Presiden Ke-3 Indonesia, Bacharuddin Jusuf Habibie (B.J Habibie) kian mantap menumbuhkan kembali industri penerbangan Indonesia. Optimisme Habibie itu didukung dengan banyaknya orang Indonesia yang memiliki pengalaman dalam industri penerbangan.
Berbekal pengalaman dan keahlian putra-putri Indonesia dalam teknologi dan industri penerbangan, Habibie yakin dalam lima tahun mendatang Indonesia bisa menghadirkan pesawat yang melebihi N-250.
"Banyak anak-anak kita, yang di luar negeri juga memiliki pengalaman dalam industri penerbangan. Saya perkirakan tahun 2013 akan mulai (perkembangan industri penerbangan Indonesia), Insya Allah tahun 2018 kita akan memiliki pesawat yang lebih baik daripada N-250," kata Habibie di sela-sela acara Peringatan 50 Tahun pendidikan Teknik Penerbangan Institut Teknologi Bandung, di Jakarta Convention Center, Jakarta, Sabtu, 1 Desember 2012.
"Kita akan melihat kembalinya N-250, tapi tentu yang lebih canggih dan perusahaannya juga telah dibentuk," lanjut Habibie.
Sementara itu, untuk kembali membangun undustri penerbangan Indonesia, Habibie berharap pemerintah melaksanakan dan melanjutkan proses yang nantinya akan dijalani. "Lanjutkan apa yang sudah kita mulai supaya bisa lebih baik daripada sebelumnya, serta harus mengamankan supaya produk dalam negeri lebih baik," pungkasnya.
Seperti diketahui, Habibie saat ini tengah berusaha membangun kembali "kerajaan" penerbangan dengan pengetahuan teknologi yang dimilikinya. Pria berusia 76 tahun ini mendirikan perusahaan dirgantara PT Ragio Aviasi Industri (RAI) yang dibentuk bersama PT Ilhabi Rekatama dan PT Eagle Capital.
Dalam manajemen PT RAI, Habibie dipercaya sebagai Ketua Dewan Komisaris. Melalui perusahaan tersebut, Habibie berusaha mengembangkan kembali rancangan pesawat N-250 yang data-datanya saat ini masih dimiliki bangsa Indonesia.
Strategi Ilham Habibie Membangkitkan N-250
Presiden Direktur PT Ilthabi Rekatama, Ilham Akbar Habibie, yang juga merupakan putra sulung dari mantan Presiden BJ Habibie, menyatakan upaya pihaknya untuk terus membangkitkan kembali N-250 menjelma menjadi pesawat generasi baru, Regio Prop.
Ilham Akbar Habibie tengah mempersiapkan kebangkitan kembali industri pesawat terbang N-250. Ilham bahkan sudah mempersiapkan strategi khusus memasarkan pesawat ini. "Kami akan fokus dulu untuk mengarap pasar Asia Tenggara," kata Ilham kepada VIVAnews, Selasa 21 Agustus di Jakarta. Dengan strategi itu, diharapkan industri pesawat yang kini mati suri itu bisa kembali bangkit.
Pasar Asia Tenggara dibidik, kata Ilham, sebab 50 persen pangsa pasar pesawat turborprop atau pesawat baling-baling (propeller) berada di Asia Tenggara. Ini karena pesawat jenis itu cocok digunakan di daerah berkontur geografis seperti Asia Tenggara. Salah satu kelebihan pesawat propeller sejenis N-250 adalah pada kehandalannya dalam penerbangan jarak pendek. Dibanding pesawat jet, pesawat bermesin baling-baling jauh lebih efisien dan hemat.
Daya tampung N-250 pun cukup memadai, karena didesain pesawat ini mampu mengangkut 50-70 penumpang. Oleh karena itu Ilham yakin maskapai-maskapai penerbangan di Asia Tenggara nantinya akan lebih memilih pesawat produksi negara sekawasan ketimbang memesan pesawat buatan Eropa dan Amerika.
Sesungguhnya salah satu pesaing potensial N-250 adalah Fokker-50. Tapi pesawat jenis itu kini tidak lagi diproduksi oleh Fokker Aviation, Belanda, sebab sudah pailit pada tahun 1996. Jadi pesaing pesawat N-250 pun tinggal dua yaitu ATR 72 pmilik perusahaan Prancis-Italia dan Bombardier Dash-8 produksi Kanada.
Kedua pesawat propeller itu produksi Eropa. Maka N-250 adalah satu-satunya pesawat sejenis yang diproduksi di Asia Tenggara. Ini memperkuat tekad Ilham untuk menguasai pasar sekawasan yang tak asing lagi. Apalagi N-250 terbilang modern di kelasnya.
