PT Pindad (Persero) sejak awal berdiri selalu
dipimpin oleh militer. Karyawannya berstatus PNS. Baru pada tahun 1983,
atas inisiatif B.J. Habibie, Pindad dipimpin oleh kalangan sipil. Adik
Avianto Soedarsono menjabat sebagai Dirut Pindad pada 2007, sebelumnya
ia menjabat Direktur Operasional.
Tantangan yang dihadapi Adik adalah
kultur kerja Pindad yang tidak kondusif untuk pengembangan bisnis. Ia
menyebut kultur Pindad seperti kelurahan, bukan kultur institusi
pemerintah atau institusi bisnis. Kewenangan dirut juga terbatas, karena
terkendala oleh AD/ART Pindad, yang tidak memungkinan seorang dirut
bertindak sebagai CEO.
Toh, di tengah kendala yang dihadapi, Adik
mampu membawa Pindad sebagai produser alutista yang disegani di ASEAN.
Angka penjualannya melonjak dari Rp 540 miliar ketika mulai duduk
sebagai dirut, hingga menjadi Rp 2 triliun saat ini. Berikut petikan
wawancaranya dengan Herning Banirestu.
Bagaimana latar belakang Anda sebelum menjadi Dirut PT Pindad (Persero)?
Saya ini lama berkarier di BPPT, saya
mendapatkan Ph.D ketika masih di sana. Lulus dari ITB Bandung saya
langsung kerja di BPPT. Tahun 1988 saya ke Amerika, kuliah di sana,
pulang tahun 1996 saya langsung ke Pindad. Saya masuk sebagai staf biasa
waktu itu.
Saya sekolah di Amerika kan production
management. Jadi istilahnya kalau di sini S2 saya Teknik Industri, S3
jadi Manajemen Industri. Waktu saya ke Pindad itu, Dirut Pindad baru
berganti dari militer ke sipil, Pak Budi Santoso saat itu. Pak Budi
masuk tahun 1995, sebelumnya Pak Samsu, Brigjen. Saya jadi staf Pak Budi
setelah pulang dari Amerika, memang beliau pernah minta saya.
Sejarah karier saya di Pindad itu dari staf, lalu Wakadiv, Kadiv, Direktur Produksi lalu Dirut
Bagaimana perubahan yang Anda lakukan di Pindad?
Saya tidak mengalami masa saat perpindahan dari
militer ke sipil, karena itu terjadi tahun 1983. Sejak diambil alih
dari Belanda, selepas perang, ini memang dipegang militer hingga 1983.
Pak Habibie yang mengonversikan pimpinannya oleh sipil.
Intinya di sini lebih institusi daripada
industri, itu perjuangan perubahan dari dulu hingga sekarang. Dari dulu
hingga sekarang masih sama. Ini masih saya perjuangkan. Jadi, dari segi
mentalitas masih seperti kelurahan. Bukan sebagai institusi pemerintahan
bukan institusi bisnis.
Sebenarnya awal perubahan itu dilakukan oleh
Pak Habibie, tombaknya beliau. Sebelumnya, semua karyawan adalah PNS,
lalu diubah menjadi PT, namun semua karyawan masih dalam posisi PNS.
Baru habis PNS-nya pada 2012. Dari 5.000 orang PNS waktu itu.
Lalu bagaimana sebenarnya langkah perubahan yang Anda lakukan?
Waktu saya baru kembali dari Amerika lalu
menjadi staf di sini, sempat saya berpikir lho ini perusahaan kok
dijalankan bukan sebagai usaha. Kalau perusahaan itu optimalisasi itu
penting. Everything matter to the cost of the product, jika tidak ada non value added activities
itu harus dieliminasi. Itu pelajaran dari sekolah saya. Nah, itu banyak
yang terjadi. Bisnis itu semua itu terukur, tapi secara administrasi
juga masih kurang baik, semuanya manual. Di Amerika semua pakai
internet, di sini tidak ada. Itulah gap yang saya hadapi.
Saya ditempatkan bukan di sini (Bandung), saya
ditaruh di Turen (Malang) itu pabrik yang satu lagi. Saya di situ
ditugaskan melaporkan apa yang terjadi di sana ke dirut, saya melaporkan
yang terjadi dari sisi teknis produksi. Tidak lama kemudian saya
diangkat, jadi saya punya jabatan tidak hanya melapor saja. Saya
sebelumnya hanya staf ahli atau staf khusus, tidak punya kantor waktu
itu. Dengan keliling itu, saya bisa paham proses produksi Pindad. Karena
latar belakang saya, saya waktu itu tidak bisa diam hanya melaporkan
saja ke Dirut, tapi menyampaikan problem dan bagaimana menyelesaikannya.
