Munculnya Iran sebagai kekuatan
baru di Timur Tengah membuat AS yang selama ini dianggap sebagai
penguasa tunggal di kawasan kaya minyak ini mulai tersaingi. Pasalnya,
Iran yang dianggap sebagai negara Pariah (kasta rendah) pada dekade
70-80-an ternyata tak disangka menjadi negara para messiah (penyelamat)
pada abad 21.
Iran kini menunjukkan kegemilangan.
Padahal negara ini menghadapi derasnya tekanan sanksi ekonomi yang ketat
oleh AS dan sekutunya sejak kemenangan Revolusi Islam pada tahun 1979.
Tidak hanya itu, Iran juga dilanda perang Teluk I dengan Irak (yang
didukung AS dan sekutunya) selama 8 tahun, maupun sabotase terselubung
oleh AS dengan berbagai macam modus operandinya.
Tampaknya, Iran menerapkan strategi smart power pada kebijakan luar
negerinya di Timur Tengah. AS yang selama ini bertarung dengan hanya
mengandalkan otot (hard power) seperti keunggulan pada kapabilitas
militer dan kapasitas ekonomi mulai keteteran dengan langkah smart
power, (perpaduan antara hard power dan soft power) Iran.
Sedari awal, Iran yang menyadari AS sebagai negara yang sangat kuat,
tidak melakukan konfrontasi adu kekuatan otot (baca: militer) dalam
melawan pesaingnya tersebut. Namun Tehran melancarkan adu otak (baca:
kecerdasan). AS yang menyangka bahwa kekuatan militer dan uangnya mampu
mengalahkan semua pesaingnya ternyata tidak berlaku untuk Iran. Dalam
beberapa peristiwa kita bisa mengamati bagaimana AS beberapa kali
dipermalukan ketika pesawat pengintai nir-awak silumannya bisa dengan
mudah dikuasai oleh Iran.
Begitu pula sanksi ekonomi
terutama embargo terhadap minyak Iran yang ternyata tidak mampu
menghambat laju pertumbuhan ekonomi Iran. Tehran tahu betul minyak
adalah komoditas penting yang akan tetap dibeli walau langka sekalipun.
Untuk itulah Iran dengan tenang menerima sanksi ekonomi karena demand
tidak akan berkurang, bahkan dengan sengaja menghentikan supply
minyaknya ke Uni Eropa. Dengan berkurangnya supply minyak Iran sedangkan
demand tetap maka yang terjadi adalah meningkatnya harga minyak, maka
dengan mudah ditebak bahwa pendapatan dari sektor minyak Iran bukannya
berkurang malah bertambah dan sebaliknya negara-negara Uni Eropa semakin
keteteran karena imbas kenaikan harga minyak akan berdampak pada
perekonomian nasionalnya. Kita tahu bahwa sekarang negara-negara
Uni-Eropa satu persatu mulai menunjukkan gejala krisis ekonomi yang
parah.
Iran dalam perdagangan internasional menerapkan
strategi yang jitu, yaitu diversifikasi pasar dan produk ekspor. Negara
Islam yang diembargo oleh AS dan Uni Eropa itu kemudian mengalihkan
tujuan ekspornya ke negara alternatif lain seperti Cina, India, Jepang,
Korea Selatan dan Turki. Selain itu produk ekspor Iran juga mulai
beralih dari keunggulan komparatif seperti minyak kepada produk yang
memiliki keunggulan kompetitif, yaitu bergeser dari produk berbasis
buruh murah dan kaya SDA menjadi berbasis tenaga kerja terampil, padat
teknologi, dan dinamis mengikuti perkembangan pasar.
Iran mulai mengembangkan produksi minyak jadi dan turunannya (tidak lagi
minyak mentah), bahkan mulai mengekspor mobil dan peralatan kesehatan
ke beberapa megara, strategi ini menempatkan Iran pada urutan 17 negara
dengan GNP terbesar, dan tentu ini adalah prestasi luar biasa bagi
negara yang sedang berada dalam embargo Barat.
Namun
titik puncak kemenangan Iran dalam adu kuatnya dengan AS, adalah ketika
Iran beberapa kali terlibat proxy war dengan AS, sebagaimana ungkapan
pakar Hubungan Internasional Realis yaitu Kenneth Waltz yang menyatakan
bahwa sesama negara kuat yang berimbang cenderung untuk tidak
berkonfrontasi secara terbuka melainkan membawa pertarungan mereka
melalui pihak lain. Dalam konteks ini AS yang diwakili oleh Israel dan
Iran yang diwakili oleh Hezbollah dan HAMAS telah berhasil mempecundangi
AS dan Israel dalam dua konflik yaitu di Lebanon pada tahun 2006 dan di
Palestina pada tahun 2012. Padahal bisa dibilang teknologi militer yang
diberikan oleh Iran kepada HAMAS dan Hezbollah masih kalah jauh
dibanding yang digunakan oleh Israel. Namun sekali lagi kecerdasan,
keberanian dan ketangkasan the man behind the gun lebih berperan penting
dalam pertempuran, dan yang tidak jauh pentingnya bahwa keterlibatan
Iran dalam proxy war ini menunjukkan bahwa AS dan Israel secara tidak
langsung sudah menganggap Iran sebagai kekuatan besar di Timur Tengah
dan enggan untuk terlibat konflik langsung dengan Tehran.
Keberadaan Iran yang sudah menjadi kekuatan penyeimbang (balance of
power) AS di Timur Tengah, pada tataran konsep Hubungan Internasional
sudah menunjukkan gugurnya hegemoni tunggal AS di kawasan ini. Namun
tekanan AS dan sekutunya di Timur Tengah tetap tidak mengendor malah
semakin menguat. Tantangan terbesar Iran berikutnya adalah terkait isu
Suriah, siapa pemenang dari drama politik global ini pun masih sulit
untuk diprediksi.
Sumber : Irib
No comments:
Post a Comment