Direktur Aerostructure PT. Dirgantara Indonesia, Andi Alisjahbana, mengatakan bahwa N-250 memang diciptakan untuk merebut pasar jenis pesawat itu. “Hingga sekarang N-250 merupakan pesawat termodern di kelasnya. Pesawat sejenis yang digunakan Wings Air misal, MA-60 yang mengambil desain dari Antonov, dan ATR-72, didesain tahun 1980-an. Sementara N-250 dibuat tahun 1990-an,” ujarnya.
Ilham menjelaskan bahwa di masa depan produksi pesawat N-250 tidak akan seluruhnya dilakukan di Indonesia, tapi juga disubkontrakkan kepada pabrikan pesawat di negara-negara satu kawasan seperti Malaysia dan Thailand. “Kami tidak bisa berjalan sendiri karena semua pabrik pesawat tidak berdiri sendiri, tapi pasti punya supplier. Jadi punya banyak mitra di negara-negara lain itu wajar,” terang Ilham.
PT. RAI yang 51 persen sahamnya dikuasai PT. Ilthabie Rekatama selanjutnya bakal berperan sebagai perusahaan inti yang merangkul perusahaan-perusahaan lain di satu kawasan. Saham PT. RAI sendiri tidak hanya dimiliki oleh PT. Ilthabie Rekatama, tapi juga oleh PT. Eagle Cap milik Erry Firmansyah, mantan Direktur Utama PT. Bursa Efek Indonesia (49 persen).
Pasar Asia Tenggara dibidik, kata Ilham, sebab 50 persen pangsa pasar pesawat turborprop atau pesawat baling-baling (propeller) berada di Asia Tenggara. Ini karena pesawat jenis itu cocok digunakan di daerah berkontur geografis seperti Asia Tenggara. Salah satu kelebihan pesawat propeller sejenis N-250 adalah pada kehandalannya dalam penerbangan jarak pendek. Dibanding pesawat jet, pesawat bermesin baling-baling jauh lebih efisien dan hemat.
Daya tampung N-250 pun cukup memadai, karena didesain pesawat ini mampu mengangkut 50-70 penumpang. Oleh karena itu Ilham yakin maskapai-maskapai penerbangan di Asia Tenggara nantinya akan lebih memilih pesawat produksi negara sekawasan ketimbang memesan pesawat buatan Eropa dan Amerika.
Sesungguhnya salah satu pesaing potensial N-250 adalah Fokker-50. Tapi pesawat jenis itu kini tidak lagi diproduksi oleh Fokker Aviation, Belanda, sebab sudah pailit pada tahun 1996. Jadi pesaing pesawat N-250 pun tinggal dua yaitu ATR 72 pmilik perusahaan Prancis-Italia dan Bombardier Dash-8 produksi Kanada.
Kedua pesawat propeller itu produksi Eropa. Maka N-250 adalah satu-satunya pesawat sejenis yang diproduksi di Asia Tenggara. Ini memperkuat tekad Ilham untuk menguasai pasar sekawasan yang tak asing lagi. Apalagi N-250 terbilang modern di kelasnya.
Direktur Aerostructure PT. Dirgantara Indonesia, Andi Alisjahbana, mengatakan bahwa N-250 memang diciptakan untuk merebut pasar jenis pesawat itu. “Hingga sekarang N-250 merupakan pesawat termodern di kelasnya. Pesawat sejenis yang digunakan Wings Air misal, MA-60 yang mengambil desain dari Antonov, dan ATR-72, didesain tahun 1980-an. Sementara N-250 dibuat tahun 1990-an,” ujarnya.
Ilham menjelaskan bahwa di masa depan produksi pesawat N-250 tidak akan seluruhnya dilakukan di Indonesia, tapi juga disubkontrakkan kepada pabrikan pesawat di negara-negara satu kawasan seperti Malaysia dan Thailand. “Kami tidak bisa berjalan sendiri karena semua pabrik pesawat tidak berdiri sendiri, tapi pasti punya supplier. Jadi punya banyak mitra di negara-negara lain itu wajar,” terang Ilham.
PT. RAI yang 51 persen sahamnya dikuasai PT. Ilthabie Rekatama selanjutnya bakal berperan sebagai perusahaan inti yang merangkul perusahaan-perusahaan lain di satu kawasan. Saham PT. RAI sendiri tidak hanya dimiliki oleh PT. Ilthabie Rekatama, tapi juga oleh PT. Eagle Cap milik Erry Firmansyah, mantan Direktur Utama PT. Bursa Efek Indonesia (49 persen).
Pesawat N-250 adalah pesawat regional komuter turboprop rancangan asli IPTN (Sekarang PT Dirgantara Indonesia. Pesawat ini merupakan primadona Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) dalam usaha merebut pasar di kelas 50-70 penumpang dengan keunggulan yang dimiliki di kelasnya (saat diluncurkan pada tahun 1995).
Sayangnya N-250 yang menjadi bintang pameran pada saat Indonesian Air Show 1996 di Cengkareng, harus dihentikan produksinya setelah krisis ekonomi 1997.
Sumber: Okezone / Vivanews
No comments:
Post a Comment