Saya waktu itu tiap hari membuat kajian ke
dirut, sampai akhirnya beliau bilang sudah deh kamu coba lakukan
perubahan tidak hanya melapor saja. Saya waktu itu diberi jabatan Wakil
Kepala Divisi Bidang Pengembangan. Jadi nothing to do di bidang
operation, only to develop the better system. Nah kurang dari dua tahun
saya bisa mengatasi problem-problem pekerjaan, tanpa tambahan mesin dan
tambahan orang. Dengan sumber daya yang ada saya bisa lakukaa banyak
masalah produksi di sana.
Kehendak Allah, setahun menjabat itu, Kadiv-nya
meninggal. Saya lalu diangkat sebagai VP, itu orang sipil pertama yang
menjabat jabatan tersebut. Saya pegang amunisi dan explosif. Saya memang
banyak melakukan perubahan sejak Wakil Divisi Pengembangan itu, membawa
kultur baru di sana. Saya jadi VP pengembangan itu tahun 1997.
Setelah menjadi dirut apa saja perubahan yang Anda lakukan?
Setelah 10 tahun dari jabatan VP Pengembangan,
sekitar 2007. Sebelumnya saya menjadi Direktur Operasional. Kondisi
sebelumnya ya begitu-begitu saja. Pindad tidak mati, namun biasa saja.
Pindad berkembang itu tahun 1983, karena Pak Habibie memimpin ini
(dengan pemimpin bayangannya Pak Budi) hingga tahun 1993. Mulai tahun
1995 mulai oke, lalu turun karena krismon, kita kena embargo juga, itu
bisnis Pindad jadi flat. Tahun 1998 pabrik tidak ada loading, saya sudah
di pengembangan, tidak ada produksi, bahkan karyawan saya suruh membuat
pagar, supaya karyawan ada aktivitas. Dalam setahun saya harus lakukan
PHK dari sebelumnya 1.300 menjadi 1.000 karyawan.
Saya waktu itu memang lakukan restrukturisasi
SDM terutama dalam kultur bekerja. Saya mulai menerapkan transparansi,
dulu apa yang dikatakan komandan itu semua orang bilang yes. Saya mulai
menularkan bagaimana mengajak mereka memberikan masukan. Terbuka dalam
segala hal. Saya waktu itu di kampong, di Turen, yang produksi
amunisinya, tiap menit 250 amunisi keluar. Persoalan kita masih pada
efektivitas proses produksi dengan pemasarannya. Hingga saat ini itu
masih kita rasakan. Masih saja ada periode menunggu yang tidak perlu.
Itu masih ada hingga saat ini.
Pabrik kami ada enam unit, yang menjadi cashcow
itu yang di Turen. Pabrik amunisi atau peluru yang menguasai 60%
pendapatan Pindad. Memang empat tahun terakhir ada Anoa (kendaraan lapis
baja), tapi itukan siklusnya 30 tahun lagi baru beli lagi. Beli tank
kan tidak bisa tiap tahun. Beda dengan peluru yang digunakan menembak.
Order TNI itu paling besar. 80% order Pindad itu dari TNI. Ekspor itu
hanya sebagai knowledge saja, bahwa produk kita itu bagus, orang
apresiasi pada produk Pindad, tapi bukan yang membuat hidup Pindad.
Hampir tiap tahun kami ekspor. Hampir semua negara ASEAN beli di Pindad,
lebih dari 10 negara menjadi tujuan ekspor produksi Pindad.
TNI saja kami masih kewalahan memenuhi
permintaannya. Apalagi sejak Perpres 42 (dua tahun sebelum UU no 16
diturunkan) sejak itu saja langsung melonjak penjulanan Pindad. Ini
membuat order dari pemerintah (TNI) besar. Dan ditambah lagi UU no 16
orang yang mau bermitra dengan Pindad makin besar. Kala tahun 1997 baru
7-10 tipe peluru, sekarang ada 35 lebih tipe. Setelah 20 tahun kami bisa
memproduksi SS2, senjata baru Pindad. Dalam bisnis jika tidka melakukan
pengembangan ya mati.
