlu dikaji kembali.
TNI harus memiliki platform yang jelas bagi sistem pertahanan laut,
darat dan udara, untuk bisa diintegrasikan.
Pada renstra 2 akan ada pembentukan dan penempatan pasukan di
beberapa wilayah strategis, seperti Divisi III Marinir di Sorong
Papua. Sebanyak 15.000 pasukan marinir akan ditempatkan secara bertahap,
untuk mendukung keamanan dan pertahanan di komando wilayah laut timur.
Angkatan Laut juga membangun Pangkalan Kapal Selam baru di Palu,
Sulawesi Tengah.
Sementara Angkatan Darat terus mengembangkan pasukan di bawah Kodam
XII Tanjungpura yang berbatasan dengan Malaysia. Antara lain,
Denzipur-6/SD di Anjungan menjadi Yonzipur di Mempawah, kemudian
validasi Yonarmed 16/105 menjadi Yonarmed 16/Komposit di Ngabang,
Kabupaten Landak serta pengembangan Denkav-2 Pontianak menjadi Yonkav.
Kodam XII TPR bermarkas di Kabupaten Kubu Raya membawahi provinsi
Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah.
Pertahanan Udara jarak Menengah
Tensi konflik di Laut China Selatan terus meningkat. Kabar terakhir, Pemerintah Filipina melaporkan China telah menyimpan balok-balok beton di Karang Scarborough. Filipina tidak bisa berbuat banyak. Konflik antara China dengan Filipina di Scarborough serta China dengan Jepang di Pulau Senkaku, diperkirakan akan terus meningkat.
Tensi konflik di Laut China Selatan terus meningkat. Kabar terakhir, Pemerintah Filipina melaporkan China telah menyimpan balok-balok beton di Karang Scarborough. Filipina tidak bisa berbuat banyak. Konflik antara China dengan Filipina di Scarborough serta China dengan Jepang di Pulau Senkaku, diperkirakan akan terus meningkat.
Jika India dan China telah membangun kapal induk, tentu sangat wajar
jika Indonesia memiliki destroyer atau the real frigate yang memiliki
kemampuan pertahanan dan persenjataan yang baik. Indonesia harus
berpikir out of the box dan jangan menyamakan alutsistanya dengan
negara-negara kecil. Negara besar harus memiliki pertahanan yang kuat
tapi teduh. Sekali -kali Indonesia-lah yang mengambil inisiatif dan
angkatan bersenjata lain yang mengikuti. Keberadaan Destroyer akan
menjadi lompatan bagi TNI AL sekaligus pelindung bagi armada laut
Indonesia. Moto “di Laut Kita Jaya”, akan kembali dengan keberadaan
destroyer ini. Operasi destroyer ini akan dijaga oleh kapal selam kilo
class/ amur class yang sudah ditawarkan oleh Rusia untuk Indonesia.
Malaysia berencana membeli rudal anti kapal permukaan Brahmos, untuk
melengkapi arsenal fighter Sukhoi mereka. Katakanlah jika pecah konflik
di Ambalat, elemen mana yang akan melindungi armada laut Indonesia ?.
Rudal itu bisa ditembakkan dari jarak jauh dan pesawat penyerang pun
langsung menghilang. Serangan ini sulit diantisipasi oleh Fighter
Indonesia, karena akan terlambat untuk mengantisipasinya.
Kehadiran distroyer di Angkatan Laut sekaligus penggentar bagi pihak
asing yang mencoba-coba merebut wilayah Indonesia. Sudah waktunya pula
bagi Australia untuk mengubah cara pikir mereka, bahwa Indonesia adalah
negara lemah yang kekuatan militernya di bawah mereka. Dari proyeksi
pertahanan Amerika Serikat atas kekuatan China, maka Indonesia yang
lebih membutuhkan destroyer dibanding Australia, untuk menstabilkan Laut
China Selatan.
Pengadaan destroyer ini dapat disertakan dengan pembelian Helikopter
Serang Apache AH-64E. Kalau AS mengijinkan Indonesia menggunakan Apache
AH-64E, maka sangat wajar jika Indonesia meminta pembelian Destroyer.
Indonesia harus ikut berperan aktif dalam pengamanan Laut China Selatan.
Keberadaan Destroyer harus dikaitkan dengan pengamanan Laut China
Selatan.
Pihak TNI pernah meninjau destroyer milik AS. Chuck hagel juga
kabarnya sempat menawarkan kapal perang kepada Indonesia, saat kontrak
pengadaan Helikopter Serang Apache AH-64E.
Hal lain yang menjadi sorotan dari pertahanan Indonesia adalah tidak
adanya pertahanan anti-udara jarak menengah. Kasus rencana serangan AS
ke Suriah, menunjukkan betapa pentingnya sistem pertahanan jarak
menengah sepeti S-300. Vladimir Putin saja mengakui sistem pertahanan
S-300 menjadi faktor yang strategis bagi posisi pertahanan Suriah. Tidak
heran, Iran pun mati-matian ingin mendapatkan sistem pertahanan
anti-udara S-300 family.
Di jaman modern sekarang ini, peperangan dilakukan dari jarak jauh.
Jika sebuah negara tidak memiliki pertahahan udara yang memadai, maka
harus bersiap-siap untuk di-bully oleh lawan.
Kondisi SAM Indonesia saat ini memang memrihatinkan, karena
mengandalkan S-60 retrofit, Bofors, Grom dan RBS-70 yang sudah tua. Ada
pembelian startreak serta oerlikon skyshield, namun itu pun untuk
pertahanan jarak pendek.
Usulan pengadaan pertahanan udara jarak menegah, sebenarnya sempat
dilontarkan oleh Arhanud, karena situasi modern, sangat membutuhkan
pertahanan menengah. Namun siapakah nantinya memegang sistem pertahanan
udara jarak menengah-jauh ini masih dilematis. Apakah di tangan Arhanud
TNI AD atau di tangan TNI AU yang memang memiliki tugas pertahaan
wilayah.
Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin sempat menyinggung
tentang perlunya rudal jarak menengah. Semoga yang dimaksud Wamenhan
bukan Astros II yang dipasang amunisi peluru kendali. Sistem anti-udara
S-300 family buatan Rusia patut dijadikan kandidat. Konflik di Suriah
menunjukkan S-300 merupakan senjata deteren bagi pihak lawan.
Untuk sistem rudal sejak dulu Indonesia telah dekat dengan
Uni-Soviet/Rusia. Jika pada tahun 1960-an TNI memiliki rudal antikapal
permukaan KS-1 Komet dan rudal anti-udara jarak pendek, kini TNI
memiliki Yakhont dan seharusnya rudal anti-udara jarak menengah. Tujuan
dari sistem senjata anti-udara jarak menengah-jauh ini, tidak lain untuk
objek vital nasional yang bersifat strategis.
Untuk unsur pasukan, Kualitas dan jumlah personel pertahanan:
Kostrad, Marinir, Paskhas terus ditingkatkan diselaraskan dengan
keberadaan komponen Cadangan Pertahanan.
Tidak kalah penting adalah meningkatan kemampuan industri militer
dalam negeri seperti: LAPAN, Pindad, PT PAL, PT DI, BPPT, PT Dahana dan
sebagainya. Diharapkan pada renstra 2, tank medium Pindad telah
menemukan bentuknya. Begitu pula dengan kapal selam Changbogo yang sudah
diproduksi di dalam negeri, Roket Rhan, C-705 anti-kapal serta
prototype IFX. Bagaimana menurut Anda .
(JKGR).
No comments:
Post a Comment