Sekarang kami punya minning, yang untuk
mendukung sektor alat berat (tank dan kendaraan lapis baja). Order saya
untuk lima tahun itu sudah 300 unit. Jadi dibutuhkan banyak bahan baku.
Produk Anoa itu itu dibuatnya tidak cepat. Beda dengan produksi peluru.
Maka itu proses produksinya harus lancar, perjalanan bahan yang untuk
membuat pelurunya tidak bisa terhambat. Urutannya sudah pasti. Tidak
bisa salah satu proses itu berubah. Bagaimana mengendalikan supply chain
planning dengan materialnya. Materialnya itu bisa ribuan.
Kerap planning-nya baik, terjadi barang atau
bahan baku tidak bisa masuk. Atau tidak sesuai dengan yang dibutuhkan
akhirnya retur. Ini membuat planning terganggu. Kita memang tidak punya
customer relationship management, bagaimana vendor A, B record-nya
seperti apa, sering terjadi apa. Akhirnya unrealible source sehingga
supply chain-nya tidak realibel. Ini masalah SDM. Kembali lagi soal itu.
Jadi apa yang Anda lakukan dengan kondisi seperti itu?
Marah-marah melulu tiap hari. Itu kenyataan.
Kalau tidak bisa, saya kerjakan sendiri. Waktu saya Wakadiv dan Kadiv
saya kerjakan sendiri. Setelah saya jadi Direktur Operasi, saya tidak
bisa turun sendiri. Apa yang sudah saya benahi selama tiga tahun waktu
menjadi Kadiv itu hilang, pada 2007 seperti dari nol lagi hingga hari
ini. Itu kondisi terberat melakukan perubahan di SDM.
Ada enam pabrik, tiap pabrik berdiri
sendiri-sendiri. Saya set up policy, masalahnya pada bagaimana para
pemimpin tiap pabrik menerjemahkannya ke orang dibawahnya. Itu warna
saya sebagai dirut, warnanya ya warna VP (pemimpin pabrik). Untuk
mengubahnya, kalau saya cukup berani, ya saya rotasi VP-nya. Tapi itu
banyak menyedot energi. Saya tidak mau menyampaikan lebih jauh, takut
ada yang tersinggung.
Dengan itu saya harus kendalikan secara ketat.
Akhirnya saya meluangkan banyak waktu untuk memonitor apa yang mereka
lakukan, melakukan koreksi, memberikan petunjuk dan kecepatan bekerja.
Jika punya lebih tenaga, saya rotasi people, tapi masalahnya itu tidak
mudah. Karena produk yang dihasilkan Pindad adalah control items, memang
tidak mudah VP diambil dari luar. Hanya terjadi satu-dua orang. Maka
itu saya harus melatihnya dari sumber SDM di dalam. Di sini jika ada
posisi lowong, ada lima orang kandidat, tiga orangnya pasti dari dalam.
Meski kualitasnya tidak seperti yang dibutuhkan.
Bagaimana dengan kondisi seperti itu Anda lakukan pembenahan?
Dalam tiga tahun terakhir saya coba melakukan
pembenahan di gaji. Saya di tahun 2011 menaikan gaji 33%, agar minat
lulusan terbaik itu mau ke sini. Karena kondisi gaji dulu yang kurang
baik, orang terbaik enggan ke Pindad. Lulusan terbaik selalu lihat
berapa gaji awal mereka. Tiga tahun terakhir saya mendapat good people,
saya coba mereka untuk cepat kariernya, promosinya. Karena yang sudah
direkrut dari tahun 2000-an.
Dulu pembelian material terpusat, sekarang lima
pabrik itu beli bahan sendiri. Dulu dengan kondisi di satu pos, banyak
material yang tidak sesuai dengan yang dibutuhkan tiap pabrik. Karena
tidak terlalu paham yang di pusat di bagian umum itu. Maksudnya supaya
ekonomis saja, supaya satu orang saja yang urus. Saya buat satu pabrik
mengadakan materialnya sendiri. Itu sudah saya lakukan perubahan sejak
1998. Enam pabrik itu baru pada 2001, tadinya hanya lima pabrik.
Saya memang lakukan reorganisasi pada 1998.
Memang Dirut saat itu juga lakukan restrukturisasi, yang semula ada
direktur teknis, lalu dihapus, saya jadi Direktur Produksi. Jadi waktu
itu ada dua direktur produksi, saya bagian alutsista, Pak Pentadi yang
jual airbreak, refastening dan sebagainya. Hingga sekarang masih dua
direktur produksi di Pindad. Jadi hingga sekarang secara organisasi
tidak ada perubahan.
Secara hati kecil saya ingin masukan Litbang
itu masuk ke Pengembangan. Tapi itu belum terjadi. Ini masalah
organisasi lagi. Di Pindad ini padaAnggaran Dasarnya, semua pemimpin
sama posisinya, masih kolagial.Itu susah menjalankannya. Direksi yang
lain merasa punya hak yang sama. Jadi saya sebagai dirut tidak bisa
seperti CEO pada umumnya organisasi bisnis, istilahnya tidak punya hak
veto.
Kalau saya punya proposal itu harus punya
banyak energi untuk menggolkan. Tidak harus disahkan oleh DPR untuk
mengubah kondisi itu. Cukup dengan green light dari Pak Meneg BUMN,
waktu itu pernah disampaikan Pak Dahlan, tapi diributkan oleh DPR, jadi
dicabut deh. Sebenarnya secara lisan beliau setuju, tapi secara legal
belum ada.
Susah itu mau mengubahnya. Gaji mau malas mau
rajin, sama saja. Tidak ada penilaian berdasarkan KPI. Masih sama
kondisinya hingga sekarang. Jadi semua sama saja yang kerja keras, sama
yang tidak.
Jadi dalam lima tahun pertama kepemimpinan saya
bagaimana membuat perusahaan efisien produksinya, juga dalam
organisasi, dalam hal cutting cost. Salah satunya penerapan SAP agar
proses bisnis lebih efisien, tidak lagi dicatat manual. Tahun ini
penerapan SAP dua tahun dan sudah rampung.
Berapa karyawan Pindad sekarang?
Sekitar ada 3.000 orang, sekitar lebih dari 75%
adalah lulusan SMA, karena hanya operasi mesin produksi saja. Memang
agak sulit mengubah pola kerja mereka, adaptasinya. Saya tekankan ke
mereka mengeleminiasi limbah dan proses bekerja. Itu yang saya lakukan.
Bagaimana dengan dukungan teknologi baru agar proses produksi lebih
cepat dan efisien. Juga membenahi flow kerja. Mulai dari hal-hal kecil.
Tidak bisa dengan policy saja, harus didukung dengan teknologi. Itu
sebenarnya sudah saya kerjakan sejak jadi VP Pengembangan sebenarnya.
Banyak pembenahan dan efisiensi. Itu masih saya lakukan hingga sekarang.
Bagaimana kondisi keuangan Pindad?
Waktu saya baru jadi Dirut utangnya masih Rp
150 miliaran. Sekarang sudah plus, profit saya sudah Rp 12 miliar (di
return earning). Saking efisien, saya tidak mau punya mobil (mobil
Dirut). Mobil untuk direksi lain (sambil tersenyum). Rasanya tidak enak
belum positif catatan keuangannya kok minta mobil. Dulu kita pernah
bayar bunga Rp 60 miliar, tahun kemarin kita bayar bunga tinggal Rp 30
miliar. Itu berkat perubahan supply chain, lebih efisien, bagaimana
membeli bahan baku sekarang, bisa dijual sore harinya (misalnya).
Tentang penjualan Pindad bagaimana kan fokusnya ke TNI?
Memang mayoritas penjualan kami untuk TNI.
Pencapaian peningkatan penjualan yang melonjak akhir-akhir ini,
sebenarnya bukanlah pencapaian penambahan customer Pindad, pelanggan
kami masih itu-itu lagi yang utama ya TNI. Hanya saja kami sudah
mengenalkan banyak produk baru. Waktu saya awal jadi Dirut, Anoa sudah
ada, tapi belum bisa dijual. Saya yang mulai menjual Anoa secara mass
production. Juga dengan SS2, waktu saya awal jadi Dirut, sudah ada
sebagai produk litbang untuk pertandingan saja, setelah jadi dirut sudah
mulai dijual sebagai mass production. Begitu juga dengan pistol G2,
mortir juga, serta berbagai peluru. Penjualan memang melonjak sejak
2010. Penjualan waktu awal jadi Dirut sekitar Rp 540 miliar, tahun ini
penjualannya Rp 2 Triliun.
Bagaimana Anda menyiasati hambatan?
You have to live with it. They are not good in
planning, you should planning. Banyak policy saya tidak diselesaikan
dengan baik. Jadi masalah SDM memang masih saya hadapi. Kesannya kita
tidak bisa memenuhi kebutuhan TNI. Itulah yang dihadapi tiga tahun
terakhir. Kita selalu terlambat, tidak bisa mengelola. Saya sudah
memperkirakan kondisi itu, tapi saya tidak didukung tim yang bagus.
Contohnya, saya suruh selesaikan project A, mereka memilih yang lain
dulu. Karena lebih memilih intuisi mereka sendiri. Tidak mendengarkan
saya. Itu harus diubah AD/ART Pindadnya, saya tidak ada hak veto. Di
luar sayalah yang bertanggung jawab. Mereka tidak peduli kondisi tim
yang tidak mendukung.
Bagaimana bisa mereka tidak terlalu mendukung
masukan saya, hanya mengikuti insting mereka. Oh, disana butuhnya itu,
mereka malah butuh lebih banyak yang itu, ditambahin saja produksinya,
misalnya. Padahal saya dapat info dari pucuk pimpinan TNI yang
dibutuhkan yang lain. Karena mereka (anak buahnya, red) lebih banyak
bergaul dengan yang di bawah. Sedang suara di atas tidak seperti itu.
Saya tidak bisa seperti CEO. Tidak ada dasar
hukum saya pecat, saya hanya bisa ganti satu direktur saja dengan
lobi-lobi panjang lebih dahulu dengan kondisi serpti itu. Pak Dahlan
sempat umumkan di depan umum jika tidak mampu mengundurkan diri saja,
tapi siapa yang mau mundur.
Saya memang menghadapi SDM yang tidak
mendukung. SDM yang tidak menurut. Itulah banyak sekali policy tidak
mengikuti saya.
Analoginya, saya mau ke Jakarta, tanpa instruksi saya,
mereka lewat Puncak. Mereka menggunakan intuisi sendiri, karena mereka
bergaulnya di bawah. Padahal program itu tidak inline dengan kebijakan
di atas (TNI). Misal, saya sedang mengembangkan tank medium dengan
kaliber 105, tapi anak buah saya menyangkal, tidak pak, kaveleri
mintanya yang kaliber 90, karena dia sudah beli hanya dikasih 22 unit,
padahal satu batalion kebutuhannya sekian puluh. Padahal tidak begitu,
tidak ada saya lihat program yang anak buah bilang itu tidak ada.
Padahal TNI kan kebijakannya top down. Nah di
atas kebijakannya kaliber besar itu. Anak buah saya itu tidak aware, di
dalam dokumen itu ditulisnya kendaraan tempur, bagaimana menerjemahkan
kendaraan tempur itu yang mana?
Memang tim saya sering tidak sejalan dengan
strategi saya. Itu kerap terjadi. Sebenarnya saya membuka aib saya
sendiri. Penjualan itu bisa melonjak karena ada Anoa itu. Bisnis yang
lain itu hampir flat, jadi tidak hebat-hebat amat. Saya sendiri belum
puas. Mestinya bisa 10, baru naik 8 saat ini.
Saya marah-marah tidak emosional tapi karena
tidak puas dengan tim saya. Sekali saya beli teknologi untuk mendukung
mereka. Minimum 1-2 tahun untuk bisa dijalankan dengan baik dan benar di
tempatnya, itupun sempat terjadi kesalahan-kesalahan penerapan. Ada gap
di VP, jika visi VP- nya tidak sama dengan saya, setiap kebijakan saya
menerjemahkannya sering salah. Tapi dia tidak bisa ke saya langsung, ada
direktur produksinya, mereka bicara ke direktur produksi, direktur
produksinya juga tidak satu visi. Itu terjadi hingga hari ini.
Saya sedang bicara dengan mentri dan pengacara
saya, sedang mengupayakan bagaimana mengubah AD/ART-nya. Saya sebenarnya
mungkin lebih baik resign, tapi saya pikir ini amanah. I do my best.
Ini lima tahun kedua saya di sini. Ini yang dirugikan bangsa jika terus
dibiarkan.
Beruntung beberapa produk dipercaya asing,
sehingga memberi angin positif. Malaysia dan Mozambik sudah membeli Anoa
Pindad. Untuk permintaan Mozambik saja bisa sampai 2 bulan sejak
inquiry, mereka (timnya) menganggap buat apa melayani sana, karena
dijual murah, lebih baik ke TNI saja. Mereka masih anggap TNI itu sumber
yang tidak ada batasnya. Mereka tidak memikirkan mengembangkan pasar.
Terninabobokan oleh masa lalu. Tidak memikirkan kompetisi.
Anoa sudah dibeli 230 unit, sedang yang
diekspor yang sudah sampai conditional letter of intent sekitar 32 unit,
dengan option10 unit, untuk 16 unit ke Mozambik. Sekarang sepi lagi.
Problemnya pada mental people di sini. AD/ART hanya sebagian kecil
masalah, untuk mendukung kerja dan power saya atau CEO saja. Saya yakin
20% bisa lebih tinggi dari sekarang kalau itu terwujud.
Akhirnya saya selalu membuat banyak sesuatu
langkah dan policy yang langsung ditetapkan. Tidak bisa ini mau berapa?
Tidak bisa membuat cek kosong. Kondisi sering mengkambinghitamkan itu
sering terjadi. Menyalahkan kondisi. Ini memang kondisi karena kualitas
SDM yang bukan terbaik. Karena memang dahulunya gaji di sini rendah.
Butuh waktu untuk dapat orang-orang terbaik.
Mereka saat ini masih di bawah, sedang saya kader. Bahkan kasub saja
belum sampai. Di sini harus sekian tahun baru bisa jadi VP. Sulit untuk
lompat-lompat jabatan naik cepat di sini. Saya pertama jadi direktur
usia 38 tahun. Tapi yang lainnya baru jadi direktur rata-rata usia di
atas 40 tahun. Direktur keuangan saat ini usianya 35 tahun tapi bukan
dari Pindad tapi dari PPA.
Bagaimana perkembangan bisnis PINDAD dewasa ini?
Bisnis PINDAD, Alhamdulillah, kita maju terus.
Setiap tahun ada kenaikan sekitar 30 persen dalam hal penjualan,
khususnya alutsista. Tujuan kita memang memenuhi kebutuhan Tentara
Nasional Indonesia. Kita fokus untuk memenuhi tuntutan Minimum
Essenstial Force (MEF atau kekuatan pokok minimum-red). Kalau dulu
belinya sepuluh, sekarang tiga puluh, dalam volume besar. Pabrik kita
awalnya tidak siap. Jadi mengantisipasi itu saja sudah berat bagi kami.
Tapi, Alhamdulillah, itu bisa kita atasi. Malah akhir tahun ini kita
memutuskan untuk mengembangkan pabrik dengan menambah dua lini produksi.
Sekarang sudah ada sepuluh lini, jadi kalau ini beroperasi pada 2012,
PINDAD punya 12 lini. Itu untuk produk yang sudah eksis.
Dari produk baru, kita berusaha mengadakan
kerjasama dengan pemilik teknologi luar negeri seperti Italia atau
Belgia. Sehingga dari yang tadinya kita tidak bisa produksi, kita mulai
kembangkan. Senapan mesin, misalnya. Dulu kita belum pernah produksi
itu, sekarang mulai.
Bicara sejarah, dari zaman Belanda PINDAD itu
idustri alutsista. Sejak kemerdekaan diambil alih oleh Angkatan Darat.
Lalu pada 1983 di-PT-kan. Jadi kalau dulu instansi militer, sekarang
menjadi institusi bisnis. Kita memproduksi untuk kepentingan Angkatan
Darat, yaitu infanteri, mulai dari bayonet, pisau, mortir, senapan
serbu, snipper, amunisi. Itu buatan kami.
Hanya untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri?
Ya, kalau sudah punya barang unggul, orang akan
melirik, menawar ke kita, kalau harga cocok kita jual. Tapi orientasi
kita bukan untuk ekspor. Orientasi kita, apa yang dibutuhkan TNI, kita
penuhi. Ini supaya kita bebas embargo. Jadi kalau kita pernah diembargo
sepuluh tahun, kita mau beli alutsista gak bisa, ya gak masalah. Kita
bikin sendiri. Tapi, ternyata senjata kita sering dianggap terbaik, ya
kita jual kalau memang ada yang mau dan harganya pas.
Senjata ke luar negeri, Timor Leste. Tapi
sedikit. Timor Leste kan tentaranya sedikit. Produk lain yang banyak ke
luar negeri itu amunisi. Di ASEAN ada beberapa negara, di luar itu baru
negara-negara di Afrika. Namanya tidak bisa disebutkan karena rahasia
dan tercantum dalam perjanjian.
Ada promosi khusus ke luar negeri?
Memang kita marketing untuk ekspornya masih
kurang karena sibuk untuk memenuhi permintaan TNI sendiri yang begitu
banyak. Promosi kurang dilakukan. Kita enggak masuk di media. Sudah
begitu banyak media terkaget-kaget waktu kita di TV, ada masalah ini,
masalah itu, ternyata kita mampu bikin itu.
Irak sempat menyatakan tertarik. Bagaimana perkembangannya?
Mereka sudah datang ke kita, melihat-lihat.
Hanya kalau orang mau beli lihat dulu barangnya, Memastkan harganya
berapa, dites, dipelajari. Panjang prosedurnya karena ini masalah
keamanan jiwa, tidak mungkin dalam waktu dekat. Tapi mereka memang
prefer ke kita karena kesamaan latar belakang penduduk muslim. Kalau di
negara Islam, yang maju industrinya itu kan kita.
Ada peran pemerintah untuk promosi?
Mendukung. Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie
Sjamsoeddin itu sejak lama saya sama-sama dengan beliau ke Filipina,
Brunei, Kamboja. Beliau setiap kali ada pertemuan militer, selalu bawa
kerjasama industri. Jadi bukan hanya kerjasama militer, tapi juga
kerjasama industri militer. Jadi beliau seperti membuka jalan,
selebihnya ya kami yang handle. Tapi beliau memang support.
Apa kendala selama ini berbisnis dengan tentara?
Sebetulnya, lebih dasarnya itu birokrasi. Kami
sudah 30 tahun berbisnis dengan TNI, tapi tidak ada bedanya dengan
mereka yang baru kemarin sore berbisnis dengan TNI. Nah, akibatnya
proses administrasinya panjang dan makan biaya, memberatkan. Kedua, TNI
itu buruk dalam planning. Jadi dia enggak bisa bilang, ‘saya besok perlu
sepeda motor’. Dia enggak. Tiba-tiba mobilnya rusak, ‘wah, ternyata
saya juga butuh sepeda motor, karena kalau mobil rusak saya enggak ada
kendaraan lain’. Seperti itu. Padahal, pembuatannya tidak sebentar, bisa
dua tahun. Komponen izinnya bisa delapan bulan.
Kemudian, seluruh komponen itu, walaupun semua
orang bisa beli, tapi kalau yang beli PT Pindad, dianggap untuk
membunuh, sehingga harus ada izin dari pemerintahnya. Misalnya Anda beli
mata bor bisa bebas. Tapi Pindad, tunggu dulu, boleh enggak jual mata
bor ke sana.
Tapi itu sudah kami laporkan ke Dirjen, ke
Wamenhan. Dan Pekan lalu juga sudah saya laporkan lagi ke Sofyan Djalil,
yang ditugaskan Presiden membenahi industri-industri strategis. Saya
katakan ke beliau, untuk membenahi Pindad tidak perlu pakai uang, dengan
kebijakan sudah cukup.
Selain soal panjangnya birokrasi?
Planning dari user. Mereka (TNI) kalau mau beli
apa, menentukannya lama. Akhirnya kita sering tidak bisa mengatasi
karena dia mendadak, dan akhirnya mereka membeli sesuatu yang siap di
pasaran. Kalau kita diberikan perencanaan, kita bisa dengan baik membuat
persiapan. Contohnya AMX (kendaraan tempur jenis tank-red). AMX itu
kita belum siap. Tiba-tiba kita diberikan pekerjaan, akhirnya ya kita
terlambat. Lalu yang muncul image seolah-olah Pindad tidak mampu.
Undang-undang Industri Pertahanan sudah
disahkan. Apa sisi positifnya bagi Pindad, utamanya soal keberpihakan
terhadap industri pertahanan dalam negeri?
Kalau kita sudah mampu produksi, mereka harus
ambil di kita, by law. Itu sudah kita perjuangkan lama, akhirnya dibantu
dengan Peraturan Presiden Nomor 42/2010.Dari situ kita sudah rasakan
keberpihakannya meskipun masih ada satu dua yang lolos yang tidak sesuai
dengan Perpres tersebut. Hal itu kemudian tercium oleh DPR, dan dari
Kemenhan sendiri sudah berusaha meningkatkan Perpres itu menjadi
undang-undang. Lalu DPR mengambil alih menjadikannya undang-undang.
No comments:
Post a Comment